Wanita Hamil Penggoda

Hallo, saya adalah pendatang baru untuk masalah kiriman cerita ke stus 21Tahun. Saya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di selatan Jakarta. Salam kenal untuk warga Rumah Seks. Awal cerita saya dimulai saat saya menghadiri sebuah acara pemberian penghargaan, di sana saya datang bersama teman saya, sebut saja Hamdan. Saya diperkenalkan oleh teman saya kepada salah satu tamu yang hadir di acara tersebut, dan ternyata setelah dipertegas, nama tamu tersebut adalah DB. Yang belakangan saya ketahui dia adalah salah satu artis Indonesia. Singkat cerita, malam itu berlalu begitu saja.

Seminggu setelah perkenalan tersebut, saya ditawari untuk menggarap proyek perayaan Hari Ulang Tahun oleh teman yang mengenalkan saya dengan DB, memang bidang saya adalah entertaiment. Teman saya yang mengenalkan saya namanya Shebi. Singkat kata, saya terima proyek yang diberikan oleh Shebi. Dan ternyata yang punya kerjaan itu adalah DB, untuk perayaan ulang tahunnya yang ke 34.

Saya pun dipertemukan oleh Shebi dengan DB di rumah DB yang terlihat cukup megah. Saya dan Shebi menunggu DB yang sedang mandi di ruang keluarga. Di sana saya ngobrol cukup banyak dengan Shebi (yang perlu pembaca ketahui, Shebi sedang hamil 7 bulan). Obrolan berlangsung santai dan sampai menyerempet ke masalah kehidupan seks Shebi, ternyata Shebi yang memiliki tinggi 170 cm, ukuran BH 38, dan m size ini memiliki libido seks yang cukup tinggi. Shebi pun mulai merapatkan posisi duduknya mendekati saya (karena kami duduk di atas sofa yang sama/sofa panjang).

"Dra.. coba kamu pegang perutku, sepertinya jabang bayiku ini ingin berkenalan denganmu deh..!" kata Shebi.
"Ah kamu bisa saja Sheb..!" kata saya yang belum tahu arti sinyal dari Shebi itu.
"Kalau nggak percaya, coba saja kamu pegang perutku ini..!" ujar Shebi yang kali ini memaksa tangan saya untuk memegang perutnya yang sudah terlihat buncit.
Dan benar, sepertinya ada yang bergerak-gerak dari dalam perutnya.
"Dra.. kamu pernah ngerasain begituan dengan orang hamil..?" ujar Shebi yang membuat saya kaget.
"Mmm.. mm, belum tuh Sheb..""Memangnya enak apa rasanya..?" tanya saya keheranan.
"Wah endang loh rasanya.."
"Itu kuketahui dari suami dan brondong-brondongku.." ujar Shebi yang membuat saya tersentak tambah kaget.
"Mmm.. begitu.." kata saya agak sedikit sok tenang, meskipun tegangan tubuh sudah agak naik.
"Kok jawabannya cuma segitu, apa kamu nggak mau nyobain..?" ucap Shebi yang sedikit kesal karena tanggapan saya hanya sebatas itu, sedang posisi kami sudah semakin dekat.

Shebi menarik sedikit ke atas long dress yang dikenakannya, dan terlihat paha mulus yang sedikit memperlihatkan timbunan lemak di sisi-sisinya dan sedikit CD hitam. Saya pun terdiam sejenak, lalu saya pegang kepala dan menatapnya serta meyakinkannya.
"Sheb.., bukannya aku tidak ingin mencoba tawaran yang spektakuler ini, tetapi kamu harus lihat kita ini dimana..? Tetapi bila kamu tawari aku di posisi yang tepat, tentulah aku tak akan menolak..!" kata saya mencoba menenangkan suasana yang semakin panas itu.

Saya sadar bahwa kami datang ke tempatnya DB dalam rangka suatu kerjaan, dan aku termasuk orang yang menjunjung tinggi profesionalisme.
"Aku tau apa yang kamu khawatirkan Dra.." balas Shebi sambil menutup bibir saya dengan jari telunjuknya.
"Kau harus tau bahwa DB itu penganut seks bebas, dan tentu doi tak akan marah kalau kita bercinta di sini, dan lagi pula di sini tidak ada orang lain selain DB.." kata Shebi mencoba meyakinkan saya sambil perlahan mengangkat kaos yang saya pakai ke atas, dan jarinya bermain di atas puting saya sambil memainkan lidahnya sendiri membasahi bibirnya yang sudah basah.

Mendengar perkataannya yang meyakinkan dan juga ditambah dengan perlakuannya yang mencoba merangsang birahi saya, saya semakin yakin akan situasi yang ada. Saya pun mulai berani untuk meraba dada Shebi yang besar tanpa membuka pakaian yang melekat di tubuhnya. Shebi pun bertambah liar dengan menyusupkan tangannya mencari batang kemaluan saya yang sudah menegang sejak tadi. Sambil memilin putingnya tanpa membuka pakaiannya, tangan kiri saya pun bergerak ke bawah sambil membiarkan tangan kanan saya untuk tetap berada di atas dan Shebi pun mendesah.

Sampai di tempat yang saya tuju, tangan kiri saya pun meraba dari luar CD Shebi, dan terasa ada yang basah dan lengket di sana. Lalu bibir kami pun saling mendekat dan terjadi perciuman yang cukup lama. Kami pun terlihat sudah semakin berkeringat. Kemudian tangan yang berada di daerah sensitif Shebi pun sepertinya mulai aktif melorotkan CD hitam Shebi, dan saya merasakan sentuhan bulu-bulu lebat yang sepertinya tertata rapih. Shebi pun telah sukses mengeluarkan senjata kemaluan saya dan mengocok-ngocoknya perlahan. Saya yang merasa penasaran ingin melihat kemaluan orang hamil, lalu menghentikan ciuman kami dan turun ke arah kemaluan Shebi yang duduk di sofa. Ternyata tebakan saya benar, liang kemaluan Shebi yang lebat ternyata benar-benar tertata rapih. Saya pun mulai tergiur untuk merasakan bibir kewanitaan itu dengan mulai mejilatinya secara lembut.

"Achh.., achh.. kamu pintar Dra..! Truuss.. Draa..!" Shebi pun terlihat sudah tidak dapat mengontrol ucapan dan intensitas suaranya.
Shebi meluruskan tubuhnya di atas sofa sambil mengocok senjata kemaluan saya. Mendapat perlawanan yang demikian nafsunya, saya pun merubah posisi menjadi 69. Saya di bawah dan Shebi di atas. Ternyata benar kata orang, kemaluan orang yang sedang hamil itu gurih rasanya.

15 menit berlalu dalam posisi 69.
"Dra.. please..! Masukin sekarang Say..!" pinta Shebi yang sudah tidak kuasa lagi menahan gejolak nafsunya.
Mendengar itu saya tidak langsung menuruti, tetapi saya tetap saja mengigit, menjilat, meludahi liang kewanitaannya, terutama klitoris-nya yang sudah mengkilap karena basah.
"Dra.., kamu jahat..!" teriak Shebi diikuti dengan melelehnya air kemaluan Shebi yang cukup banyak dari liang senggama Shebi, yang menandakan Shebi sudah mencapai orgasmenya. Saya jilat habis cairan kental yang keluar itu sampai tidak tersisa. Senjata kejantanan saya yang terhenti bergerak itu dikulum oleh Shebi. Karena orgasmenya, Shebi mengulum kemaluan saya hingga menjadi merah. Lalu dengan bantuan tangan, saya masukkan kembali senjata saya itu ke dalam mulut Shebi sambil menaik-turunkan di dalam mulutnya.

"Aawww..!" saya berteriak karena batang kemaluan saya tergigit Shebi, "Kamu nakal ya..?" kata saya sambil menarik batang kejantanan saya dari mulutnya, lalu mengarahkannya ke vagina Shebi.
Saya tidak langsung memasukkannya, tetapi memainkannya terlebih dulu di bibir vaginanya sampai Shebi sendiri yang memajukan pantatnya agar batang kemaluan saya dapat langsung masuk, tetapi tetap saja saya tahan agar tidak masuk.
"Dra.., kamu jahat..!" ujar Shebi kesal.
"Habis kamu duluan yang mulai..!" jawab saya.

Tanpa kami sadari, ternyata pertempuran kami dari tadi sudah ada yang mengawasi, yaitu DB yang entah dari kapan dia sudah ada di dekat kami dengan mengunakan daster tanpa BH. Pemandangan itu kami ketahui karena daster DB sudah ada di bawah kakinya. Karena saya merasa sudah tidak tahan, akhirnya saya mulai memasukkan penis saya perlahan tapi pasti ke liang senggama Shebi. Memang awalnya sulit, tetapi karena Shebi minta untuk terus dipaksa, ya akhirnya masuk juga.

"Achh.. achh..!" teriak Shebi dengan wajah memerah entah karena nafsu atau karena sakit.
Ternyata liang kemaluan orang yang sedang hamil itu lebih hangat dibandingkan kemaluan wanita normal. Karena sempit dan hangatnya liang senggama Shebi, membuat saya tidak dapat bertahan lama, meskipun goyangan Shebi tidak terlalu "hot", tetapi tetap saja rasanya lebih asyik dari liang kemaluan wanita yang tidak hamil.
"Sheb.. aku mau keluar..!" kata saya ditengah-tengah nikmatnya persetubuhan kami.
"Aku.. keluarkan di mana Say..?" tanya saya menambahkan.
"Terserah kau saja Dra..!" jawab Shebi yang ternyata juga sudah orgasme kembali.

Akhirnya karena lebih enak, saya keluarkan cairan panas itu di dalam vaginanya, "Cret.. cret.. cret..!" mungkin sampai tujuh kali air mani saya tersembur di dalam liang senggama Shebi.
"Ohh.., ternyata kalian di sini sudah nyolong start ya..?" ujar DB yang membuka pembicaraan.
"Abis kita udah nggak tahan Mba..!" jawab Shebi.
"Trus gimana proyek ultah-ku..?" tanya DB sambil memakai dasternya kembali yang tadi dilepaskan ke bawah, karena DB dari tadi menyaksikan pergulatan kami sambil bermasturbasi.
"Kalau masalah itu tenang, di sini sudah ada ahlinya, tinggal kucuran dananya saja, konsepnya sudah Indra susun kok..!" jawab Shebi sambil menahan saya untuk mengeluarkan penis saya dari liang senggamanya.
"Ooo.., ok aku percaya.." kata DB, "Tapi biar Indra istirahat dong..! Masa kamu monopoli sendiri itu batang..!" jawab DB sambil mengambil wine yang ada di mini bar, lalu duduk di sana, memperhatikan kami yang akhirnya mengambil pakaian kami masing-masing.

"Dra.., kamu besok bisa ambil dananya di sini.." kata DB.
"Lo nggak mau nyobain punyanya Indra..?" celetuk Shebi, "Ntar nyesel..?" tambahnya.
"Jangan sekarang deh, abis tanggung, sebentar lagi Bapak mau jemput gue.." jawab DB.
"Ooo.." jawab Shebi yang sepertinya mengetahui bahwa DB kalau main itu tidak cukup kalau hanya 3 atau 4 ronde saja.

"Ya sudah, kami pamit dulu deh kalau gitu, biar besok si Indra saja yang datang ke sini sendiri.." kata Shebi.
Saya yang dari tadi diam saja hanya manggut tanda setuju untuk datang lagi esok.
"Tapi besok kamu datangnya malam saja ya..!" pinta DB.
"Ooo.., sekalian kamu cobain ya..?" pancing Shebi sambil tersenyum.
"Apa kamu mau ikutan Sheb..?" tanya DB.
"Nggak ah, abis main sama lo harus lama, gue takut kandungan gue bermasalah lagi.""Kalau dokter gue bilang nggak apa-apa sich gue ok aja, tapi kalau kebanyakan digenjot nanti bocor lagi..!" kata Shebi sambil tertawa.
"Ya udah ngga pa-pa, tapi kamu pasti datang kan Dra..?" tanya DB.
"Ya.." jawab saya singkat.
"Ya sudah kita cabut ya..?" ujar Shebi ke DB.
"Ya, ok lah.."
"Bye, Dra jangan lupa ya atau kontrak kita batal nich..!" sambil mencubit dagu saya.

Begitulah kisah saya dengan Shebi, pembaca tunggu saja kisah saya dengan DB, artis ibu kota yang terkenal sampai sekarang masih single di edisi selanjutnya. Terima kasih atas perhatian rekan pembaca sekalian.

TAMAT
Baca selengkapnya → Wanita Hamil Penggoda

Della

Aku pulang dari Balikpapan setelah berada di sana selama tiga minggu untuk urusan kantor. Aku tidak dapat pesawat yang langsung ke Jakarta, jadi terpaksa naik pesawat terakhir yang transit di Surabaya. Karena badan terasa lelah sekali, begitu pesawat take off aku langsung tertidur lelap dengan melepas seat belt agar lebih nyaman. Aku sudah tidak peduli dengan penumpang di sampingku. Seorang wanita berumur tiga puluhan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara halus.

"Pak, sandarannya ditegakkan dan sabuknya dipasang. Sudah mau landing"

Ternyata suara pramugari mengingatkanku. Aku setengah terkejut dan kesadaranku masih belum pulih ketika roda pesawat sudah menyentuh landasan. Setelah pesawat berhenti baru aku sadar sepenuhnya. Kemudian awak kabin mengumumkan pesawat akan transit selama 45 menit dan penumpang dipersilakan untuk turun menunggu di rung tunggu bandara Juanda.

Karena aku duduk di dekat jendela, maka aku menunggu wanita tadi keluar dari bangkunya. Aku mengikuti barisan penumpang yang turun dan tak lama aku sudah berada di ruang tunggu. Wanita tadi duduk di depanku agak ke menyamping ke kanan. Aku berdiri sebentar dan merentangkan tanganku agar otot-ototku relaks, lalu duduk lagi. Wanita tadi memperhatikanku sekilas. Kulempar senyum dan iapun membalas sekedarnya. Kacamata tipis, mungkin minus satu atau paling banter minus dua bertengger di hidungnya yang bagus.

Kubaca Matra Edisi Khusus yang kubeli di book store. Liputannya tentang kehidupan malam sepanjang Bopunjur. Tahu Bopunjur? Bogor, Puncak, Cianjur. Kubuka-buka sebentar dan sekilas isinya aku sudah tahu. Bahkan bukan sombong, tempat-tempat yang disebutkan di dalam liputan itupun bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Akhirnya kuletakkan Matra tadi di atas meja di sampingku. Wanita tadi sekilas memperhatikan covernya.

"Mas, boleh pinjam majalahnya?" ia bertanya sambil mendekat mengambil Matra tadi.

Sayang, rupanya tempat duduknya kemudian diambil orang yang berdiri dan mengobrol dengan teman yang duduk di sebelah wanita tadi. Kuturunkan tasku dari bangku di sampingku dan tanpa disuruh wanita tadi sudah duduk di situ dan mulai muembuka lembaran majalah yang dipegangnya.

Terdengar pengumuman bahwa pesawat yang kunaiki mengalami gangguan teknis sehingga pemberangkatan ditunda satu jam. Kudengar gerutuan sebagian penumpang. Wanita tadi cuma memiringkan kepalanya memperhatikan pengumuman tadi dan setelah itu ia kembali asyik membaca.

Setelah tigapuluh menit membaca, ia menyerahkan majalah itu kembali padaku sambil mengucapkan terima kasih. Aku memulai percakapan.

"Ke Jakarta?" tanyaku.
"Iya, untuk tugas dari kantor," jawabnya.
"Di Jakarta tinggal di mana?" tanyaku lagi.
"Belum tahu, sebenarnya saya harus ke Ciawi untuk ikut kursus, tapi nampaknya kita akan kemalaman tiba di Cengkareng. Aku sendiri belum hafal Kota Jakarta. Apalagi malam hari. Tadi kalau berangkat siang sih sebenarnya ada panitia yang jemput. Mau langsung ke Ciawi agak ngeri, apalagi setelah membaca liputan tadi".

Dari logatnya aku menduga ia berasal dari Banjar. Setelah kutanyakan kepadanya ternyata benar dan ia sudah bekerja di Balikpapan selama lima tahun. Aku tidak menanyakan statusnya. Buat apa pikirku. Toh aku tidak berniat memacarinya.

