Seperti nyala lilin, kehidupan adalah sebuah pengabdian.
Sebuah proses memberi yang tak pernah berhenti. Filosofi ini tak lahir
dari seorang idealis yang cendekia. Juga tak mencuat dari otak bernas
seorang manusia teladan yang patut dibanggakan. Ia milik seorang wanita
desa sederhana yang cuma sempat mengecap sekolah di bangku kelas 1 SLTA.
Namanya Sumiati. Wanita pendiam yang tidak hanya taat kepada orang tua dan keluarga, juga agama. Persepsi bahwa kehidupan merupakan wujud pengabdian yang tak harus berhenti kepada keluarga, ditanamkan kedua orang tuanya sejak Sumiati kecil.
Ayahnya lelaki desa kebanyakan yang tumbuh menjadi pria keras karena sulitnya kehidupan. Itu membangun watak lugu sekaligus otoriternya dalam mendidik semua anak-anaknya. Khususnya Sumiati yang manis dan sebenarnya menyimpan daya tarik seksual tersembunyi.
Faktor inilah yang membuat Sumiati secara tidak sengaja, jatuh di tangan seorang lelaki tua namun kaya yang punya Perkebunan Kelapa Sawit cukup luas di desa A, tempat keluarga Parto, ayah Sumiati bekerja.
Budiarta, atau biasa dipanggil Tuan Budi, secara tak sengaja suatu hari melihat Sumiati mengantar makanan kepada Ayahnya yang sedang bekerja pada pembangunan koridor pengangkutan tandan kelapa sawit miliknya. Cukup sekali itu, entah oleh magnit apa, Budiarta yang sudah berusia 61 tahun langsung kemudian tak bisa lagi melupakan gadis pendiam bertubuh indah dan padat itu.
Melalui kebayanya yang sederhana, pengusaha perkebunan yang sukses dan sudah menduda lebih 15 tahun sejak bercerai dengan istri ketiganya ini, bisa membayangkan bagaimana lekuk tubuh Sumiati. Bagaimana bentuk buah dadanya yang montok dan agak besar, pinggulnya yang penuh berisi, sampai bagaimana gelinjang dan geliat gadis itu, jika dirangsang dalam ketelanjangannya.
Budiarta mencoba menghapus dan membuang semua pikiran liar itu, karena sadar kondisi dirinya. Namun semakin dibuang, kian meradang keinginan untuk menguasai gadis desa itu. Puncaknya, suatu hari, diam-diam dia meminta Parto membawa anaknya ke villa tempat peristirahatannya di tengah perkebunan kelapa sawit yang luas itu.
Di sanalah dia bisa melihat dan meneliti sosok Sumiati dari dekat. Bukan main. Ini kesimpulannya. Gadis itu benar-benar memiliki daya tarik seksual luar biasa. Sumiati seperti mutiara yang belum terpoles, atau berlian yang tersaput lumpur. Sekali dia bersih, maka pesonanya akan memancar cemerlang.
Melanggar tekadnya sendiri untuk melewati hari-hari tuanya secara tenang sendirian di perkebunannya, Budiarta nekat melamar Sumiati sebagai istrinya. Tentu saja ini bagai durian runtuh bagi Keluarga Parto. Dan Sumiati sendiri, yang semula sempat terkejut karena sadar harus mendampingi seorang pria tua sebagai suaminya, kemudian menepis semua pertimbangan dari tuntutan naluri wajar yang ada di dalam dirinya, sebagai seorang gadis belia.
Dia harus menerima lamaran Sang Tuan, melupakan tuntutan egonya, sebagai bentuk apa yang diajarkan selama ini oleh Ayahnya. Pengabdian kepada keluarga. Kepada usaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka.
Perkawinan itupun berlangsung dengan meriah. Membuat Desa A bagai tenggelam dalam kenduri panjang yang terus berdegup kencang. Dan di balik itu, Ibu Sumiati terus mengajarkan kepada anaknya, bagaimana caranya melayani seorang suami dengan baik. Secara khusus di tempat tidur. Sumiati mendengar dan menyimaknya dengan jantung tak henti berguncang. Membayangkan kelamin lelaki dalam keadaan tegang, besar dan keras, seperti sempat secara tak sengaja dilihatnya. Saat itu dia terbangun tengah malam dan ingin kencing di dapur.