"Kerja di mana sih?" Pertanyaanku mulai menjurus hal-hal yang personal.
"Saya apoteker".
"Pantas bajunya bau obat," aku kelepasan bicara. Aku baru sadar setelahnya. Ia melengos mukanya memerah, mungkin tersinggung dengan ucapanku tadi.

Satu jam berlalu dan kulihat ia menjadi gelisah sambil terus-menerus memandang keluar, ke arah landasan. Akhirnya setelah seperempat jam kemudian pesawat kami sudah siap melanjutkan penerbangan dan para penumpangpun naik ke pesawat.

Lima puluh menit kemudian pesawat sudah tiba di Cengkareng. Karena tidak bawa bagasi, aku bergegas keluar. Wanita tadi masih menunggu tas satunya di bagasi. Aku masih berdiri di luar sambil cari-cari taksi ketika wanita tadi mendekatiku.

"Mas pulangnya kemana?"
"Saya tinggal di Jakarta Timur".

Dia kelihatan ragu hendak mengatakan sesuatu. Aku menduga-duga ini ada kaitannya dengan tujuan kepergiannya.

"Kalau mau begini saja. Mbak nginap saja di hotel, besok pagi baru berangkat ke Ciawi. Lebih aman," kataku menyarankan. Kulihat dia ragu-ragu dan kelihatan seperti sosok yang lemah. Dia menatapku lagi seakan-akan minta perlindungan.
"OK, jadi begini, Mbak nginap di hotel. Saya akan temani. Eh.. Maksudnya saya ambil kamar satu juga di sana. Besok pagi saya antar ke Ciawi. Kebetulan saya masih ada kelebihan hari perjalanan dinas," kataku memutuskan.

Akhirnya dia setuju dan mukanya menjadi cerah.

"Oh ya maaf, dari tadi kita belum kenalan. Saya Della," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Anto," kataku sambil kujabat tangannya.

Aku berpikir, kalau saja dia tidak memerlukan pertolonganku, mungkin dia tidak akan mengajak berkenalan. Tapi wajar saja karena dia perempuan.

Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di sebuah hotel di kawasan Matraman. Kami dapat kamar bersebelahan. Kami masing-masing masuk ke kamar dan berjanji untuk makan di bawah setelah mandi dan merapikan diri. Setengah jam kemudian kuketuk pintu kamarnya. Tok tok tok.

"Della.. Della. Ini Anto".
"Tunggu sebentar Mas".

Tak lama kemudian ia membuka pintu kamarnya. Kulihat sekilas barangnya masih berantakan di atas ranjang. Kamipun segera turun ke bawah untuk mencari makanan. Dengan pertimbangan biaya kuajak dia untuk makan di warung tenda saja. Di Jakarta tidak ada tempat untuk gengsi.

"Saya dari Balikpapan kepingin makan gudeg setelah sampai di Jawa," katanya.
"Ada, nanti kita cari," jawabku sambil menyusuri trotoar.

Jalan sudah mulai lancar, kupegang tangan kanannya. Ia terkejut dan dengan halus menarik tangannya. Sekilas kulihat jarum pendek sudah melewati angka sembilan.

"Sorry.. Saya hanya mau lihat jam saja kok". Ia hanya menunduk dan kamipun terus berjalan.

Setelah makan gudeg, kami kembali ke hotel dan duduk di lobby. Rasa penat masih terasa di badanku. Aku sebenarnya mau massage, tapi nggak enak sama Della. Kami masih bicara ke sana ke mari, sampai akhirnya kami merasa mengantuk. Kulihat jam dinding menunjukkan jam setengah sebelas.

Kami naik dan kuantar dia di depan kamarnya. Kuharap dia mempersilakanku masuk, namun Della hanya mengucapkan terima kasih kemudian selamat malam dan menutup pintunya. Sekilas kulihat sorot matanya yang berbinar memandangku.

Aku masuk ke kamar dan langsung membaringkan diri ke atas ranjang tanpa membuka pakaianku. Kucoba untuk memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Kubayangkan Della yang tidur sendirian di kamar sebelah. Lebih satu jam aku hanya bergolek ke kanan kekiri tanpa bisa memejamkan mata. Akhirnya kuputuskan kuhubungi saja gadis di kamar sebelah ini. Kuraih gagang telepon dan kutekan nomor kamarnya, 237. Setelah beberapa kali berdering kemudian dari seberang terdengar suara agak serak,

"Hallo".
"Della, belum tidur kan?"
"Eh.. Mas Anto. Belum Mas, mataku tidak bisa terpejam. Padahal di lobby tadi sudah menguap terus. Mikirin besok pagi".
"Atau lagi mikirin yang lainnya kali," kataku menggodanya.
"Ahh Mas Anto ini ada-ada saja".
"Kita ngobrol lagi aja yuk," ajakku.
"Sudah malam, nggak enak dilihatin orang nanti".
"Ini Jakarta Non, saya ke kamarmu ya?" kataku dengan nada setengah memaksa.
"Iya deh," katanya lemah.

Kuketok pintu kamarnya tiga kali dan kemudian pintu dibuka dari dalam. Aku masuk, kini barangnya gantian berantakan di atas kursi.

"Maaf Mas, berantakan. Belum sempat beresin. Rencananya besok aja sekalian berkemas. Duduk, Mas!".

Aku mengedarkan pandanganku. Karena sudah tidak ada tempat duduk lagi maka aku duduk diatas ranjangnya. Kami akhirnya ngobrol tentang pengalaman kami masing-masing saat masih kuliah. Semakin lama semakin seru topik obrolan kami. Ia mengeluarkan dua kaleng minuman ringan dari mini bar. Dan meletakkannya di antara kami.

"Diminum Mas".

Aku mengambil satu kaleng tapi tidak kubuka, hanya kupegang-pegang saja. Entah bagaimana awalnya, tangannya tiba-tiba sudah kupegang dan kutarik dia ke pangkuanku. Kucium bibirnya dengan ganas. Della menghindari ciumanku, tapi aku tidak menyerah. Kucoba lagi, kali ini bibirku mendarat pas pada bibirnya. Ia meronta sebentar tapi kemudian ia membalas ciumanku dengan tidak kalah ganasnya.

"Mas.. Ah.. Ehh .. Ouhh," Ia gelagapan membalas seranganku.

Kulepaskan seranganku sebentar karena aku merasa jalan tol sudah terbuka di depanku, sekarang tinggal tunggu saat yang tepat saja untuk memacu mobilku. Kutatap dia dengan tajam. Ia kelihatan jengah dan menghindari tatapanku. Ketika mata kami saling bertemu, aku memberi isyarat dengan menganggukkan kepalaku. Iapun mengangguk malu dan menundukkan mukanya.

Aku sedikit terkejut ketika sadar bahwa ia tidak mengenakan bra di bawah kausnya. Aku tahu karena putingnya menonjol, membentuk bayangan satu titik di kausnya. Aku tersenyum sambil melirik pada payudara Della.

Della hanya tersenyum melihatku, kakinya ditaruh di atas pahaku dan dia menyodorkan dadanya ke depan mukaku. Tanpa diberi komando aku langsung meremas payudaranya dengan penuh nafsu. Tanganku kemudian membuka kausnya. Aku menciumi payudaranya dan menghisap putingnya yang mulai mengeras. Tangan Della membelai rambutku sambil sesekali mendorongnya ke payudaranya.

Aku menggunakan jariku untuk membelai daerah selangkangannya, dan jariku juga mulai menekan terutama di lipatan vaginanya. Tangan Della digesek-gesekan di penisku yang juga sudah mengeras.

"Aah.. Mas ss.. Enak.. Teruss.. Anto.. Ahh"

Mendengar erangan Della nafsuku sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku merebahkan diri sambil menciumi leher Della dan naik ke bibirnya. Kubuka celana panjangku. Aku terus menciumnya dengan penuh nafsu, kutindih tubuhnya diatas spring bed yang empuk. Kulirik bayangan di kaca lemari. Badanku yang besar seolah-olah menenggelamkan badannya yang mungil. Sambil mendesah Della tertawa kegelian,

"Ahh.. Nafsu amat sih.."

Kubuka celana pendeknya dan kutarik sekaligus dengan selana dalamnya.

"Akhh.."

Kami saling mengulum bibir dengan penuh nafsu, nafas kami mulai tidak teratur. Kaki Della menjepit pinggangku Aku menciumi leher kemudian turun ke payudaranya, lalu aku hisap putingnya. Terus turun dan menghisap pusarnya, Della tidak tahan diperlakukan demikian,

"Anto.. Akh.. Geli akh..,"

Aku terus menciuminya lalu aku turun dan saat sampai di depan selangkangannya aku menurunkan kepalaku, menjilati paha dan sesekali menggigitnya. Dia mengganjal kepalanya dengan bantal dan memperhatikanku. Ketika mulutku akan menyapu vaginanya ia menarik kepalaku ke atas dan menciumiku kembali.

"Jangan.. Aku tidak biasa..".

Penisku kuarahkan ke vaginanya yang basah, kutekan perlahan dan saat sudah masuk setengahnya aku menekan dengan keras.

"Sshh.. Akhh.. Terus To.. Akh..," Della merintih

Bibir kami saling bertautan dengan kuat. Ketika kulepaskan bibirnya yang justru mencari-cari bibirku. Mulutnya setengah terbuka sambil mendesis-desis. Aku menggerakkan penisku dengan perlahan dan kadang aku percepat temponya. Rasanya penisku dijepit dan diremas-remas dengan kuat oleh otot vaginanya. Dan hal ini membuat aku semakin tidak tahan, penisku rasanya sudah hampir meledak.

Aku terus memompa penisku di vaginanya dengan tempo yang bertambah cepat. Nafasku mulai memburu. Payudaranya kuremas dan kupencet sehingga putingnya bertambah menonjol. Kujilati putingnya dan kugigit-gigit dengan bibirku. Aku menghnetak-hentakkan tubuh Della ke ranjang dengan kasar saat aku sudah tidak dapat menahan ledakan penisku,

"Dell Della.. Akh.. Ouch.. Akh..".

Kurasakan tubuh Della juga mulai bergetar dan bergerak-gerak dengan irama yang liar. Matanya merem melek, bola matanya memutih. Kakinya menjepit pinggangku. Tubuhku mengejang dan aku menekan tubuh Della hingga semakin tubuh kami semakin merapat.

"Akh.. Anto.. Nikmat sekali.. Sss"
"Yeah Della.. Akh. Kalau saja dari tadi.. Pasti aku.."
"Akh.. Tekan yang cepat dan kuat.. Akh.."

Mata Della merem melek menikmati sodokan penisku. Aku kemudian mengangkat kedua kakinya dan memegangnya dengan tanganku. Aku dalam posisi setengah jongkok dengan tumpuan kedua lututku. Tanganku memegang pinggangnya dan penisku menekan dengan irama yang semakin cepat. Vaginanya terasa basah dan becek, namun penisku bagaikan dijepit kuat dengan tang.

"Akgh Anto.. Aku hampir.. A a kku.. Hampir keluarhh.. Ouchhggakhh,"

Kurebahkan tubuhku diatas tubuhnya dan kupeluk dengan rapat. Aku menikmati ekspresinya saat Della menunggu mencapai orgasmenya. Kudiamkan sejenak gerakan penisku. Della memprotes dan tangannya memegang pinggangku serta menggerakkannya naik turun. Kurasa tensinya sedikit turun. Aku masih ingin menikmati permainan dan kuharapkan dapat kucapai puncak bersama-sama.

Aku mengehentakkan pantatku naik turun dengan sedikit kasar. Keringat kami sudah mulai bercucuran. Tangan Della meremas-remas pantatku dan kadang menariknya seolah-oleh penisku kurang dalam masuk dalam vaginanya. Saat aku merasakan hampir meledak aku melambatkan gerakanku dan mengatur nafasku sambil menghisap putingnya, ketika perasaan itu sedikit hilang aku mulai bergerak lagi.

Tangannya meremas pundakku dan dengan liar bibirnya mencari bibirku. Dia mendesah dan gerakannya sangat liar. Aku tahu kini saatnya kami dapat mencapai puncak kenikmatan tertinggi bersama-sama.

"Yeah.. Anto.. Akhh. Kamu belum mau keluar juga.. Akhh ouchh.."

Della mengejang dia mengangkat pantat menekan penisku sehingga rasanya sampai di dasar rahimnya dan penisku serasa disedot dengan kuat, tubuh Della melengkung dan tangannya mengusap pipiku dengan kuat. Kutekan pantatku perlahan namun penuh tenaga.

"Yeacchchh..".

Tubuh kami menggelinjang dengan hebat, kami berteriak dan tidak perduli jika ada orang lain yang mendengarnya.

"Akhh.. To.. Anto.. Aakkhh..".
"Della kamu hebataunhh.. Akh.. Ouchhakhh.. Akh.. Ouch.."

Kami mengelepar menikmati kenikmatan yang kami rasakan bersama. Aku beranjak bangun dari tubuhnya saat penisku sudah mengecil, Tubuhnya bergetar saat aku mencabut penisku.

"Kau luar biasa Del.. Hmm.. Tabat Barito ya!" pujiku.

Ia tersenyum saja dan menggayut di lenganku, "Kok tahu aja sih..". Katanya manja.
"Apoteker yang punya obat-obatan lengkappun masih mengandalkan Tabat Barito. Luar biasa memang," kataku lagi.

Kami tidur berpelukan sampai pagi dan paginya kuantarkan dia ke Ciawi. Dia berjanji akan menginap lagi semalam di Jakarta dan memberikan lebih lagi nanti pada saat dia mau pulang ke Balikpapan.

TAMAT
Baca selengkapnya → Della

Ina

Kali ini saya akan bercerita tentang Ina, seorang wanita berdarah campuran Aceh-Melayu.

*****

Entah bagaimana awalnya sepulang dari kantor aku tahu-tahu sudah berada di Stasiun Tanah Abang. Padahal rumahku di kawasan Jakarta Timur. Waktu itu, 1994, Stasiun Tanah Abang lagi direnovasi. Kulihat seorang wanita sedang asyik menelepon dari telepon umum koin di dalam stasiun. Aku mendekat dengan tidak menyolok, seolah-olah aku antri mau menelpon. Kuamat-amati dari dekat wanita tadi. Wajahnya bulat, rambut ikal sebahu, kulit agak gelap tapi bersih, tidak terlalu cantik alias STD, badannya montok, kurasa sedikit overweight namun badannya kelihatan kencang, tinggi sekitar 163 cm, dada 34 B.

Satu koin telah habis dan dia memasukkan koin berikutnya. Ternyata sampai koin kedua habis dia masih belum selesai berbicara. Dia menatapku dan memberi isyarat apakah aku punya koin dan dia boleh minta koinku. Kuulurkan dua koin kembalian naik mikrolet tadi. Dia mengangguk dan dengan gerakan bibir dia katakan terima kasih. Belum habis satu koin dariku tadi dia sudah menutup pembicaraannya. Dikembalikannya satu koin kepadaku, tapi kutolak dengan isyarat tangan.

"Terima kasih koinnya" dia membuka percakapan, "Silakan kalau mau telpon" lanjutnya.

"Tadinya sih memang mau telpon, tapi tiba-tiba aku ingat kalau orang yang kutuju lagi keluar kota" jawabku cari alasan. Aku memang tidak ada niat telepon, hanya karena kulihat dia dari jauh agak OK makanya kudekati.

"Kelihatannya penting amat telponnya tadi, tapi sorry bukan aku mau tahu urusan orang" kataku.
"Iya, telpon ke adikku. Besok ada acara keluarga, rame-rame sebulan sekali" jawabnya ramah.
"Ohh iya, aku Anto" kuulurkan tanganku.
"Ina" sahutnya pendek menyambut tanganku. Busyet, keras amat jabatan tangannya. Jangan-jangan kuli angkat stasiun pikirku.

Kami keluar dari ruangan stasiun dan berdiri di teras. Kembali basa-basi standar orang timur terjadi. Pertanyaan-pertanyaan baku seperti dari mana? Mau ke mana? Dengan siapa? Meluncur begitu saja. Kuamati sekali lagi dari atas ke bawah dengan cermat. Meskipun tidak terlalu cantik, kelihatannya OK juga kalau diajak bergumul di atas ranjang.

Kuberanikan diriku untuk mengajaknya ke wisma kecil di depan stasiun. Kupikir untung-untungan aja. Kalau dia marah, ya tinggal aja. Kalau mau, itu dia yang diharapkan.

"Ina mau ikut saya" tanyaku memancing.
"Ke mana?"
"Itu tuh ke depan situ " sambil tanganku menunjuk ke arah wisma.

Wisma tersebut memang kelihatan bukan seperti tempat penginapan tapi lebih mirip kafe dengan belahan bambu yang disusun sebagai dinding depan. Kelihatannya cukup bersih bagi sebuah hotel melati. Dan aku sangat yakin bahwa wisma tersebut dipakai untuk lembur "short time" bagi pasangan selingkuh ataupun pasangan cinta kilat yang ada di sekitarnya.

"Boleh aja" akhirnya dia menjawab setelah sekilas melihat ke arah wisma.

Kami masuk ke wisma dan membayar di kasir. Ternyata betul dugaanku, kamar wisma ini disewakan per jam. Kami masuk ke dalam kamar. Ina terlihat agak kaget ketika melihat isi kamar, sebuah ranjang single bed dan sebuah almari pakaian.

"Lho, kita mau ngapain di sini? Jangan macam-macam padaku" tanyanya menatapku.
"Lah, tadi katanya mau diajak ke sini, sekarang kok tanya lagi" sahutku tenang.
"Kukira tadi ini kafe, kamu mau ngajak makan atau minum di sini. Ternyata.. " Ina kelihatannya mau protes.
"OK, aku nggak biasa maksa wanita. To the point saja, kita mau making love di sini, kalau keberatan ya kita cabut aja," kataku.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengatupkan bibirnya.

"Baiklah kalau begitu, saya juga tidak keberatan kalau kamu ngajak ML sekarang. Jadi apa sekarang?"

Ina merebahkan tubuhnya ke ranjang. Aku mengikuti menjatuhkan tubuhku di sampingnya.

"Tadinya kalau kamu mau macem-macem kuhajar kamu. Aku atlet Tae Kwon Do dan pernah ikut seleksi daerah" katanya datar.

Situasi sudah aman terkendali. Kulihat dari nada bicaranya dia udah jinak.

"Gak lah, kan tadi sudah kubilang aku nggak suka maksa orang".

Tanganku mulai bergerilya. Pertama-tama kuselusupkan tanganku kiriku dari bawah badannya dan memeluk bahu kirinya. Kuremas lembut dan kuelus-elus. Ina kelihatan makin santai dan mulai menikmati. "Yess.. " sorakku dalam hati. Kami diam beberapa saat.

"Berapa umurmu?" tanyaku memecah kesunyian.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak pa-pa, kalau nggak mau kasih tau".
"Tiga puluh, kamu berapa? Dua delapan?" tanyanya agak ragu.
"Belum, baru dua lima kok".
"Wajahmu kelihatan lebih dewasa dibanding umurmu, tadinya kusangka malahan seumurku".
"Kamu punya suami In?" tanyaku.
"Aku punya, tapi bukan suami resmi. Kami hidup bersama tanpa nikah. Dia kerja sebagai DJ di Mabes, aku waitress di tempat yang sama. Sekarang aku lagi ada masalah sama dia. Aku mau cari kontrakan sendiri ".

Kueratkan pelukanku seolah-olah ikut menanggung bebannya dan memberikan simpatiku. Ia melepaskan diri dari pelukanku dan bangkit berdiri.

"Sebentar To, aku ke kamar mandi dulu".

Beberapa saat kemudian terdengar suara siraman air. Ina keluar dari kamar mandi dan duduk di tepi ranjang. Kupeluk dia dari belakang, tanganku kulingkarkan di pinggangnya. Kusibakkan rambutnya, kucium dan kugigit tengkuknya dengan gigitan kecil. Berdasarkan pengalamanku dengan gigitan kecil di tengkuk, aku akan dapat menguasainya tanpa dia merasa tertekan.

"Sebentar, aku buka dulu bajuku ya," Katanya sambil berdiri dan membuka kancing bajunya satu persatu.

Ia membuka baju dan kemudian celana panjangnya. Kini ia tinggal mengenalan pakaian dalam saja, semuanya berwarna hitam. Bra dan celana dalamnya dari bahan transparan sehingga dapat kulihat puting dan padang rumput di bawah perutnya. Ada sedikit gumpalan lemak di perut dan pahanya.

"Ayo To, atau kamu cuma mau lihatin aku terus" tangannya menarik tanganku.

Aku berdiri dan kuangkat kedua tanganku ke atas. Ia mengumam " Dasar manja". Tangannya kemudian membuka kancing bajuku dan menariknya hingga terlepas, lalu kemudian membuka ikat pinggangku dan akhirnya menarik ritsluiting dan dengan perlahan ia menarik celanaku ke bawah. Kini kami sama-sama hanya mengenakan pakaian dalam saja.

"Kamu sering ke sini ya?" tanyanya. Sebuah pertanyaan standar lagi, dan rasanya dia dan juga wanita lainnya pasti tahu jawabannya.
"Ah nggak" kataku.
"Nggak percaya, kok tahu ini sebuah wisma, padahal kelihatannya dari luar seperti kafe".
"Kamu nggak perhatikan sih. Ada kok papan namanya kecil di atas pintu masuk"
"Kamu masih perjaka?" ia bertanya lagi.
"Emangnya kenapa. Jujur saja aku nggak perjaka lagi?"
"Eehhngng, .. " Ia mendesah ketika lehernya kujilati dalam posisi berdiri.

Ina mendorongku ke ranjang dan menindihku. Tanganku bergerak kebelakang punggungnya membuka pengait bra-nya. Kini terbukalah dadanya di hadapanku. Buah dadanya besar dan kencang. Putingnya berwarna coklat dan keras.

Ina memainkan lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku. Bibirnya agak tebal dan kaku. Ina kurang mahir dalam berciuman bibir. Lidahnya memainkan lidahku. Aku tidak mau aktif, paling sesekali gantian mendorong lidahnya. Tangan kananku memilin puting serta meremas payudaranya.

Ina menggerakkan tubuhnya agak ke atas. Payudaranya pas sekali di depan mulutku. Segera kuterkam payudaranya dengan mulutku. Putingnya kuisap pelan dan kugigit kecil.

"Aaacchh, Ayo Anto.. Teruskan Anto.. Teruskan". Ia mengerang..

Kemaluanku mengeras. Ina menekankan selangkangannya pada selangkanganku. Kemaluanku agak sakit jika dia terlalu keras menekanku. Puting dan payudaranya semakin keras. Kusedot payudaranya sehingga semuanya masuk ke dalam mulutku, putingnya kumainkan dengan lidahku. Dadanya mulai naik turun dengan cepat pertanda nafsunya mulai naik. Napasnya terputus-putus.

Tangan Ina menyusup di balik celana dalamku, kemudian mengelus, meremas, mengocok dan menggoyang-goyangkan meriamku. Ditariknya celana dalamku dan dilepaskannya ke bawah. Kini aku dalam keadaan bugil.

Ina menggerakkan bibirnya ke arah leherku, mengecup, menjilati leherku dan menggigit kecil daun telingaku. Hembusan napasnya terasa kuat. Dia mulai menjilati putingku dan tangannya bermain-main dengan bulu dadaku. Aku terangsang hebat sekali. Kugelengkan kepalaku untuk menahan rangsangan ini. Kupeluk pinggangnya kuat-kuat.

Tangannya lalu membuka celana dalamnya sendiri dan melemparkannya ke dekat kaki. Tangan kiriku bermain di antara selangkangannya. Rambut kemaluannya tidak lebat dan tidak panjang. Kubuka bibir luar dan bibir dalam vaginanya. Jari tengahku masuk sekitar 2 cm dan menekan bagian atas organ kewanitaannya menonjol seperti kacang. Setiap aku mengusapnya Ina mengerang tertahan. Aku tidak mau jariku terlalu masuk ke dalam, cukup hanya masuk satu ruas dan mengusap serta menekan dinding atas vaginanya. Aku pernah baca tentang G-Spot, tapi aku juga tidak terlalu berharap untuk menemukannya pada wanita yang kukencani. Aku percaya bahwa setiap wanita punya titik rangsangan yang unik.

"Oouuhh.. Aaauhh.. Ngngnggnghhk"

Kulepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulutnya semakin ke bawah, menjilati bulu dada dan perutku. Tangannya masih bermain-main di kejantananku. Dengan bahasa tubuh kuisyaratkan agar dia mau menghisap meriamku. Entah kenapa kali ini dengan Ina aku ingin sekali melakukan oral sex. Biasanya aku menyerahkan pada inisiatif lawan mainku. Dia hanya menggeleng dan bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku.

Ina kembali bergerak ke atas, tangan kirinya memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri mengeras. Badannya kurasakan memang kencang dan keras, maklum atlet. Kugulingkan badannya sehingga aku berada di atas. Kembali kami berciuman. Tapi memang Ina kurang bisa bermain dengan bibirnya sehingga ciuman kami juga tidak terlalu nikmat. Kuisap-isap puting susunya sehingga dia mendesis dan memekik perlahan dengan suara sengau.

"SShh.. Ssshh .. Ngghh..

Perlahan lahan kuturunkan pantatku sambil memutar-mutarkannya. Penisku bagian ujung lebih besar daripada pangkalnya. Kepala penisku digenggam dengan telapak tangannya, dan digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa hangat dan mulai berair. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam vaginanya. Kuminta dia untuk melepaskan tangannya dari penisku. Aku ingin memasukkan tanpa bantuan tangan, hanya dengan daya ketegangan dan kekerasan penis. Ina merenggangkan kedua pahanya dan sedikit mengangkat pantatnya. Kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya. Kugesek-gesekkan di bibir luarnya sampai terasa keras sekali. Ina hanya merintih dan memohon padaku untuk segera memasukkannya semua.

"Ayolah Anto, please.. Pleasse.. "

Aku mencoba untuk menusuk lebih dalam, tetapi ternyata masih agak sulit. Akhirnya kukencangkan otot Kundaliniku dan kali ini.. Blleessh. Usahaku berhasil.

"Ouhh.. Ina ouhh," kini aku yang setengah berteriak.

Aku bergerak naik turun. Perlahan-lahan saja kugerakkan, sambil mencari posisi dan saat yang tepat. Ina mengimbangi dengan memutar pinggulnya. Kepalanya mendongak ke atas dan bergerak ke kanan kiri. Kedua tanganku bertumpu menahan berat badanku. Ketika lendirnya sudah membasahi vaginanya kupercepat gerakanku. Kadang-kadang kubuat tinggal kepala penisku saja yang menyentuh mulut vaginanya.

Kuhentikan gerakanku, kurebahkan tubuhku di atasnya. Kini penisku kukeraskan dengan cara seolah-olah menahan kencing hingga terasa mendesak dinding vaginanya. Kutunggu reaksinya. Aku mengharap agar ia juga melakukan kontraksi dinding vaginanya. Ia hanya terpejam dan bola matanya memutih setiap penisku berkontraksi. Ternyata ia tidak terlatih untuk melakukan kontraksi otot kemaluannya. Beberapa saat kami dalam posisi itu tanpa menggerakkan tubuh, hanya otot kemaluanku saja yang bekerja sambil saling berciuman dan memagut bagian tubuh lawan main kami.

"Anto, .. Sedap.. Nikmat sekali.. Ooouuhh" desisnya sambil menciumi leherku.

Kuputar kaki kanannya melewati kepalaku sehingga aku berada di belakangnya. Kuputar tubuhnya lagi sampai aku menindihnya dalam posisi kami berdua tengkurap di ranjang. Dalam posisi ini gerakanku naik turunku menjadi bebas. Tangannya meremas-remas tepi ranjang. Kuciumi tengkuk dan lehernya. Ketika kucium lehernya di bagian samping, kepalanya terangkat dan mulutnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya sebentar. Kuatur gerakanku dengan ritme pelan namun kutusukkan dengan dalam sampai kurasakan kepala penisku menyentuh mulut rahimnya. Ketika penisku menyentuh rahimnya Ina mengangkat pantatnya sehingga tubuh kami merapat.

Kupegang pinggulnya dan kutarik sehingga pantatnya terangkat ke belakang. Ina tahu keinginanku. Kepalanya ditaruh miring di atas bantal dan pantatnya menggantung dalam posisi nungging. Doggie Style!! Kupegang pinggulnya dengan kuat. Pantatku kugerakkan maju mundur dan terkadang memutar. Ina juga mengimbanginya dengan menggerakkan pantatnya maju mundur. Bunyi paha beradu memenuhi seluruh ruangan kamar. Kadang kujulurkan tanganku ke depan untuk memainkan payudaranya.

"Plok.. Plok plok plok.. "

"Anto.. Ayo lebih cepat lagi.. Ayoo"

Kupercepat gerakanku dan Ina juga mengimbanginya. Kulirik jam dinding. Sudah setengah jam lebih kami bertempur. Kupikir sebentar lagi akan kutuntaskan permainan ini.

"Lebih cepat lagi, oohh.. Aku mau keluar aacchhkk.. "

Akupun merasa ada yang mau terlepas dari laras meriamku. Aku selalu mau mencapai puncak dalam posisi konvensional. Kucabut meriamku dan kugulingkan lagi tubuhnya kembali dalam posisi konvensional. Tidak mungkin dalam posisi doggie style kembali ke konvensional tanpa mencabut penis. Kumasukkan kembali penisku dengan perlahan dan dengan ketegangan yang penuh. Ina memelukku erat. Kakinya membelit pahaku, matanya terpejam, kepalanya terangkat.

Kuubah gerakanku, kugerakkan dengan pelan dan ujung penisku saja yang masuk beberapa kali. Dan kemudian kutusukkan sekali dengan cepat sampai seluruh batang terbenam. Matanya semakin sayu dan gerakannya semakin ganas. Aku menghentikan gerakanku dengan tiba-tiba. Payudaranya sebelah kuremas dan sebelah lagi kuhisap kuat-kuat. Tubuh Ida bergetar "Ayo jangan berhenti, teruskan.. Teruskan lagi " pintanya.

Aku merasa wanita ini hampir mencapai puncak. Kugerakkan lagi pantatku dengan gerakan yang cepat dan dalam. Bunyi seperti kaki yang berjalan di tanah becek makin keras bercampur dengan bunyi desah napas yang memburu

"Crrok crok crok.. ".
"Ayolah Anto, aku mau kelluu.. ".

Gerakan pantatku semakin cepat dan akhirnya

"Sekarang.. Sayang.. Sekarang..!!"

Tubuhnya menegang, dinding vaginanya berdenyut kuat, napasnya tersengal dan tangannya memukuli punggungku. Kukencangkan otot perut dan kutahan, terasa seperti ada aliran yang mau keluar. Aku berhenti sejenak dalam posisi kepala penis saja yang masuk vaginanya, kemudian kuhunjamkan cepat dan dalam.

Crot Crott.. Crott, beberapa kali spermaku kutembakkan. Kami saling berteriak tertahan untuk menyalurkan rasa kepuasan.

"Yess.. Achh.. Auuhhkk".

Pantatnya naik menyambut hunjamanku dan tubuhnya gemetar, pelukan dan jepitan kakinya semakin erat sampai aku merasa sesak, denyutan di dalam vaginanya terasa kuat sekali meremas kejantananku. Beberapa saat kami berdiam untuk memulihkan tenaga. Kucabut meriamku dan kami membersihkan diri.

"Kamu OK In, hanya satu kekuranganmu. Kurang romantis dan kurang lihai bermain bibir" kataku memuji sekaligus mengkritik.
"Yach, memang itulah kemampuanku" jawabnya.
"Di dalam arena pertandingan mungkin aku babak belur kena tendanganmu, tapi di atas ranjang jangan coba-coba, kamu tahu sendiri hasilnya kan? Makanya jangan macam-macam denganku " kataku bercanda.

Kami keluar dari hotel dan pulang bersama-sama karena kebetulan rumah kami searah. Setelah itu kami masih sering bikin janji untuk berkencan. Pernah sekali kukerjain dia di kamar kontrakannya di lantai II, sementara yang punya rumah tinggal di lantai I. Lucunya ketika masih dalam keadaan bugil dan berhimpitan dia dipanggil karena ada telepon buatnya. Kubilang terima dulu telponnya deh, tapi dia bilang biar saja, lagi tanggung katanya. Sampai akhirnya waktu kami berpisaHPun dia masih belum mahir untuk melakukan french kiss. Erangannya ketika kami bercinta selalu membuat adrenalinku berpacu. Satu hal keistimewaannya adalah kenikmatan yang luar biasa ketika doggie style.