Dari balik sumur tiba-tiba dia mendengar suara Ibunya. Entah keluhan, atau sejenisnya. Begitu dia mengendap dan melihat lebih jelas, matanya terbelalak dengan jantung seolah berhenti berdegup. Dia saksikan dengan pakaian sudah terbuka, Ibunya sedang bersandar di pohon dekat sumur, dengan sebelah kaki terangkat, sementara di depan, Ayahnya, dengan kelamin yang besar dan tegang sedang bersiap menyetubuhinya. Dengan ketakutan dia segera menjauh dari sana.
Namun bayangan itu, penis ayahnya yang besar dan keras, kelamin Ibunya yang siap menerima penis itu, tak pernah dia lupakan. Sesuatu yang membuat bagian bawah tubuhnya menjadi berdenyut, gatal dan luar biasa peka terhadap sentuhan. Badannya kadang sampai menggigil dan pikiran- pikiran aneh yang berkaitan masalah itu, dengan keras segera dia lupakan.
Sekarang, dia akan menjadi seperti ibunya. Budiarta memang sudah tua, tetapi sebagai orang kaya yang hidupnya terpelihara serta rajin olahraga, pria itu tetap kelihatan agak kekar. Berarti penisnya juga pasti masih perkasa. Itu yang belakangan ini menggoncangkan perasaannya.
Sebenarnya tak beda jauh dengan Budiarta sendiri. Gambaran tentang kemolekan tubuh Sumiati, aroma keremajaannya, keranuman kewanitaannya, bangun tubuhnya yang padat karena selalu bekerja cukup keras untuk membantu mengatasi kemiskinan keluarganya, membuat otak Budiarta seperti gila. Meski ada keresahan yang tak habis menyelimuti batinnya.
******
Malam yang dinantikan oleh keduanya itu tiba. Secara perlahan, di kamar pengantinnya yang mewah, di lantai yang sudah dihampari kain sofa yang tebal, Budiarta melepaskan pakaian Sumiati satu persatu. Gadis itu sendiri terus menunduk sambil membiarkan dirinya pasrah untuk diperlakukan apapun.
Tak lama kemudian, Sumiati sudah tergolek di atas lantai dengan telanjang bulat. Gadis itu terlihat berusaha menutupi buah dadanya yang sintal, serta kelaminnya yang ditumbuhi bulu agak lebat. Namun Budiarta selalu mencegah usaha itu. Lelaki ini kemudian mengambil botol madu yang sudah disediakannya.
Lalu secara pelan menumpahkan madu tersebut ke sekujur tubuh telanjang Sumiati, yang membuat gadis yang lebih banyak memejamkan matanya ini menjadi kia gelisah. Apalagi ketika tanngan lelaki itu, mulai meratakan ke seluruh permukaan tubuhnya.
Dengan gemetar, nafas memburu oleh nafsu, pria tua yang hanya mengenakan celana pendek ini, mulai menciumi dan menjilati sekujur tubuh Sumiati. Kedua tangan Sumiati direntangkan ke atas kepalanya. Ketiak gadis yang berbulu halus itu, dia ciumi dan jilati. Jilatan itu meluncur turun-naik ke sana kemari.
Ciuman dan jilatan serta hisapan itu benar-benar bagai bara yang membakar. Membuat gadis desa yang tak pernah seumur hidupnya disentuh pria ini menjadi tersentak-sentak, gelisah, dan terengah-engah menahan gelora perasaan dan emosinya yang bangun menggelora.
Makin lama, ciuman, jilatan dan hisapan Budiarta semakin ganas. Kedua puting buah dada Sumiati bergantian disedot dan diremas-remasnya. Bahkan wajahnya dengan kuat digosokan ke sana, membuat benda padat yang tegak menantang itu menjadi penyek dan terdorong kesana-kemari. Sementara tangan Buidarta terus mengusap, menggosok dan meremas bagian vaginanya. Memutar dan menusuk-nusuk di sana.
Sumiati tak tahan lagi untuk mengeluarkan suara-suara liarnya, meski masih terdengar perlahan, pada saat kedua pahanya dikangkangkan, kemudian Budiarta menciumi, menghisap serta memainkan lidahnya di vagina dan bibir kelamin yang basah oleh lendir bercampur madu itu.
Sumiati mengerang nyaring kemudian mengejang, berpegangan keras di kepala Budiarta, pada saat sesuatu yang luar biasa, fantastis dan melambungkan dirinya ke dalam kenikmatan yang tak bertara datang dari dalam dirinya. Ini orgasme pertama yang pernah dirasakannya. Sesuatu yang pernah diceritakan Ibunya, kalau penis lelaki secara intensif keluar masuk di dalam vagina wanita.