(Where are you now, In?)

TAMAT
Baca selengkapnya → Ina

Rina

Kali ini saya akan menceritakan kisah hubunganku dengan Rina, gadis dari Bukittinggi. Kami ketemu ketika aku nongkrong di salah satu Studio 21 di Jakarta. Setelah lihat poster film yang akan diputar kurasa aku nggak tertarik untuk nonton hari ini. Di sebelahku ada seorang wanita muda yang juga sedang melihat-lihat poster film. Dari raut mukanya kelihatannya dia juga tidak tertarik.

"Mau nonton Mbak?" tanyaku
"Rencananya sih, tapi filmnya kurang bagus menurutku, dan yang dua lagi saya udah nonton," jawabnya.

Kami berdua duduk di lobby dan mendiskusikan film yang sedang diputar, When a Man Loves a Woman. Boleh juga wawasan dan ulasannya. Karena film sudah diputar dan pintu studio akan ditutup, kami berdua keluar dari studio.

"Kemana sekarang Mbak?" tanyaku.
"Jalan-jalan aja, lagi males di rumah," jawabnya.
"Boleh dong ikutan. Mbak jangan takut, aku orang baik-baik kok"
"Nggak pa-pa, malah senang ditemenin dan ada pengawal. Mas ini anggota ya?" tanyanya.

Memang karena perawakanku yang tegap aku sering disangka sebagai tentara atau polisi. Tapi aku selalu jujur kalau ditanya demikian.

"Anggota apa? Kalau anggota masyarakat betul, tapi kalau militer bukan kok. Dulu pernah ikut tes tapi nggak lulus".
"Habis badannya tegap begitu".

Akhirnya kami berputar-putar saja di mall yang ada di dekat situ. Habis berputar-putar kami singgah di sebuah kafe dan minum di sana. Sambil ngobrol kuamati wanita di depanku ini. Badannya OK, sintal dan montok, kulitnya kuning langsat.

Dalam setiap percakapan selalu kupanggil dia dengan sebutan "Mbak".

"Eh, aku bukan orang Jawa, panggil saja namaku, Rina, atau kalau mau panggil Uni Rina," ia memprotes. Akhirnya kupanggil namanya saja. Panggilan Uni rasanya kurang familiar di lidahku.

Aku tidak berani memancingnya untuk melakukan hal-hal yang lebih jauh mengingat cerita kota asalnya yang penduduknya terkenal taat. Namun memang kalau lagi rejeki, ada saja jalannya. Waktu dia buka tasnya, mengambil sesuatu tiba-tiba dompetnya terjatuh ke lantai. Dia membungkuk mengambilnya. T-shirt yang dipakainya sedikit membuka tanpa disadarinya. Aku yang memperhatikannya langsung saja seperti terkena aliran listrik. Buah dadanya yang besar dan putih, terbungkus bra dengan model cup yang hanya menutup puting, menggantung seolah minta dipetik. Dia masih belum sadar kalau aku memperhatikan ke balik t-shirtnya sampai dia tegak kembali. Aku masih termangu-mangu menikmati pemandangan yang baru saja kulihat.

Rina menggoyangkan tangannya di mukaku.

"Eh, bangun.. Bangun. Ada kebakaran," katanya mengejutkanku.

Aku tersentak dari lamunanku. Dia tertawa kecil.

"Jangan melamun, nanti keterusan," katanya lagi. Dipegangnya tanganku. Aku semakin panas dingin. Digesernya tempat duduknya ke sampingku. Tak sengaja sikuku menyentuh dadanya yang kenyal. Mukaku agak merah, sementara dia diam saja.
"Sorry Rin, nggak sengaja," kataku meminta maaf.
"Aku tahu kok, kalau sampai sengaja namanya kurang ajar. Tapi kalau mau boleh lagi kok. Lagian daripada ngelamun lebih baik cari pengalaman," katanya pelan sambil mukanya berpaling ke arah lain. Haah! Aku seakan tak percaya dengan ucapannya. Otakku mulai menganalisa peluang yang bisa kutangkap.
"Bener nih nggak mau. Kalau mau ayo kita cari tempat yang aman. Jangankan kau senggol, lebih dari itupun ayuk saja," ia mengerling ke arahku dan lidahnya memainkan bibirnya.
"Tarik Mangg!!" sorakku dalam hati.

Tanpa buang waktu lagi kami naik taksi dan menuju sebuah hotel yang cukup bersih. Kami berdua berbaring di atas ranjang. Rina berada di sebelahku, menatapku lalu mendekatkan mukanya ke mukaku dan menciumku. Aku membalas perlahan. Kuremas dadanya dari luar kausnya. Ia naik ke atas tubuhku.

"Ouw.. Mulai nakal tangannya ya!" bisiknya.

Rina terus menciumiku sambil melepas t-shirtnya. Kemudian tangannya menarik kaus yang kukenakan dan melepas lewat kepalaku. Ia membelai dadaku dan mengusapkan bibirnya pada bulu dadaku.

Bibirnya ke bawah dan sudah sampai di leherku. Kuciumi telinganya dan kuhembuskan napasku dekat telinganya. Ia menggelinjang geli sekaligus nikmat. Debaran di dada meningkat. Ia terus menciumi dadaku. Kurasakan buah dadanya yang tadi sempat kuintip menekan dadaku. Kenyal dan padat dibungkus bra hitam. Onde mandeh, indah sekali.

Tangan kanannya ke bawah, membuka ikat pinggangku, melepas kancing celana dan menarik ritsluiting dan kemudian menariknya ke bawah. Aku mengangkat pantatku untuk membantu memudahkan tangannya membuka celanaku. Kugerakkan kepalaku ke punggungnya dan dengan gigiku kulepas kait branya. Kuciumi punggungnya yang putih mulus. Tanpa dibuka, dengan pergerakan kami berdua akhirnya tidak lama branya sudah terlepas sendiri dan merosot ke ranjang.

Buah dadanya berukuran besar, mungkin 36, terlihat sangat putih, kencang dan padat dengan bagian ujungnya berwarna kemerahan. Putingnya yang merah kecoklatan tidak sabar menungguku untuk segera mengulumnya. Payudara kiri kuisap dan kujilati, sementara sebelah kanannya kuremas dengan tangan kiriku. Kulakukan demikian berganti-ganti. Tangan kiriku mengusap-usap rambutnya dengan lembut.

Rina mengerang dan merintih ketika putingnya kugigit.

"Upps.. Lagi Anto. Ououououhh.. Nghgghh, Anto ayo teruskan lagi.. Ouuhh.. Anto"

Payudaranya kukulum habis. Rina menggoyangkan kepalanya dan mencium leherku sampai ke dekat tengkuk. Akupun sudah tidak tahan. Senjataku sudah siap untuk masuk dalam pertempuran. Terasa keras dan kepalanya nongol melewati ban pinggang celana dalamku. Tangannya menurunkan celana dalamku sampai ke paha dan dilanjutkan dengan jari kaki ia melepas celana dalamku.

Mulutnya terus bergerak ke bawah dan kini Rina mengisap-isap buah zakarku dan menjilati batang meriamku. Kupalingkan mukaku ke samping dan kugigit ujung bantal.

Tiba-tiba secara refleks meriamku mengencang hingga condong mendekati permukaan perutku ketika lidah Rina mulai menjilat kepalanya. Kukencangkan otot perutku sehingga meriamku juga ikut bergerak dan berdenyut-denyut.

"Hmm.. Tidak terlalu besar, rata-rata saja ukurannya tapi keras dan berdenyut. Pasti luar biasa nikmat," komentar Rina sambil terus melakukan aktivitasnya. Kuangkat kepalaku dan kulihat Rina sedang asyik menjilat, menghisap dan mengulum meriamku. Kadang-kadang ia melihat ke arahku dan tersenyum.

Rina melepaskan kepalanya dari selangkanganku dan tangannya dengan cepat melepas celana dalamnya sendiri. Bibirnya menyambar bibirku. Kubalas dengan ganas dan kusapukan lidahku pada bibir dan masuk dalam rongga mulutnya. Lidah kami kemudian saling memilin dan mengisap. Tanganku mengembara ke selangkangannya dan kemudian jari tengahku masuk menerobos liang kenikmatannya sampai menemukan tonjolan kecil di dinding atasnya. Rina meremas dan mengocok meriamku. Meriamku semakin tegang dan keras. Kami saling memberikan stimulasi.

"Ouououhhkk.. Nikmat.. Puaskan aku," ia memohon dengan suara tertahan.

Kemudian tangannya mengurut dan menggenggam erat meriamku. Kurasakan pantat dan pinggul Rina bergoyang menggesek meriamku. Dan tanpa kesulitan kemudian kepala meriamku masuk ke dalam gua kenikmatannya. Terasa lembab dan agak kendor. Kurasakan dinding guanya semakin berair membasahi tonggak pusakaku.

"Akhh Anto ayo kita sama-sama nikmati.. Oukkhh".

Kujilati lehernya dan bahunya. Ia terus menggoyangkan pantatnya sehingga sedikit demi sedikit makin masuk dan akhirnya semua batang meriamku sudah terbenam dalam guanya.

Rina bergerak naik turun untuk mendapatkan sensasi kenikmatan. Pantatnya bergerak maju mundur. Gerakannya berubah dari perlahan menjadi cepat dan semakin cepat sampai akhirnya dia berhenti karena kelelahan. Ia mengubah gerakannya menjadi ke kanan ke kiri dan berputar-putar. Pantatnya naik agak tinggi sehingga hanya kepala meriamku berada di bibir guanya dan bibir guanya kemudian berkontraksi mengurut kepala meriamku. Tidak terlalu kuat kontraksi otot vaginanya, hanya sedikit terasa meremas batang kemaluanku.

Kemudian ia menggesek-gesekkan bibir guanya pada kepala meriamku sampai beberapa kali dan kemudian dengan cepat ia menurunkan pantatnya hingga seluruh batang meriamku tenggelam seluruhnya. Ketika batang meriamku terbenam seluruhnya badannya bergetar dan kepalanya bergoyang ke kanan dan kekiri. Napasnya terputus-putus.

Kuisap putingnya yang sudah keras. Gerakannya semakin liar dan cepat. Tanganku memeluk punggungnya dengan erat sehingga tuuh kami merapat total. Ia juga memeluk diriku rapat-rapat. Kini gerakannya pelan namun sangat terasa. Pantatnya naik ke atas sampai kemaluanku terlepas, dan ia menurunkan lagi dengan cepat dan kusambut dengan gerakan pantatku ke atas. Kembali meriamku menembus guanya. Ia merinding dan menggelepar. Tangannya meremas rambutku dan mencakar punggungku, punggungnya melengkung menahan kenikmatan. Mulutnya merintih dengan kata-kata yang tidak jelas dan mengerang keras.

"Anto.. Ouhh Anto, aku mau dapat, aku tidak tahan mau kelu.. Ar," desahnya.
"Sshh.. Shh"
"Anto sekarang ouhh.. Sekarang" ia memekik.

Tubuhnya mengeras, merapat di atasku dan kakinya membelit betisku. Pantatnya ditekan ke bawah dengan keras dan vaginanya menjadi sangat basah hingga terasa licin. Tubuh Rina mulai melemas. Keringatnya menitik di sekujur pori-porinya. Kemaluanku yang masih menegang tetap dibiarkan di dalam vaginanya.

"Terima kasih jantanku. Kau sungguh hebat sekali. Aku puas dengan permainanmu. Berikan aku istirahat sebentar, lalu..," ia berbisik di telingaku.

Kusambar bibirnya dengan bibirku dan kugulingkan ke samping. Penisku yang memang belum menyelesaikan tugasnya tentu saja masih tegang dan penasaran.

"Sudahlah sayang, biarkan aku istirahat dulu sebentar saja.. "

Aku tidak menghiraukannya, kini kugenjot vaginanya sampai berdecak-decak menimbulkan suara yang justru sangat merangsang. Ia hanya pasif dan diam saja saja menerima gempuranku.

Vaginanya terasa sangat licin dan ditambah lagi kondisi ototnya yang sudah kendor, maka gerakanku tidak memberikan kenikmatan yang maksimal. Kucabut penisku dan kuambil handuk untuk mengelap vaginanya supaya agak kering. Aku naik lagi ke atas tubuhnya. Kembali kuarahkan moncong meriamku ke sasaran. Kudorong pelan, meleset sampai beberapa kali. Kuangkat kedua kakinya dan kurenggangkan pahanya. Dengan tenaga penuh kudorong pantatku. Kini berhasil, dan langsung kugenjot dengan tempo perlahan saja. Lumayan, dalam keadaan dinding vagina kering begini baru bisa terasa nikmat.

Rina kembali bangkit nafsunya setelah beberapa menit beristirahat. Iapun kemudian mengimbangi permainanku dengan gerakan pinggulnya. Diganjalnya pantatnya dengan bantal sehingga kemaluannya agak naik. Kami berciuman dengan penuh gairah. Kaki kami saling menjepit dengan posisi silang, kakiku menjepit kaki kirinya dan kakinya juga menjepit kaki kiriku. Dalam posisi seperti ini dengan gerakan yang minimal dapat memberikan kenikmatan optimal, sehingga sangat menghemat tenaga.

Kami makin terbuai dengan gerakan masing-masing. Kini kedua kakinya menjepit kakiku. Ia memutar-mutar pinggul dan membuat gerakan naik turun. Aku meremas, memilin serta mengisap payudaranya. Kami bisa saling memberikan kenikmatan.

"Ouh.. Achch.. Mmmhh.. Ngngngnhhk" Rina mendesah tertahan.

Kugenjot pinggulku naik turun dengan irama tertentu. Kadang cepat kadang sangat lambat. Setiap gerakanku kubuat pinggulku naik agak tinggi sehingga penisku terlepas dari vaginanya, lalu kutekan lagi. Setiap penisku dalam posisi masuk, menggesek bibir vaginanya ia terpekik kecil. Kakinya bergerak dan kedua kakinya kujepit dengan kedua kakiku. Dalam posisi begini aku hanya menarik penisku setengah batang saja saja karena kalau sampai tercabut keluar susah untuk memasukkannya lagi. Namun keuntungannya jepitan vaginanya jadi sangat terasa.

Kami mengubah posisi lagi, kembali dalam posisi konvensional. Kedua kakinya kuangkat ke atas bahuku, lututnya menempel pada perutnya. Dengan bertumpu pada tangan kubiarkan tubuhku melayang tanpa menempel pada tubuhnya. Sepintas seperti gerakan orang sedang melakukan push-up.

"Rina.. Ouhh nikmat sekali, hebat sekali permainanmu.. "

Kuperkirakan sudah setengah jam kami bercinta, tenaga sudah mulai berkurang sehingga kuputuskan untuk segera mencapai puncak. Kupercepat gerakanku dan gerakannya juga semakin liar.

"Ke atas sedikit yang.. Oooh," pintanya. Kuturuti permintaannya. Aku menggeser tubuhku, sehingga penisku menggesek bagian atas vaginanya. Gesekan kulit penisku dengan klitorisnya terasa sangat nikmat.

Bunyi deritan ranjang, erangan, bunyi selangkangan dan paha beradu seakan-akan berlomba. Tubuh kami sudah basah oleh keringat yang membanjir. Dinginnya udara kamar tak terasa lagi. Kurasakan ada aliran yang menjalar dalam penisku. Inilah saatnya akan kuakhiri permainan ini. Rina terengah-engah menikmati kenikmatan yang dirasakannya.

"Rina.. Rin sebentar lagi aku mau keluar.. "

Gerakanku semakin cepat hingga seakan-akan tubuhku melayang. Lututku mulai sakit.

"Ayolah Anto aku juga mmau kkel.. Uar. Kita sama-sama sampai".

Ketika kurasakan aliran pada penisku tak tertahankan lagi maka kurapatkan tubuhku ke tubuhnya dan kulepaskan kakinya dari atas bahuku. Kakinya mengangkang lebar. Kuhunjamkan pinggulku dalam-dalam sambil memekik tertahan.

"Rina.. Ouh .. Sekarang.. Sekarang".
"Ouh Anto aku.. Juga.. Keluar".

Kakinya membelit kakiku, kepalanya mendongak dan pantatnya diangkat. Kurasakan denyutan dalam vaginanya sangat kuat. Kutembakkan laharku sampai beberapa kali. Giginya dibenamkan dalam di dadaku sampai terasa pedih. Napas kami masih tersengal-sengal, kucabut penisku dan menggelosor di sampingnya. Tangannya memeluk lenganku dan jarinya meremas jariku.

"Anto aku masih mau lagi, kita habiskan malam ini bersama-sama. Ayolah, kumohon.. Pleasse!" ia memintaku.

"Sorry Rin, jangan malam ini. Bukannya aku tidak mau, tapi besok pagi-pagi aku akan keluar kota selama beberapa hari. Nanti aku akan memuaskanmu setibanya dari luar kota," aku mengelak.

Rasanya badanku sangat lelah sehingga jika kuturuti permintaannya aku merasa tidak mampu lagi menandinginya. Rina kelihatan agak kecewa namun dia bisa menerima alasanku. Kami masuk kamar mandi, berpelukan dan berendam air hangat bersama-sama di bath tub sampai rasanya mau tertidur. Kemudian kami saling membersihkan tubuh masing-masing. Setelah berpakaian kukecup bibirnya, dia membalasnya dengan bernafsu, tapi kudorong tubuhnya dengan halus.

"Sudahlah Rin, nanti saja kita habiskan waktu kita bersama-sama sepanjang hari," rayuku.

*****

Kami keluar dari hotel dan berpisah di jalan dengan janji untuk bercumbu lagi setelah kembali dari luar kota.

TAMAT
Baca selengkapnya → Rina

Titin

Tanah Sunda sudah dikenal dengan gadis cantiknya sejak dari dulu. Bahkan konon di jaman penjajahan Belanda banyak tuan-tuan pemilik perkebunan yang mengawini wanita Sunda di sekitar lokasi perkebunan untuk dijadikan istrinya. Aku mengenal Titin dari hobi jalan malam di sekitar SM-Merdeka dan Siliwangi-Sukasari di Bogor.

Ketika sedang nongkrong di Wartel dekat pintu masuk Taman Topi ada wanita yang mondar-mandir didekatku. Dia mengenakan pakaian seragam sebuah pabrik. Kukira dia lagi nunggu temannya. Tidak lama kemudian ada seorang wanita lagi yang datang dan mendekatinya. Mereka bicara dengan suara keras dan nada tinggi seperti sedang memperdebatkan sesuatu. Aku tidak mau ikut campur dengan pembicaraan mereka. Toh aku juga tidak tahu ujung pangkalnya.

Setelah dilerai oleh Satpam, wanita yang datangnya belakangan akhirnya pergi dengan masih tetap memaki-maki wanita pertama dalam bahasa Sunda. Aku yang hanya sedikit tahu bahasa Sunda masih belum bisa sepenuhnya menangkap apa yang sedang terjadi di dekatku. Aku mulai tertarik dan memperhatikan mereka. Wanita pertama tadi hanya diam saja, meskipun raut mukanya menunjukkan kekesalan. Kudekati dan kutanya,

"Kenapa Teh, maaf kelihatannya lagi berantem. Apa sih masalahnya?"
"Nggak pa-pa kok. Dia menuduhku ada hubungan dengan suaminya. Padahal aku berhubungan dengan suaminya hanya sebatas urusan pekerjaan," katanya.
"Ya sudah, teteh kelihatannya masih kesal. Minum es dulu yuk biar tenang," kuajak dia untuk duduk minum di kafe yang banyak terdapat di sana.

Kami pesan es buah. Kutawarkan untuk makan tapi dia menolaknya.

"Terima kasih Aa. Saya teh sudah nggak ada nafsu makan dan lagian masih kenyang," katanya halus.

Akupun maklum saja. Mungkin setelah bertengkar tadi meskipun perut lapar jadi tidak ada selera makan. Setelah pesanan kami datang, ia mengaduk gelasnya perlahan-lahan dengan sendoknya.

"Sudah tenang sekarang. Kalau boleh tahu, apa sih masalah sebenarnya?" tanyaku.
"Saya memang belakangan ini sering jalan dengan suaminya untuk urusan pekerjaan. Eh dianya cemburu ketika ketemu kami di Cibinong," jawabnya.
"Kan bisa dijelasin ama suaminya?"
"Sudah, tapi dia nggak terima. Dibilang saya gatel, wanita murahan dan lain-lainnya. Daripada saya ladenin, nanti jadi makin rame saya tinggal pulang aja ke kantor. Eh dia belum puas dan telpon ke kantor. Katanya tungguin nanti malam di Wartel sini agar bisa selesai. Sampai di sinipun saya masih dimaki-maki. Untung dilerai sama Satpam".

Akhirnya aku tahu dia bernama Titin dan bekerja sebagai supervisor produksi di salah satu pabrik tekstil yang memang banyak terdapat di sekitar Cibinong. Rumahnya di sekitar Biotrop. Suaminya minggat dengan perempuan lain enam bulan lalu. Jadi statusnya sekarang menggantung. Janda tidak, bersuamipun tidak juga. Dia belum punya anak. Janda kembang gantung, pikirku. Badannya ramping cenderung kurus, kulitnya bersih dengan dada membusung di balik seragamnya. Ada keindahan tersendiri melihat seorang wanita dalam pakaian seragam. Eksotis.

Entah kenapa kalau ketemu wanita seringkali statusnya janda. Tapi sebenarnya akupun tidak mau merusak keperawanan seorang gadis. Bagiku berat bebannya. Lebih enjoy dengan janda atau gadis yang sudah tidak perawan. Tidak usah mengajari lagi.

"Aku mau pulang, tapi pikiranku suntuk. Dibawa tidurpun pasti nggak mau," katanya lagi.
"Kalau gitu kita jalan ke Puncak aja yuk. Menenangkan pikiran," ajakku.
"Boleh, tapi jangan kemalaman ya!"
"Nggak, kan rumahmu juga nggak terlalu jauh ke Puncak".

Aku mulai berpikir, pasti kami nggak akan kemalaman, paling-paling kepagian. Kamipun segera menghabiskan minuman dan segera berangkat ke Puncak. Sampai di daerah Cibogo, ia minta turun dan mengajak berjalan kaki menyusuri jalan raya. Para GM yang sedang menjerat mangsa menawarkan penginapan pada kami. Aku hanya menatap Titin dan ternyata dia cuek aja dengan tawaran GM tadi.

Dinginnya udara Puncak mulai terasa. Ia mulai kedinginan dan mendekapkan kedua tangannya di dadanya.

"Dingin?" tanyaku.

Titin hanya mengangguk saja. Sambil jalan kulingkarkan tangan kiriku pada bahu kirinya. Ia menggelinjang sedikit, sepertinya menolak pelukanku. Tapi tanganku tetap dibiarkan di bahunya. Bahkan tangan kanannya melingkar di pinggangku dan mencubitku. Aku menggerakkan pinggulku sedikit kegelian. Sampai di depan sebuah wisma kami berhenti.

"Masuk yuk!" ajakku.
"Mau ngapain. Katanya nggak sampai malam," jawabnya. Ada nada keraguan atau mungkin juga kepura-puraan.
"Ngapain aja terserah kita dong. Lagian kalau dua orang berbeda jenis masuk ke hotel ngapain?" pancingku.
"Tidur aja. Kamu merem, saya merem. Aman kan," katanya.
"Nggak mau. Kalau kamu merem aku melek, sebaliknya kalau kamu melek aku yang merem, supaya ada yang jaga," kataku melempar umpan semakin dalam.
"Ayo. Tapi kamu janji jangan macam-macam. Awas nanti," katanya mengancamku.

Dari suaranya umpanku sudah termakan. Tinggal tarik ulur tali saja agar ikannya tidak terlepas. Kami masuk ke dalam kamar. Kuperiksa sebentar kelengkapannya. Jangan sampai lagi tanggung room boy datang antar kekurangannya. Aku minta air putih saja untuk di dalam kamar. Meskipun udara dingin, aku yakin nanti pasti perlu minum. Titin masuk ke dalam kamar mandi dan sebentar kemudian terdengar suara air yang keluar dari jepitan pintu gua. Wsshh dan tak lama suara guyuran air.

Aku keluar kamar, berdiri di teras kamar sambil melihat suasana. Sepi, karena memang bukan week end. Aku masuk lagi ke dalam kamar. Kebetulan Titin pun keluar dari kamar mandi. Pintu keluar dan pintu kamar mandi berdekatan posisinya. Kupandangi wajah Titin, kupegang tangannya dan dengan sekali tarikan ia sudah ada dalam pelukanku. Ia sedikit meronta, tapi rasanya hanya penolakan pura-pura.

"Jangan.. Jangan!"

Kalau memang dia tidak mau, pasti kami berdua tidak akan sampai ke kamar ini. Kucium bibirnya yang tipis. Lemas sekali bibirnya sehingga terasa kenikmatan mulai menjalar, meskipun ia belum membalas ciumanku. Kulepaskan lagi ciumanku dan kutatap matanya.

"Aku mohon.. Jangan.. Jangan. Jangan disini sayang!" Ia mengakhiri kata-katanya dengan menyerbu bibir dan mukaku kemudian menarikku ke ranjang.
"To, aku merasa kesepian dan kedinginan. Kamu mau berikan kehangatan?"

Rasanya terbalik pertanyaan itu. Mestinya aku yang tanya apakah dia mau bercinta denganku.

"Pasti. Kita akan sama-sama puas malam ini".
"Terima kasih To. Aku.. Aku..".

Sambil berkata begitu ia langsung mencium bibirku. Akupun langsung membalas ciumannya. Bibir kami saling berpagut, lidah kami saling mendorong dan menjepit saling sedot. Cukup lama kami menikmatinya. Bibirnya memang benar-benar terasa sangat lemas sehingga dapat kupermainkan dan kuputar-putar dengan mulutku.

"Ayo puaskan aku sayang.. Ah. Ah." suaranya hanya mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya.

Tangan kiriku mulai menjalar di pahanya. Kusingkapkan roknya, benar-benar mulus sekali pahanya. Kuremas-remas sampai ke pangkal pahanya. Ketika sampai di celana dalamnya, kutekankan jari tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan ku gesek-gesekkan.

"Ah sayang. Kamu nakal sekali".

Aku tidak menghiraukannya. Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya dari luar. Tangannya pun tak mau ketinggalan memegang bahkan mencengkeram keras kejantananku dari luar. Terasa sakit tapi aku dapat menikmatinya.

"Kita tidak akan kemalaman sekarang, tapi kepagian," bisikku menggodanya.
"Biarin aja, saya besok shift siang jam 3".

Dengan ganasnya aku menciuminya, seperti seekor kucing yang sedang melahap dendeng. Tangannya bergerak ke bawah dan terus ke bawah. Ia membuka kancing bajuku dan melepasnya. Kini setiap jengkal tubuhku bagian atas tak luput dari ciumannya. Kemudian ia membuka resleting celanaku dan langsung mencengkeram penisku.

"Anto, punya kamu boleh juga. Tidak besar tapi keras sekali. Apa ada wanita lain yang pernah merasakannya?"

Pertanyaan itu lagi. Kenapa setiap wanita mau tahu apakah pria yang dikencaninya pernah tidur dengan wanita lain.

"Ada, aku bukan perjaka lagi," jawabku tenang, yang penting adalah apa yang terjadi sekarang ini. Dan lagi kelihatannya ia hanya sekedar bertanya tanpa mempedulikan jawabanku.

Belum selesai kata-kataku, ia telah mengocok dan kadang meremas kejantananku. Pintar sekali ia memainkan adik kecilku. Beberapa menit kemudian tegangan pada kejantananku sudah maksimal. Tiang bendera sudah tegak berdiri, siap untuk melaksanakan apel malam. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kemudian akupun langsung menerkam tubuhnya.

"Sabar sayang, buka bajunya dulu donk."

Kamipun membuka pakaian kami masing-masing. Setelah telanjang bulat, langsung kubaringkan ia. Kuciumi senti demi senti tubuh mulusnya. Dari atas ke bawah sampai kepada paha dalamnya. Kurenggangkan kedua pahanya. Tercium aroma khas yang dipunyai seorang wanita. Kurenggangkan labia mayora dan labia minoranya dengan jempol dan telunjukku.

"Ayo sayang.. Puaskan.. Aku.. Ya.. Ohh. Oohh." Kata-katanya terus meracau, apalagi ketika aku melahap habis biji kacangnya dengan mulutku, kadang kusedot, kuhisap, dan kugigit dengan lembut.
"Ah.. Ennak ssayang.. Kamu ppinnttarr. Ohh.. Oohh"

Aku sudah tidak mempedulikan kata-katanya. Aku makin asyik dengan mainanku. Kulepaskan mulutku dan kutindih dia. Kumasukkan jari tengah kiriku ke dalam lubang perlahan lahan. Tubuhnya meronta-ronta seperti orang kesetanan, kedua payudaranya bergoyang kencang. Aku pun meraih payudaranya itu. Dengan tangan kananku, kupelintir puting susunya yang sebelah kiri dan mulutku kini menggigit halus puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula ia meronta.

Kuhentikan permainan tanganku dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang kenikmatannya. Tanpa kesulitan aku segera menembus guanya. Terasa basah dan hangat. Kugerakkan pinggulku dan ia membalas dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya mengimbangiku. Satu kakinya menjepit pahaku dan kaki lainnya dibuka lebar dan disandarkan ke dinding kamar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit kecil kulit dadanya sampai meninggalkan bekas kemerahan.

"Ciumi leher dan pundakku! Aku sangat terangsang kalau dicium di situ," rintihnya.

Kuikuti kemauannya dan sampai akhirnya ia menggelinjang hebat, kedua tangannya mencengkeram keras kepalaku. Pinggulnya naik menjemput kejantananku. Kutekankan kejantananku dalam-dalam dan akhirnya ia mencapai orgasmenya. Ia terkulai lemas. Ditekan-tekannya pantatku ke bawah dengan tangannya.

Kemudian aku turun dari tubuhnya dan membiarkannya beristirahat sebentar. Setelah napasnya pulih ia naik ke atas tubuhku dan mulai mencium bibir, leher dan telingaku. Mulutku menghisap kedua payudaranya. Terkadang kugigit putingnya bergantian. Ia hanya mengeluh merasakan nikmatnya. Beberapa menit kemudian ia sudah terangsang lagi.

"Ayo sayang. Aku sudah siap memuaskanmu di babak kedua.."
"Kita lakukan dengan berdiri," kataku berbisik di telinganya. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.

Kuangkat tubuhnya berdiri di samping ranjang. Kami masih saling berciuman dengan ganas. Ia kemudian mengangkat kaki kirinya ke atas ranjang, kudorong sedikit sampai ia mepet ke dinding kamar. Tangannya membimbing meriamku memasuki guanya. Pantatnya sedikit disorongkan ke depan dan perlahan lahan meriamku masuk, sampai..

Blesshh..

Semuanya sudah terbenam di dalam guanya. Oh hangatnya.

"Ayo sayang, goyang.. Sayang ohh.. Ohh"

Kedua tangannya memegang pantatku dan membantu gerakan pinggulku maju mundur. Rasanya nikmat sekali bercinta sambil berdiri. Badannya ia lengkungkan ke belakang sehingga meriamku dengan leluasa menobrak-abrik guanya. Pinggangnya juga bergerak-gerak mengimbangi gerakanku. Mulutku tetap melakukan aktivitas di bagian atas tubuhnya. Kadang berciuman, kadang menyedot dan mengulum putingnya. Cukup lama aku mengocoknya, akhirnya kupercepat kocokanku ketika kurasakan lahar panas akan keluar.

"Tin, oh.. Aku mau keluar. Di keluarin dimana nih ohh. Oohh".
"Tunggu sebentar. Aku juga mau keluar, ohh. Ooohh sama-sama ya sayang.. Ohh.. Di dalam aja nggak apa-apa. Ohh barengan yah."

Akhirnya kutumpahkan spermaku di dalam guanya. Aku mencapai klimaks duluan. Titin tidak bisa mencapai klimaks yang kedua meskipun ia masih berusaha menggerakkan pantatnya maju mundur karena meriamku sudah berangsur-angsur melemas dan akhirnya terlepas sendiri dari dalam guanya.