"Itu sorga dunia, Nduk".
Budiarta nampak terengah-engah, menyaksikan gadis yang memandangnya dengan mata sayu, hanyut jauh oleh nafsu dan kenikmatan itu. Tapi mengapa dia belum juga membuka celana pendeknya, mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi --meski malu-- ingin sekali disaksikan Sumiati. Sesuatu yang menurut Ibunya tak masalah jika kau jilat, kau hisap, dan kau telan air yang akan keluar menyemprot dari sana. Air cikal-bakal kehidupan fisik seorang manusia.
Mengapa benda yang tegar, perkasa dan penuh pesona itu tak juga ditunjukan serta diberikan kedirinya untuk bisa ganti dia rangsang?
Pertanyaan ini membayangi perasaan Sumiati, ketika Budiarta kembali memperlakukan dirinya seperti tadi. Menjilatinya, menghisapnya dengan ganas. Bahkan membalikanan tubuhnya, mengangkat pangkatnya, kemudian menjilati anusnya yang membuat dia berpegangan di sofa tebal yang empuk tersebut dengan tubuh menggigil dan tersentak-sentak menahan getaran nikmat tak terlukiskan.
Sumiati kembali merasakan orgasmenya. Kali ini bahkan lebih hebat dari yang pertama, karena membuatnya tanpa sadar terpekik dan mengejang sangat lama. Nafasnya kemudian memburu kencang, seperti telah berlari naik gunung. Budiarta kemudian menjatuhkan tubuhnya ke sisi gadis itu. Tergolek di sana. Lama. Sumiati berusaha bangun dan diam-diam merasa tidak mengerti, mengapa celana pendek suaminya itu tak menunjukan sesuatu yang sedang berdiri keras di baliknya. Sesuatu yang tegang dan sejak tadi dibayangkannya mirip seperti kepunyaan Ayahnya. Apa sebenarnya yang terjadi?
Dengan agak ragu, namun dibekali peringatan Ibunya, agar dia bisa memberikan "pelayanan terbaik" untuk suaminya, Sumiati pelan-pelan menyentuh celana itu. Budiarta cuma diam membisu. Malah dia kemudian menurunkan celana terbut, menunjukan kelaminnya yang -astaga- ternyata kecil, lembek dan mirip punya adik lelakinya yang diam-diam sering dia saksikan di rumah.
Inikah yang pernah dia dengar tentang impotensi? Ketidakmampuan seorang lelaki untuk melakukan hubungan seksual? Apakah itu karena pria ini sudah tua, dan wajar seorang pria seperti dirinya tak bisa gampang lagi memfungsikan alat kejantanannya? Atau dia harus berperan lebih berani dan aktif, seperti yang telah diajarkan Ibunya?
Pikiran ini, membuat Sumiati pelan-pelan meremas penis yang lunglai itu dengan tangan gemetar. Lalu akhirnya menunduk dan mulai menjilatinya. Budiarta cepat membuka kakinya lebih lebar. Sumiati memasukan penis itu ke dalam mulutnya. Mengecup, kemudian mulai menghisapnya, seperti biasa dilakukan bayi terhadap ibu jarinya.
Tubuh Budiarta kelihatan menggeliat-geliat menahan nikmat. Tapi berlalu tiga, lima, bahkan sepuluh menit, penis itu tak juga mau tegang. Ada memang perubahan, karena tak lagi selembek tadi. Tapi tetap saja lemah. Dan mendadak Budiarta menjauhkan wajah Sumiati lalu menggeleng dengan wajah sedih. Sumiati terpana.
Mengapa Budiarta tak pernah lagi terpikir untuk menikah selama puluhan tahun, dan mengapa akhirnya dia memutuskan untuk mengawini Sumiati, itu semua beranjak dari kondisi dirinya yang demikian.
Dia tahu Sumiati gadis yang menarik dan merangsang namun sekaligus penuh pengabdian dan sangat penurut sehingga tak terlalu dikhawatirkan bisa berbuat macam-macam di belakangnya. Yang lebih penting lagi, perwatakan itu akan membuatnya bisa melaksanakan keinginan tersembunyi yang dahulu pernah diminta bisa dilakukan tiga istri terdahulunya, namun justru akhirnya menimbulkan perceraian diantara mereka. Karena kedua istrinya itu kemudian jatuh ke tangan orang lain dengan membawa banyak hartanya.
Secara fisik, meski sudah berusia lebih enam puluh tahun, Budiarta sebenarnya masih normal. Namun secara psikis, seksualnya terganggu. Dia tak mampu berhubungan dengan wanita secara normal. Untuk itu, ada cara-cara yang harus dilakukan untuk bisa membangunkan penisnya.
Awalnya dia masih berspekulasi, keranuman Sumiati, daya tarik seksualnya serta kesuciannya sebagai gadis --yang diakui Parto ayah Sumiati sendiri-- akan bisa secara perlahan membantu mengatasi problema dirinya. Ternyata tidak. Berulang kali setelah malam pertama itu, Budiarta tetap gagal menyetubuhi Istrinya. Padahal dia ingin sekali menikmati keperawanan wanita yang bangun fisik serta aroma tubuhnya sangat merangsang itu.
Sumiati sendiri, seperti memang diperkirakannya, terlihat tak terlalu mempermasalahkan itu. Dia terkesan sangat tidak ingin suaminya menjadikan faktor tersebut sebagai hal yang mengecewakan. Dan, tampaknya, Sumiati merasa cukup puas dengan permainan tangan dan mulut suaminya di seluruh bagian tubuhnya. Dia selalu mampu berulang-ulang mencapai orgasme, meski tentunya tetap berbeda dengan orgasme yang dihasilkan oleh sebuah proses coitus sesungguhnya.
Sesuatu yang dahulu pernah diterapkan Budiarta dengan tiga istrinya, segera kembali ingin diulanginya. Oleh faktor pertimbangan ketulusan pengabdian Sumiati, dia yakin, wanita itu tak akan mengkhiantinya, seperti tiga istrinya terdahulu. Ini alasan mengapa dia memutuskan untuk menjadikan Sumiati istrinya yang terakhir.
Sumiati tersentak, ketika keinginan itu dia sampaikan. Bahkan membuat wanita itu sampai gemetar karena terkejut dan penolakannya. Namun dengan halus Budiarta terus membujuk dan memberikannya pengertian.
"Aku perlu penyembuhan. Aku tidak akan bisa sembuh, tanpa terapi seks yang benar. Dan ini adalah salah satu yang dianjurkan oleh seorang ahli kepada Mas", kata Budiarta malam itu, usai membuat istrinya dua kali orgasme dengan tangan dan mulutnya.
Sumiati menelan ludahnya berulang kali dengan bingung.
"Lelaki itu hanya untuk membangkitkan kemampuan Mas. Dia nanti akan mencumbumu, namun tidak sampai menyetubuhimu. Nanti setelah punya Mas ini bangun, dia akan pergi dan selanjutnya kita akan bisa berhubungan dengan - normal. Ini juga perlu untukmu, Sum. Kau tidak boleh hanya menikmati hubungan seperti selama ini".
"Tapi, kenapa.. kenapa.. harus begitu?"
"Jika melihat kau dirangsang oleh orang lain, maka nafsu Mas akan bisa dibangkitkan sampai ke puncaknya yang membuat punya Mas bisa bangun. Mas pernah melakukan ini dengan istri-istri Mas terdahulu, tapi sayangnya mereka akhirnya menghianati Mas. Tapi Mas yakin, Sumiati tak akan memiliki pikiran sekotor mereka itu".
Sumiati seperti termangu. Budiarta terus melontarkan bujukannya. Dia meyakinkan wanita muda itu, bahwa apa yang akan dilakukannya dengan lelaki yang akan didatangkan di rumahnya tersebut, merupakan bagian dari proses pengobatan dirinya.
"Kalau kau mengabdi dengan Mas, sayang dengan Mas, ingin mengobati menyembuhkan penyakit yang sangat menyedihkan ini, kau pasti bersedia. Jangan anggap ini pengkhianatan, tetapi pengobatan. Bukankah di dalam Agama, barang harampun bisa dihalalkan, jika diperlukan secara darurat untuk pengobatan?" Oh ini salah satu argumentasi hebatnya untuk melemahkan hati si istri.
******
Setelah beberapa hari membujuk, Sumiati akhirnya bersedia. Budiarta gembira sekali. Dia sudah memilih seorang gigolo, Sang Pejantan untuk merangsang habis Sumiati, sementara dia akan mengintip perbuatan mereka. Syaratnya, lelaki itu meski telanjang, dan mungkin akan sangat terangsang, tidak boleh sampai menyetubuhi istrinya.