Kami rebah berdampingan di ranjang. Ia memelukku dan menciumku. Kuakui wanita satu ini memang luar biasa. Tidak dengan setiap orang aku dapat melakukannya dengan berdiri. Aku sudah coba. Tapi dengan Titin meskipun dia jauh lebih pendek dariku ternyata aku bisa melakukannya.

"Sorry Tin. Aku nggak tahan lagi. Nanti kita akan mulai lagi dengan santai dan saling menunggu sehingga bisa mencapai klimaks bersama-sama. Terima kasih ya sayang. Kamu benar-benar hebat."
"Nggak apa-apa. Aku sudah dapat duluan. Kamu juga hebat. Malam ini masih panjang. Kita tidak usah tidur sampai pagi supaya dahagaku terpuaskan".

Akhirnya sisa malam kami lalui dengan berpelukan. Ia tersenyum kemudian menciumku dan merebahkan kepalanya di dadaku. Malam itu kami masih melakukannya lagi tiga kali sampai pagi. Sekali kami lakukan di lantai beralaskan selimut. Ternyata ketika bermain di lantai kami bisa merasakan nikmat yang luar biasa. Gairah kami seakan-akan meledak sampai seluruh badan terasa sakit dan ngilu. Tetapi setelah mandi pagi gairahku kembali menyala dan aku masih sempat sekali lagi bergumul dengannya.

Kami pulang dengan membawa kepuasan dan rasa lelah yang luar biasa. Seharian kuhabiskan dengan tidur-tiduran. Bahkan aku tidak sempat makan siang. Setelah itu aku masih sempat dalam dua pertemuan merasakan kehebatannya bercinta dalam posisi berdiri. Akhirnya dia pindah kos dan aku kehilangan jejak.

TAMAT
Baca selengkapnya → Titin

Umi

Kantorku mulai bulan ini memberikan fasilitas fitness sekali seminggu untuk karyawan yang mau. Tempatnya di sebuah fitness centre di sekitar Jl. Caringin, tidak jauh dari Harmoni tempat kantorku berada. Fasilitas yang diberikan berupa jadwal latihan fitness atau senam dan instruktur. Instrukturnya seorang anak muda yang supel dan energik, Ojie, orang biasa memanggilnya. Nama sebenarnya kami tidak tahu.

Sebulan kami sudah menikmati fasilitas itu. Memang ada perbedaan yang kurasakan. Badanku lebih fit dan segar. Otot-ototku belum memang belum menunjukkan kemajuan, namun aku merasa lenganku sekarang lebih kencang dan keras.

Sepulang kerja aku dan beberapa teman sudah berada di lokasi fitness centre. Sore ini jadwal kami untuk menggunakannya. Kami sudah berganti pakaian dan siap di ruang latihan. Ojie bersama seorang wanita yang belum kukenal sebelumnya mendatangiku dan berkata.

"Maaf Pak Anto, sore ini saya ada acara lain, kalau ada sesuatu keperluan sampaikan saja pada Mbak Umi, teman saya ini. Mbak kenalkan ini Pak Anto dan rekan-rekan kantornya, Pak ini Mbak Umi".
Kuulurkan tanganku pada wanita tadi, "Saya Anto".
"Umi", jawabnya singkat.
"Baiklah Pak dan Mbak Umi, saya mohon diri. Have a nice day", kata Ojie sambil meninggalkan kami.
"Silakan kalau mau mulai berlatih, Bapak dan Ibu semua. Kalau ada sesuatu atau perlu bantuan saya ada disini menemani berlatih", kata Umi ramah.

Kamipun masing-masing mulai mengambil posisi berbagai alat latihan. Dari kaca di dinding kuperhatikan instruktur baru ini. Wajahnya sederhana, tidak terlalu cantik dalam artian kulitnya tidak terlalu putih, bibirnya sedang, malahan cenderung agak tebal. Giginya sedikit gingsul di bagian kanan. Kalau mengenai badannya, namanya saja instruktur fitness dan senam, pasti oke punya dong. Kupikir-pikir kalau ada lomba mirip Rita Sugiarto ia ada harapan untuk memenangkan kontes.

Aku pernah membaca sebuah artikel yang membahas sifat seseorang melalui bentuk tubuh dan ciri-ciri fisik, bentuk tubuh dan muka seperti Umi ini memiliki gairah nafsu yang tinggi. Mulanya ia akan malu-malu dan seakan-akan menolak, namun kalau sudah terpancing nafsunya, hmm, ia akan memperlakukan pasangannya seperti seekor singa betina. Oh ya, gelang emas yang melingkar di pergelangan kakinya semakin meyakinkanku.

Entah mengapa setiap melihat wanita yang memakai gelang kaki, ada sesuatu yang meletup-letup padaku. Dari hasil pengamatanku, aku berpendapat bahwa wanita yang mengenakan gelang kaki, meskipun ia tidak terlalu cantik, namun mempunyai pesona dan gairah seksual yang luar biasa.

Waktu latihan habis dan kamipun berkemas-kemas untuk pulang. Kulihat ia masih berada di ruang latihan belum ganti pakaian.

"Lho belum pulang Mbak?" tanyaku sambil sekilas melirik belahan dadanya.

Ia mengenakan pakaian fitness yang ketat sehingga di bagian atas belahan dadanya terlihat jelas. Ia tersipu-sipu begitu tahu aku melirik dadanya.

"Ah Bapak ini, belum. Saya masih harus melatih senam aerobik di lantai 2," katanya.
"Kalau begitu kami pulang dulu. Terima kasih untuk latihan sore ini," aku mohon diri karena kulihat teman yang lain juga sudah siap untuk pulang.
"Sama-sama Pak, selamat jalan. Hati-hati di jalan. Kalau ada mobil jangan ditabrak," katanya sambil sedikit bercanda.

Demikianlah pada minggu-minggu berikutnya kalau Ojie lagi tidak ada, Umi yang menunggui kami berlatih. Orangnya cukup sabar dan murah senyum. Setiap kali Umi menunggui kami berlatih, aku coba dengan berbagai cara untuk memancing perhatiannya. Namun ia kelihatannya tidak terlalu menghiraukan, kami semua diperlakukan sama. Ia hanya menganggap kami semua hanya sebatas hubungan instruktur dan peserta saja.

Suatu ketika setelah selesai latihan aku merasa lapar sekali. Teman-teman yang lain tidak ada yang mau menemani makan di kantin di lantai bawah fitness centre. Ruang fitness ada di lantai 3, ruang senam ada di lantai 2 dan di lantai 1 ada kantin dan kantor.

Aku masuk ke dalam kantin. Kulihat mejanya terisi semua, tapi ada satu meja di sudut yang hanya dipakai satu orang wanita. Aku tidak begitu memperhatikan wanita yang duduk di meja tersebut. Setelah menarik kursi, aku baru sadar ternyata Umi yang ada di situ. Ia juga agak terkejut melihatku muncul di depannya.

"Sendirian Mbak Umi? Boleh saya duduk di sini?" sapaku. Ia hanya mengerakkan telapak tangannya memberi isyarat menyilakan aku duduk.
"Sudah selesai latihannya Pak? Mana teman-temannya?"
"Nggak ada yang mau diajak makan. Heran, diajak makan saja pada nggak mau. Gimana kalau diajak kerja ya?"
"Bapak bisa aja".

Aku memesan cap cay. Sambil menunggu kami mulai mengobrol tentang kondisi Jakarta belakangan ini. Wawasannya luas. Dari raut muka dan matanya kelihatannya ia seorang yang cerdas. Smart. Aku baru saja menemukan sex appealnya. Kecerdasan otak yang ditunjang dengan bodinya membuat ia kelihatan seksi dan, so charming. Selama ini hanya bodynya saja yang kulihat dan rasanya tidak ada yang istimewa bagiku. Bodynya bukannya tidak bagus, namun aku belum menemukan sisi yang istimewa. Sekarang inilah aku berpendapat bahwa ia seorang yang menarik.

"Lama juga ya cap cay-nya. Hhh!" keluhku.
"Sabar saja pak, maklum sore ini pengunjungnya banyak".

Tidak berapa lama pesananku datang.

"Mari, saya makan," kataku berbasa-basi.
"Terima kasih Pak. Silakan, saya sudah. Emm.. Maksud saya, saya hanya minum saja. Haus. Tadi habis melatih senam".

Ia memperhatikanku menambahkan lada putih ke dalam capcayku. Setelah itu aku masih minta cabe rawit beberapa butir pada pelayan. Ia tersenyum kecil.

"Biasanya orang yang kuat makan pedas nafsunya gede," komentarnya.
Aku hampir tersedak mendengarnya. Namun kemudian aku menguasai diri, kuminum air putihku dan kujawab, "Kalau ada sambal atau cabe memang nafsu makan jadi kuat".

Ia tertawa tertahan. Aku tersenyum sambil memandang deretan giginya yang rapi dan, oh gingsulnya kelihatan.

Kubalas godaannya tadi,"Orang yang giginya gingsul kudengar juga gede nafsunya".

Ia hanya tersipu-sipu tanpa bisa membalas godaanku. Nah lo, skor 1-0!

"Bapak ini paling bisa kalau menjawab," akhirnya ia berucap.

Tampaknya kami cepat menjadi akrab, serasa sudah lama saling mengenal. Umi kelihatannya tidak keberatan kalau kupanggil namanya saja dan akupun memintanya supaya memanggil namaku saja, tanpa tambahan embel-embel yang hanya untuk alasan kesopanan. Umurnya lima tahun di atasku, sekitar tigapuluh tahun. Ia berdarah Jawa-Madura. Bapaknya Surabaya, ibunya Madura.

Setelah selesai makan kami masih duduk sebentar dan kubayar sekalian minumannya. Ia mengucapkan terima kasih.

"Sekarang mau kemana? Masih ada skedul latihan?" tanyaku sambil berjalan.
"Nggak. sudah habis untuk hari ini," jawabnya.
"Saya juga mau pulang. Umi pulang ke mana?" Ia menyebutkan alamat rumahnya.
"Kalau begitu nanti kuantar saja. Jam segini susah cari mobil dan lagian.. Mau hujan," kataku sambil melihat ke atas.

Kebetulan sore ini akau bawa mobil kantor untuk berangkat fitness rame-rame dari kantor. Awan gelap memang terlihat menaungi Jakarta. Kami berjalan ke pelataran parkir sambil berlari-lari kecil karena gerimis sudah turun. Kubuka pintu depan sebelah kiri, ia masuk dan akupun segera masuk dan kami berangkat pulang. Ternyata hujan tidak jadi turun. Kuantarkan ia sampai pintu rumahnya.

"Rumahmu kok sepi Um?" tanyaku.
"Iya pak. Saya tinggal sendirian setelah bercerai dengan suami saya".
"Upps, Sorry. Bukan maksudku.." kataku minta maaf kalau telah mengorek masa lalunya.
"Nggak apa-apa To. Yaah inilah kenyataan yang harus kujalani," katanya lirih.

Aku tak mau berlama-lama membahas soal ini, takut ia menjadi sedih. Segera aku berpamitan pulang.

"Nggak masuk dulu?"
"Terima kasih, sudah gelap. Nanti kemalaman sampai di rumah. Lain kali kamu kuantar lagi. Boleh kan?" kataku.
"Ternyata kamu punya takut juga. Takut kemalaman," katanya sambil tertawa kecil. Keceriaannya sudah kembali lagi. Akupun masuk ke dalam mobil dan pulang.

Minggu depannya aku menjadi akrab dengan Umi. Teman-temanku sendiri tidak heran lagi melihat keakrabanku dengan Umi. Di kantor aku dikenal sebagai orang yang bisa bergaul dengan semua orang, baik dengan atasan bahkan dengan big boss, dengan rekan yang setingkat dan sampai dengan office boy sekalipun. Prinsipku sederhana saja. Dengan orang yang lebih tua kuanggap sebagai orang tua atau kakak dan dengan orang yang lebih muda kuanggap dia sebagai adik.

Dua minggu kemudian aku mengantarnya lagi dalam keadaan hari hujan lebat sehingga kuantar dia masuk ke rumahnya dengan berpayungan berdua. Karena hujan lebat disertai dengan angin kencang tak urung pakaian kami sedikit basah. Kali ini ia memaksaku masuk.

"Masuk dulu, tak bikinin minuman anget dhisik!" katanya dengan logat Jawa Timur yang kental.

Tidak biasanya dia menggunakan logat Jawa Timurnya. Aku masuk ke dalam rumahnya. Duduk di ruang tamu. Aku menggosokkan kedua telapak tanganku untuk mengusir dingin. Hujan di luar belum reda.

Umi masuk ke dalam, mengganti bajunya yang basah dan sebentar kemudian sudah keluar lagi dengan kaus dan celana pendek longgar. Tidak lama dari ruang dalam terdengar instrumen lagunya The Police yang dimainkan dengan aransemen orkestra oleh London Philharmonic Orchestra. Kakiku bergerak mengikuti ketukan lagu dan mulutku menggumam bernyanyi. Di tangannya ada kaleng biskuit. Aku menelan ludah berharap ia membungkuk sehingga aku bisa mengintip isi kaus longgarnya.

Ia meletakkan kaleng biskuit di atas meja dengan merendahkan lututnya tanpa membungkuk. Harapanku melihat dua gunung kembarnya berlalu sudah. Tapi kuperhatikan dadanya yang tetap terlihat membusung di balik kaus longgarnya.

Pikiran ngeres tiba-tiba muncul. Selama ini aku sekedar ingin akrab saja tanpa ada keinginan untuk macam-macam. Kalapun ada perasaan hanyalah rasa senang memandang tubuh yang aduhai. Kalau pas tegangan lagi naik, maka kusalurkan dengan wanita-wanita yang kukenal sebelumnya. Paling tidak dua minggu sekali pasti Yanti, Kuda Sumbawaku selalu menelponku ke kantor minta untuk kubawa berpacu (Ingat Wanita Indonesia 7?).

Tapi kali ini berbeda. Mungkin karena situasi di dalam rumah dan udara dingin. Makanya betul juga kata orang. Persetubuhan bukan hanya terjadi karena niat pelakunya saja, namun juga karena adanya kesempatan. Waspadalah.. Waspadalah! Walaupun ada niat tapi kalau keadaan sekitarnya tidak memungkinkan?

"Minumannya sebentar lagi ya. Airnya lagi dimasak. Termosnya pas kosong. Mau minum apa?"

Aku terkejut.

"Ahh.. E.. E. Eeh. Susu.. Eh.. Teh susu," sambil tergagap kata-kataku keluar begitu saja. Namun disaat terakhir akau masih tetap bisa menguasai diriku.
"Teh saja atau kopi. Susunya habis. Sorry," ia tersenyum melihatku terbata-bata kemudian kembali masuk ke dalam.

Sebentar ia sudah kembali sambil membawa segelas teh panas dan handuk yang disampirkan di pundaknya. Rupanya sudah menjadi kebiasaannya untuk meletakkan sesuatu di atas tempat yang lebih rendah dengan cara merendahkan lututnya. Kemudian dilemparnya handuk ke arahku.

"Keringkan dulu tubuhmu! Nanti masuk angin".

Kusambut handuknya dan kukeringkan rambutku saja. Bajuku memang basah tapi rasanya aku masih bisa memakainya. Ia duduk di depanku. Aku mengambil sepotong biskuit. Ia melihatku dan mencibirkan bibirnya. Tapi dari sinar matanya dia memendam sesuatu. Kuambil sebuah buku dari bawah meja. Kulihat sampulnya dan kubaca dengan suara perlahan, "Asmaragama". Kutatap mukanya memerah dadu seperti mau menangis. Mungkin ia malu aku mengambil bukunya itu. Kunetralisir dengan meletakkan buku tersebut kembali kuganti dengan majalah.

Beberapa saat kemudian aku berpamitan. Di luar hujan masih deras, tapi kupikir biarlah kuterobos saja. Ketika kami sampai di pintu, ia kelihatan ragu mau membukakannya. Air mukanya tiba-tiba saja berubah aneh dalam pandanganku.

"To..!" Ia memegang lenganku. Feelingku mengatakan, "Anto kamu akan dapatkan dia malam ini!"
"Kenapa, kamu mau adu kekuatan cabe dengan gingsul?" tanyaku dengan bergurau. Tiba-tiba saja ia menjatuhkan kepalanya ke dadaku. Kupegang bahunya dan ia berbisik "Temani aku malam ini. Hidupku tiba-tiba terasa hampa.."

Kupeluk dia dan ia semakin merapatkan kepalanya di dadaku. Kubawa dia duduk kembali di sofa. Tapi dia menggeleng.

"Anto, masakan aku sebagai seorang wanita harus mengatakannya secara verbal kepadamu?"
Nada suaranya meninggi. Aku masih menahan diriku. Rasanya aneh kalau selama ini kami akrab tanpa ada suatu keinginan untuk berkencan, tiba-tiba saja malam ini aku harus bergumul dengannya. Ia tidak sabar lagi. Diciumnya pipiku dan tangannya tergesa-gesa membuka kancing bajuku.

"Di kamarku saja..!" katanya.
"Sssh., kamu memang sangat pandai mempermainkan emosiku. Puasin aku. Pandanganku tidak bisa ditipu. Aku sangat yakin kau sangat perkasa di atas ranjang," rintih Umi sambil memejamkan matanya.

Rintihannya terhenti waktu bibirku memagut bibirnya yang merekah. Lidahku menerobos ke mulutnya dan menggelitik lidahnya. Umi mulai menggeliat dan mulai membalas ciumanku dengan meliukkan lidahnya yang langsung kuisap. Tanganku mulai menari di atas dadanya. Kuremas dadanya. Kurasakan payudaranya sangat keras. Jariku terus menjalar mulai dari dada, perut terus ke bawah hingga pangkal pahanya. Umi makin menggeliat kegelian. Lidahku sudah beraksi di lubang telinganya dan gigiku menggigit daun telinganya.

Pelukanku kulepas dan aku bergerak berputar ke belakangnya. Tanganku yang mendekap dadanya dipegangnya erat. Badan dan payudaranya sungguh amat keras. Rambut Umi kucium. Mulutku menggigit tengkuknya. Akulah sang pemangsa dan buruanku kini sudah takluk dalam cengkeraman taringku.

Badannya mulai menghangat. Bibir dan hidungku makin lancar menyelusuri kepala dan lehernya. Umi makin menggelinjang apalagi waktu tanganku meremas buah dadanya yang masih tertutup baju kaus itu dari belakang. Kuletakkan mukaku dibahunya dan kusapukan napasku di telinganya. Umi menjerit kecil menahan geli tapi malah menikmati. Ia mempererat pegangan tangannya di tanganku.

Aku memeluknya dari belakang sambil berjalan ke arah kamarnya. Tangannya ke belakang dan meremas isi celanaku yang mulai memberontak. Setelah masuk ke dalam kamar dilepaskannya tanganku dan ia mematikan lagu instrumen The Police yang diputarnya tadi. Tangannya bergerak-gerak di rak CD, akhirnya diambilnya album lagu barat lama. Ia mematikan lampu besar dan mengantinya dengan lampu tidur. Kulihat sebuah ranjang yang besar telah menanti kami.

Tak lama kemudian nada-nada lagu Michelle memenuhi seluruh kamar. Aku merendahkan badan dan mulai mencium dan menggigit pinggulnya. Ia mendongakkan kepalanya dan berdesis lirih. Sedari tadi kami bercumbu, ia tidak pernah mengeluarkan pekikan atau erangan. Hanya desisan dan desah tertahan sambil gigi atasnya menggigit bibir bawahnya.

Aku dibelakangnya berlutut dengan meneruskan aksi tanganku ke betisnya, sementara bibirku masih bergerilya di lipatan lutut belakangnya. Ia merentangkan kedua kakinya dan bergetar meliuk-liuk. Kucium pahanya dan kuberikan gigitan semut. Ia makin meliukkan badannya, namun suaranya tidak terdengar. Hanya napasnya yang mulai memburu.

Pada saat ia sedang menggeliat, kuhentikan ciumanku di lututnya dan aku berdiri di hadapannya. Kuusap pantat dan pinggulnya. Kembali ia berdesis pelan. Tubuhnya memang padat dan kencang. Lekukan pinggangnya indah, dan buah dadanya nampak bulat segar dengan puting tegak menantang berwarna coklat kemerahan.

Dengan cepat langsung kusapukan bibirku ke lehernya dan kutarik pelan-pelan ke bawah sambil menciumi dan menjilati leher mulusnya. Umi semakin merepatkan tubuhnya ke dadaku, sehingga dadanya yang padat menekan keras dadaku. Bau tubuhnya dengan sedikit aroma deodoran makin menambah nafsuku. Ia menggerinjal dan mulutnya mulai menggigit kancing bajuku satu persatu.

Dengan sebuah tarikan pelan ia melepas bajuku. Ia tertegun melihat dadaku yang bidang dengan bulu dada yang lebat. Diusap-usapnya dadaku dan kemudian putingku dimainkan dengan jarinya. Kucium bibirnya, ia membalas dengan lembut. Bibirnya memang agak tebal dan keras, namun kemudian melemas. Lumatanku mulai berubah menjadi lumatan ganas. Ia melepaskan ciumanku.

Ia menatap mataku dan berbisik, "Pelan saja To.. Kita masih punya banyak waktu. Aku ingin kita bermain dengan lembut!" Kini aku tahu mengapa dari tadi wanita ini tidak mengeluarkan suaranya dengan keras!

Kusingkapkan kausnya. Ia mengangkat kedua tangannya. Dengan mudah kubuka kausnya. Kini tangannya membuka celana panjangku dan kemudian membuka celana pendeknya sendiri. Kini kami tinggal mengenalan pakaian dalam saja. Bra dan celana dalamnya berwarna krem berpadu dengan kulitnya yang sawo matang. Bra-nya seakan-akan tidak cukup memuat buah dadanya sehingga dapat kulihat lingkaran kemerahan di sekitar putingnya. Celananya dari bahan sutra transparan sehingga padang rumput di bawah perutnya terihat membayang.

"Kamu pasti punya banyak koleksi wanita?" tanyanya.

Aku tidak menjawabnya. Aku tahu sebenarnya dia ingin aku mengatakan tidak, namun kalaupun kujawab "tidak" dia juga tidak akan percaya.

"Eehhngng, .." Ia mendesah ketika lehernya kujilati. Kulihat ia melirik bayangan kami di cermin dinding yang besar.

Umi mendorongku ke ranjang dan menindih tubuhku. Tanganku bergerak punggungnya membuka pengait bra-nya. Kususuri bahunya dan kulepas tali bra-nya bergantian. Kini dadanya terbuka polos di hadapanku. Buah dadanya besar dan kencang menggantung di atasku. Putingnya berwarna coklat kemerahan dan sangat keras. Digesek-gesekkannya putingnya di atas dadaku.

Bibirnya yang agak tebal kini semakin lemas dan lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Ina mendorong lidahnya jauh ke dalam rongga mulutku kemudian memainkan lidahku dengan menggelitik dan memilinnya. Aku hanya sekedar mengimbangi. Kali ini akan kubiarkan Umi yang memegang tempo permainan. Sesekali gantian lidahku yang mendorong lidahnya. Tangan kananku memilin puting serta meremas payudaranya.

Umi menggeserkan tubuhnya ke arah bagian atas tubuhku sehingga payudaranya tepat berada di depan mukaku. Segera kulumat payudaranya dengan mulutku. Putingnya kuisap pelan dan kujilati.

"Aaacchh, Ayo Anto.. Lagi.. Teruskan Anto.. Teruskan". Ia masih tetap menjaga volume suaranya..

Kemaluanku semakin mengeras. Kusedot payudaranya sehingga semuanya masuk ke dalam mulutku kuhisap pelan namun dalam, putingnya kujilat dan kumainkan dengan lidahku. Dadanya bergerak kembang kempis dengan cepat, detak jantungnya juga meningkat, pertanda nafsunya mulai naik. Napasnya berat dan terputus-putus.

Tangannya menyusup di balik celana dalamku, kemudian mengelus, meremas dan mengocoknya dengan lembut. Pantatku kunaikkan dan dengan sekali tarikan, maka celana dalamku sudah terlepas. Kini aku sudah dalam keadaan polos tanpa selembar benang. Bibirnya mengarah ke leherku, mengecup, menjilatinya kemudian menggigit daun telingaku. Napasnya dihembuskannya ke dalam lubang telingaku. Kini dia mulai menjilati putingku dan tangannya mengusap bulu dadaku sampai ke pinggangku. Aku semakin terbuai. Kugigit bibir bawahku untuk menahan rangsangan ini. Kupegang pinggangnya erat-erat.

Tangannya kemudian bergerak membuka celana dalamnya sendiri dan melemparkannya begitu saja. Tangan kiriku kubawa ke celah antara dua pahanya. Kulihat ke bawah rambut kemaluannya tidaklah lebat dan dipotong pendek. Sementara ibu jariku mengusap dan membuka bibir vaginanya, maka jari tengahku masuk sekitar satu ruas ke dalam lubang guanya. Kuusap dan kutekan bagian depan dinding vaginanya dan jariku sudah menemukan sebuah tonjolan daging seperti kacang.

Setiapkali aku memberikan tekanan dan kemudian mengusapnya Umi mendesis, "Huuhh.. Aaauhh.. Engngnggnghhk"

Ia melepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulut bergerak ke bawah, menjilati perutku. Tangannya masih mempermainkan penisku, bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku, semakin ke bawah. Ia memandang sebentar kepala penisku yang lebih besar dari batangnya dan kemudian mengecup batang penisku. Namun ia tidak mengulumnya, hanya mengecup dan menggesekkan hidungnya pada batang penis dan dua buah bola yang menggantung di bawahnya. Aku hanya menahan napasku setiap ia mengecupnya.

Umi kembali bergerak ke atas, tangannya masih memegang dan mengusap kejantananku yang telah berdiri tegak. Kugulingkan badannya sehingga aku berada di atasnya. Kembali kami berciuman. Buah dadanya kuremas dan putingnya kupilin dengan jariku sehingga dia mendesis perlahan dengan suara di dalam hidungnya.

"SShh.. Ssshh.. Ngghh.."

Perlahan lahan kuturunkan pantatku sambil memutar-mutarkannya. Kepala penisku dipegang dengan jemarinya, kemudian digesek-gesekkan di mulut vaginanya. Terasa masih kering, tidak lembab seperti wanita yang lainnya. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam vaginanya. Ketika sudah menyentuh lubang guanya, maka kutekan pantatku perlahan. Kurasakan penisku seperti membentur tembok lunak sehingga tidak bisa masuk.

Umi merenggangkan kedua pahanya dan pantatnya diangkat sedikit. Kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya. Kugesek-gesekkan di bibir luarnya sampai terasa keras sekali dan kutekan lagi, namun masih membentur tembok lagi. Umi merintih dan memohon agar aku segera memasukkannya sampai amblas.

"Ayolah Anto tekan.. Dorong sekarang. Ayo.. Please.. Pleasse..!!"

Kucoba sekali lagi. Kembali tangannya mengarahkan ke lubang guanya dan kutekan, meleset dan hampir batang penisku tertekuk.. Ia menggumam dan menarik napas dan melepaskannya dengan kuat, gemas. Didorongnya tubuhku ke samping.

"Sebentar dulu To!" katanya sambil meraih sebuah botol kecil di atas kepala kami.

Kulihat ternyata baby oil. Diambilnya setetes dan diraihnya penisku. Dikocoknya sebentar untuk mengembalikan ketegangannya dan kepala penisku dilumurinya dengan baby oil tadi. Kepalanya yang sudah kemerahan nampak semakin merah dan berkilat.

Ia merebahkan diri lagi dan kutindih sambil berciuman. Kucoba untuk memasukkannya lagi, masih dengan bantuan tangannya, tetapi ternyata masih agak sulit. Akhirnya kukencangkan otot diantara buah zakar dan anus, dan kali ini.. Blleessh. Usahaku berhasil, setengah batang penisku sudah tertelan dalam vaginanya.

"Ouhh.. Umi," desahku setengah berteriak.

Aku bergerak naik turun. Perlahan-lahan kugerakkan pinggulku karena vaginanya sangat kering dan sempit. Kadang gerakan pantatku kubuat naik turun dan memutar sambil menunggu posisi dan waktu yang tepat. Setetes baby oil tadi sangat membantu penisku untuk menerobos seluruh lorong guanya.

Umi mengimbangiku dengan gerakan memutar pada pinggulnya. Ketika kurasakan gerakanku sudah lancar dan mulai ada sedikit lendir yang membasahi vaginanya maka kupercepat gerakanku. Namun Umi menggeleng dan menahan pantatku, kemudian mengatur gerakan pantatku dalam tempo sangat pelan. Untuk meningkatkan kenikmatan maka meskipun pelan namun setiap gerakan pantatku selalu penuh dan bertenaga. Akibatnya maka keringatpun mulai menitik di pori-poriku.

"Anto.. Ouhh.. Apa kataku tadi.. Nikmat.. Ooouuhh. Kamu memang betul-betul perkasa" desisnya sambil menciumi leherku.

Kuputar kaki kirinya hampir melewati kepalaku. Tetapi ia menahan tanganku."Jangan.. Aku tak mau nungging!" bisiknya. Kukembalikan kakinya dalam posisi semula. Kini kedua kakinya kurapatkan dan kujepit dengan kedua kakiku. Penisku hampir-hampir tidak bisa bergerak dalam posisi ini. Tidak ada kontraksi ototnya namun vaginanya terasa sangat sempit menjepit penisku.

Kugulingkan tubuhnya lagi sampai ia menindihku. Kubiarkan ia menjadi sang nahkoda untuk memegang kemudi. Aku ingin mengantarnya sampai menggapai pulau impian. Kakinya keluar dari jepitan kakiku dan kembali dia yang menjepit pahaku. Dalam posisi ini gerakan naik turunnya menjadi bebas. Kembali aku dalam posisi pasif, hanya mengimbangi dengan gerakan melawan gerakan pinggul dan pantatnya.

Tangannya menekan dadaku. Kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Kepalanya terangkat dan tanganku menarik rambutnya kebelakang sehingga kepalanya semakin terangkat. Setelah kujilat dan kukecup lehernya, maka kepalanya turun kembali dan bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya dengan satu ciuman yang dalam dan lama.

Ia mengatur gerakannya dengan tempo pelan namun sangat intens. Pantatnya diturunkan sampai menekan pahaku sehingga penisku terbenam dalam-dalam sampai kurasakan menyentuh dinding rahimnya. Ketika penisku menyentuh rahimnya Ina semakin menekan pantatnya sehingga tubuh kamipun semakin merapat.

Ia menegakkan tubuhnya sehingga ia dalam posisi duduk setengah jongkok di atas selangkanganku. Ia kemudian menggerakkan pantatnya maju mundur sambil menekan ke bawah sehingga penisku tertelan dan bergerak ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dan dijepit sebuah tang yang kuat namun lunak. Semakin lama-semakin cepat ia mengerakkan pantatnya, namun tidak ada suatu gerakan yang kasar dan menghentak-hentak. Darah yang mengalir ke penisku kurasakan semakin cepat dan mulai ada aliran yang mendesir-desir.

"Ouhh.. Ssshh.. Akhh!" Desisannyapun semakin sering.

Aku tahu sekarang bahwa iapun akan segera mengakhiri pelayaran ini dan berlabuh di pulau impiannya. Aku menghentikan gerakanku untuk mengurangi rangsangan yang ada karena desiran-desiran di mulut penisku makin kencang. Aku tidak mau dikalahkannya. Aku sebenarnya ingin menyelesaikannya dengan posisiku di atas sehingga aku bisa menghunjamkan kemaluanku dalam-dalam. Namun kali ini aku mengalah, biarlah ia yang menekankan pantatnya kuat-kuat.

Setelah beberapa saat rangsangan itu menurun kembali kugerakkan. Kini penisku kukeraskan dengan menahan napas dan mengencangkan otot antara buah zakar dan anusku seolah-olah menahan kencing. Kulihat reaksinya. Ia kembali merebahkan tubuhnya ke atas tubuhku, matanya berkejap-kejap dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Akupun merasa tak tahan lagi dan akan segera menembakkan peluruku. Aku berada pada satu titik dimana aku tidak bisa kembali lagi. No return point. Akhirnya beberapa detik kemudian..

Rintik hujan masih terdengar di atas atap dan dari speaker terdengar Simon and Garfunkel berteriak di akhir lagunya.. Like a bridge over troubled water, I will lay me down..

"Anto.. Sekarang say.. Sekarang.. Hhhuuaahh!" Ia kini memekik kecil.

Pantatnya menekan kuat sekali di atas pahaku. Dinding vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Aku menahan tekanan pantatnya dengan menaikkan pinggulku. Bibirnya menciumiku dengan pagutan-pagutan ganas dan diakhiri dengan gigitan pada dadaku. Desiran dan aliran yang sangat kuat membersit lewat lubang meriamku. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan kutekankan kepalanya di dadaku. Napas yang bergemuruh kemudian disusul napas putus-putus dan setelah tarikan napas panjang ia terkulai lemas di atas tubuhku.

Denyutan demi denyutan dari kemaluan kami masing-masing kemudian melemah. Spermaku yang masuk dalam vaginanya sebagian tertumpah keluar lagi di atas pahaku. Ia berguling ke sampingku sambil tangan dan mukanya tetap berada di leherku. Kuberikan kecupan ringan pada bibir, dan usapan pada pipinya.

"Terima kasih To. Kamu sungguh luar biasa. Aku sudah mengira kamu sangat perkasa, namun tidak sampai begini nikmat dan indah. Perkasa dan romantis. Thanks". Katanya lembut.

Kami masih berpelukan sampai keringat kami mengering. Setelah mandi dan hendak mengenakan pakaian, Umi menahan tanganku yang sudah memegang celana dalam.

"Kamu tidur disini saja malam ini, please. Besok berangkat dari sini saja. Aku ada kemeja yang ukurannya cocok dengan badanmu. Aku.. Masih..".

Ia tersipu-sipu dan tidak melanjutkan perkataannya. Aku melihat jam dan berpikir sejenak. Ternyata sudah hampir satu jam kami membagi kehangatan. Toh kupikir hujan deras dua jam lebih tadi pasti akan membuat jalan ke arah rumahku kebanjiran.

Ketika kami membersihkan badan di kamar mandi, sempat kulihat benda putih sepanjang kurang lebih 20 cm dan sebesar jempol kaki di atas perlengkapan mandinya. Kuambil dan kuamati. Umi merebutnya dari tanganku dan menyembunyikan di balik tubuhnya. Wajahnya kembali terlihat memerah tersipu.

"Tangan kamu usil deh, nggak bisa lihat barang nganggur!" katanya sambil merengut dan mencubitku.

Hmmhh Tongkat Madura. Pantas saja tadi harus dibantu baby oil, pikirku. Kami masih ngobrol sebentar dan kutanyakan kenapa dia nggak mau doggy style.

"Kata orang nanti kengser. Aku sebenarnya tidak percaya, tapi berjaga-jaga saja. Toh masih banyak posisi yang dapat dilakukan dan dinikmati" katanya. Kengser adalah kondisi rahim yang bergeser turun.
Ketika kutanya pandangannya tentang oral sex ia menjawab, "Aku sendiri tidak suka dan tidak bisa menikmatinya. Paling jauh seperti tadi, tidak sampai mengenyotnya".

Mengenai hubungan sex tadu yang berlangsung dengan tempo pelan ia menyatakan bahwa tidak selalu begitu, kadang juga bisa dengan tempo cepat dan gairah yang panas.

"Boleh dicoba nanti?" pancingku.
"Hmm.." jawabnya sambil mengecup lenganku.

Dimatikannya CD player dan tidak lama tarikan nafas halus dan teratur keluar dari hidungnya. Malam itu kami tidur dengan telanjang dan berpelukan ditutup selimut ditemani dengan suara rintikan hujan. Aku tidak tahu sudah tidur berapa lama ketika kurasakan sebuah lengan melingkar di pinggangku dan sebuah benda padat lunak menekan rusukku. Aku memejamkan mata dan terkejut melihat dimana aku berada. Sedetik kemudian aku tersadar di mana aku sekarang berada.

Umi membuka matanya mengambil arloji di atas kepalanya dan melihat sebentar.

"Hmm.. Baru jam satu, tidur lagi yuk!" katanya sambil memejamkan matanya dan tangannya memelukku kembali.
Kucium ketiaknya dan kugelitikin pinggangnya. Ia menguap dan meregangkan badannya.
"Ooahh, kamu emang..!" Tangannya menangkap tanganku.

Kudaratkan sebuah ciuman pada bibirnya. Ia mengelak dan berdiri berjalan ke arah kulkas di dalam kamarnya. Mengambil air putih, meminum dan mengangsurkannya kepadaku. Aku duduk, kusambut dan kuhabiskan sisa air dalam gelas tadi. Umi masih berdiri dalam keadaan telanjang. Kuamat-amati tubuhnya yang memang aduhai. Pantatnya besar dan menonjol ke belakang, sementara di dadanya ada segunduk daging yang bulat kencang dengan tonjolan coklat kemerahan yang berdiri tegak.

Ia menghenyakkan pantatnya di pahaku. Meraih tombol CD player dan kembali lagu barat lama "A Time for Us" terdengar. Bibirnya mendarat di bibirku. Kali ini ia menciumiku dengan ganasnya. Akupun membalas dengan tak kalah ganasnya. Kuremas buah dadanya dengan keras. Ia mendorongku dan beberapa saat kemudian kami sudah bergulingan di atas ranjang besar yang empuk.

Aku menindih dan menjelajahi sekujur tubuhnya. Ia menggeliat-geliat hebat dan mengerang. Mulutnya mendekat ke telingaku dan berbisik.

"Ouuhh.. Anto.. Sekarang terserah kamu. Aku akan mengimbangi dan mengikutimu, terserah apapun yang akan kau lakukan..".
"Aku akan membawamu ke dalam gelombang lautan percintaan yang dahsyat.." kataku membalas bisikannya.
"Ouhh.. Ter.. Serr.. Rah kamu.. Saja..!"

Dari dada, lidahku pindah ke samping menyusuri pinggul dan pinggangnya, ke arah perut dan pahanya. Aku mencoba untuk mendekatkan hidungku ke sela pahanya, namun tangannya menutupi celah paha tersebut. Umi meronta hebat penuh kenikmatan sewaktu tanganku memainkan puting buah dadanya. Tangannya terlepas dan hidungku kutempelkan di bibir vaginanya. Tercium aroma yang segar dan khas. Namun aku tidak mau memasukkan lidahku ke dalam vaginanya, karena ingat tadi ia berkata tidak bisa menikmatinya. Kulebarkan pahanya dan aku hanya memberikan rangsangan di pangkal pahanya, kemudian turun dan menciumi lututnya. Ketika kugigit lututnya ia mengejang.

"Ampun.. Too.. Antoo.. Jangan.. Cukup.. Cukup!" pekiknya.

Bibirku naik ke leher dan menjilatinya. Elusan tanganku pada pinggangnya membuat ia meronta kegelian. Kuhentikan elusanku dan tanganku meremas lembut buah dadanya dari pangkal kemudian ke arah puting. Kumainkan jemariku dari bagian bawah, melingkari gundukannya dengan usapan ringan kemudian menuju ke arah putingnya. Sampai batas puting sebelum menyentuhnya, kuhentikan dan kembali mulai lagi dari bagian bawah.

Kugantikan jariku dengan bibirku, tetap dengan cara yang sama kususuri buah dadanya tanpa berusaha mengenai putingnya. Kini ia bergerak tidak karuan. Semakin bergerak semakin bergoyang buah dadanya dan membuat jilatanku makin ganas mengitari gundukan mulus itu. Setelah sebuah gigitan kuberikan di belahan dadanya, bibirku kuarahkan ke putingnya, tapi kujilat dulu daerah sekitarnya yang berwarna merah sehingga membikin Umi penasaran dan gemas.

"To.. Jangan kau permainkan aku.. Isep cepetan yang," pintanya.

Aku masih ingin mempermainkan gairahnya dengan sekali jilatan halus di putingnya yang makin mengeras itu. Umi mendorong buah dadanya ke mulutku, sehingga putingnya langsung masuk, dan mulailah kukulum, kugigit kecil serta kujilat bergantian. Tanganku berpindah dari pinggang ke vaginanya yang kini menjadi agak basah. Tidak seperti pada permainan pertama tadi.

Jariku tengah kiriku kumasukkan ke dalam vaginanya dan tidak lama sudah menekan apa yang dicarinya. Lumatan bibirku di puting Umi makin ganas. Ia berusaha mengulingkan badanku tetapi kutahan. Kali ini aku yang harus pegang kendali.

"Aaagh..", ia memekik-mekik. Kuciumi lagi bibir dan lehernya. Adik kecilku makin membesar dan mengganjal tubuh kami di atas perutnya.

Kupikir kini saatnya untuk memberinya. Kuangkat pantatku sedikit dan iapun mengerti. Dikocoknya penisku sampai keras sekali dan ku kangkangkan pahanya lebar-lebar. Tangannya kembali bergerak mencari dan memegang botol baby oil tadi. Kupegang tangannya dan kukatakan, "Jangan dulu yang, coba saja dulu!"

Diarahkannya penisku ke vaginanya dan "Masukin To.. Cc. Cepaat!," pinta Umi sambil semakin melebarkan pahanya. Kudorong sekali namun meleset juga. Kini kucoba kedua kali dan berhasil. Kugerakkan penisku pelan-pelan dan semakin lama semakin cepat. Agaknya perjuangan sekarang lebih mudah daripada saat pertama tadi.

Vagina Umi makin lembab, namun tidak sampai becek. Umi langsung mengerang hebat merasakan hunjaman penisku yang keras dan bertubi-tubi. Tangannya mencengkeram pinggulku. Gerakan maju-mundurku diimbanginya dengan memutar-mutarkan pinggulnya, semakin lama gerakan kami semakin cepat. Kini ia semakin sering memekik dan mengerang. Tangannya kadang memukul-mukul punggungku. Kepalanya mendongak ketika kutarik rambutnya dengan kasar dan kemudian kukecup lehernya dan kugigit bahunya.

"Ouhh.. Ehh.. Yyyeesshh!"

Setelah beberapa lama kuminta dia untuk di atas. Dengan cepat kami berguling. Tak berapa lama kemudian penisku sudah terbenam di liang vaginanya. Umi menaikturunkan pantatnya dengan posisi jongkok. Ia seperti penunggang kuda yang sedang memacu kudanya dalam lembah kenikmatan mendaki menuju puncak. Tubuhnya naik turun dengan cepat dan kuimbangi dengan putaran pinggulku, sementara buah dadanya yang tegak menantang kuremas-remas dengan tanganku. Gerakan kami makin cepat, erangan Umi makin hebat. Aku duduk dan memeluk pinggangnya. Kami berciuman dalam posisi Umi duduk berhadapan di pangkuanku. Aku bebas mengeksplorasi tubuhnya dengan tangan dan bibirku.

"Aaagghh.. Anto..," teriaknya. Kini saatnya kuambil alih kembali kendali permainan.

Kubalikkan tubuhnya dan langsung kugenjot dengan tempo tinggi dan menghentak-hentak. Nafas kami semakin memburu. Kuganti pola gerakanku. Kucabut penisku dan kumasukkan kembali setengahnya. Demikianlah kulakukan berulang-ulang sampai beberapa hitungan dan kemudian kuhempaskan pantatku dalam-dalam.

Umi setengah terpejam sambil mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan desahan seperti orang yang kepedasan. Pinggulnya tidak berhenti bergoyang dan berputar semakin menambah kenikmatan yang terjadi akibat gesekan kulit kemaluan kami. Lubang vaginanya yang memang sempit ditambah dengan gerakan memutar dari pinggulnya membuatku semakin bernafsu. Ketika kuhunjamkan seluruh penisku ke dalam vaginanya, Umi pun menjerit tertahan dan wajahnya mendongak.

Aku menurunkan tempo dengan membiarkan penisku tertanam di dalam vaginanya tanpa menggerakkannya. Kucoba memainkan otot kemaluanku. Terasa penisku mendesak dinding vaginanya dan sedetik kemudian ketika aku melepaskan kontraksiku, kurasakan vaginanya meremas penisku. Demikian saling berganti-ganti. Aku yakin sebagai seorang instruktur senam ia sangat menguasai gerakan ini.

Permainan kami sudah berlangsung beberapa saat. Kedua kakinya kuangkat dan kutumpangkan di pundakku. Dengan setengah berdiri di atas lututku aku menggenjotnya. Kakinya kuusap dan kucium lipatan lututnya. Ia mengerang dan merintih-rintih.

Lagu dalam CD sudah berganti dengan "Je T'Aime Moi Non Plus" (Sorry Monsieur, if the spelling is not correct!). Suara desahan kedua penyanyinya menambah gairah kami. Aku memberi isyarat kepadanya untuk menutup permainan ini. Kubisikkan.

"Kita selesaikan bersama-sama dengan lagu ini".

Ia pun mengangguk. Kukembalikan dalam posisi normal. Kamipun berpelukan dan bergerak liar tanpa menghiraukan keringat kami yang bercucuran.

Gerakan demi gerakan, pekikan demi pekikan telah kami lalui. Aku semakin cepat menggerakkan pantat sampai pinggangku terasa pegal, namun tetap kupertahankan kecepatanku. Umi menjambak rambutku dan membenamkan kepalaku ke dadanya, betisnya segera menjepit erat pahaku. Badannya menggelepar-gelepar, kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan, tangannya semakin kuat menjambak rambutku dan menekan kepalaku lebih keras lagi.

Aku pun semakin agresif memberikan kenikmatan kepada Umi yang tidak henti-hentinya menggelinjang sambil mengerang.

"Aaahh.. Ssshh.. Ssshh" Gerakan tubuh Umi semakin liar.
"Ouoohh nikmatnyaa.. Aku ingin segera sampai.."

Dari speaker, lagu yang menggambarkan dua orang yang sedang bersetubuHPun sudah hampir mencapai puncaknya.

"Nowww.. Ouhh.. Now.. Ahhkk!"

Aku merasa ada sesuatu yang mendesak-desak di dalam kontolku ingin keluar. Sudah saatnya aku menghentikan permainan ini. Aku mengangguk dan iapun mengangguk sambil memekik panjang, "Ouuwww..!"

Aku mengangkat pantatku, berhenti sejenak mengencangkan ototnya dan segera menghunjamkan penisku keras-keras ke dalam vaginanya. Nafasnya seolah-olah terhenti sejenak dan kemudian terdengarlah erangannya. Tubuhnya mengejang dan jepitan kakinya diperketat, pinggulnya naik menjambut penisku. Sejenak kemudian memancarlah spermaku di dalam vaginanya, diiringi oleh jeritan tertahan dari mulut kami berdua.

"Awww.. Aduuh.. Hggkk"

Kami pun terkulai lemas dan tidak berapa lama sudah tidak ada suara apapun di dalam kamar kecuali intro dari "Top of the World". Tangannya memeluk erat tubuhku dengan mesra.

Ketika pada pagi hari mandi bersama, kugoda dia dengan tongkat maduranya itu. Ia mencubit dan memukuliku. Rupanya dia setiap hari menyodok miliknya dengan tongkat tersebut. Akibatnya jadi terlalu kering. Akhirnya kusarankan untuk menggunakannya dua atau tiga hari sekali. Dan setelah itu aku tidak perlu bantuan baby oil lagi, tetapi rasanya masih keset dan legit. Sedikit lendir memang ada, tetapi hanya untuk sekedar pelumasan.

Aku langsung berangkat ke kantor dari rumahnya. Beberapa bulan kemudian aku masih menikmati tubuhnya. Umi mengerti bahwa hubungan kami ini tidak melibatkan rasa cinta asmara, melainkan sekedar sex just for fun.

Sampai akhirnya perusahaanku mencabut fasilitas fitness karena alasan kondisi keuangan. Lama kelamaan akupun mulai menjaga jarak dan akhirnya aku berpisah dengannya secara baik-baik setelah kami berbicara semalam penuh diselingi percumbuan yang sangat panjang.

*****

Itulah ceritaku mengenai Wanita Indonesia (dari 1- 8). Sebenarnya masih ada beberapa wanita lain, namun kisahnya tidak sehangat yang telah kuceritakan. Dalam rentang waktu sekian lama tersebut aku menjalin hubungan dengan beberapa wanita sekaligus. Kadang ada yang datang dan ada yang pergi. Berikutnya akan kuceritakan kisah-kisahku dengan petualangan lainnya.

Ahh, indahnya pesona wanita Indonesia!

TAMAT
Baca selengkapnya → Umi