Dia sendiri sudah mengingatkann Sumiati, untuk benar-benar bisa menghayati dan melayani rangsangan Si Lelaki. "Kalau kau tidak mamputerangsang, karena takut, atau hatimu diam-diam menolak, maka nafsu dan punya Mas juga tetap tidak akan bangkit secara sempurna. Bahkan malah tambah payah karena Mas merasa bersalah. Kau harus benar-benar menganggap lelaki itu suami sementara untuk pengobatan Mas. Kau Faham?," kata Budiarta menjelang pelaksanaan "terapi seks" tersebut.
Lelaki yang dipanggil Budiarta secara khusus itu, adalah seorang pria 27 tahun yang cukup ganteng, dengan tubuh kekar dan memiliki segalanya untuk bisa memuaskan seorang wanita. Badannya berbulu, beralis lentik, dengan kumis agak tebal di bawah hidung mancung yang menjadikan ciri keturunan Arabnya cukup kentara. Namanya Arman. Jantung Sumiati berdebar kencang menyaksikan kehadiran pria tersebut. Seseorang yang tak bisa dia sangkal, sangat, sangat, sangat menarik, lembut dan sopan.
Seseorang yang akan merangsangnya dalam kondisi sama-sama telanjang bulat berduaan di dalam kamar yang akan dikunci si lelaki dari dalam, sampai kemudian pintu kamar itu kembali dibuka waktu suaminya mengetuk dari luar. Kepada istrinya, Budiarta menyatakan akan pergi keluar rumah kira-kira setengah jam, baru kemudian datang lagi dan menunggu penisnya bisa bangkit dengan menyaksikan keduanya bergulat dari balik pintu. Sebenarnya tidak persis begitu. Budiarta tidak benar-benar pergi, namun sekedar mengesankan keluar rumah dengan cara menutup daun pintu dari luar, tetapi segera balik lagi dan mulai melakukan "pengintipan" dari lubang yang secara diam-diam telah dibuatnya tanpa setahu Sumiati.
******
Sumiati benar-benar melayang hanyut. Dengan gemetar, dia membalas pagutan dan rangsangan Arman yang terasa sangat ahli itu. Berulangkali dia hampir orgasme dengan kepiawaian fore play Sang Pejantan, namun digagalkan si lelaki lewat cara yang juga piawai. Sepanjang proses perangsangan itu sendiri, tak hentinya Arman melontarkan bisikan- bisikan mesra, penuh sensasi dan sanjungan yang membuat Sumiati semakin melayang.
"Kau cantik, tubuhmu harum merangsang. Oh.. payudaramu kenapa begini padat dan menantang? Dan inimu.. ini clitorismu.. keras sekali.. bagaimana perasaanmu? kau terangsang sayang?," bisik Arman.
"I.. iiya.." Dengan mata melotot dan nafas memburu, Budiarta menyaksikan bagaimana istrinya mengerang dan menjerit oleh remasan, pijatan, usapan tangan, maupun permainan lidah serta hisapan dan jilatan Sang Pejantan. Arman kadang juga menggunakan kaki dan dengkulnya, gosokan dadanya yang penuh bulu, untuk menambah sensasi dan rangsangan terhadap Sumiati.
Terlihat sekali, Arman terangsang dengan aroma seks yang ditebarkan wanita di depannya. Bau khas tubuh Sumiati membuatnya bagai mabuk. Sementara kejutan- kejutan alamiah di beberapa bagian otot tubuh Sumiati meyakinkannya tentang virginitas wanita ini, seperti memang sudah diceritakan Budiarta
Saat pria itu melepas celananya, telanjang bulat sama sekali, mata Budiarta tambah melotot. Luar biasa. Penis itu demikian besar dan kerasnya sehingga masih mampu tegak ke atas, ketika Arman berdiri. Oh itu tidak boleh merenggut keperawanan Sumiati yang sudah menjadi miliknya. Tapi dia percaya, si lelaki tak akan melanggar "kontrak" dengan bayaran mahal ini.
Budiarta menyaksikan Arman mendudukan Sumiati yang kelihatan sangat terangsang dan terkesan menjadi "liar dan buas" itu, di tempat tidur. Dia sendiri berdiri di lantai. Penis besarnya kemudian diarahkan ke mulut Sumiati. Tanpa diminta dua kali, Sumiati yang mengira suaminya masih pergi, kemudian menjilat, mengulum, lalu mengisap benda yang sudah lama diidamkannya itu.
Sangat rakus!
"Oh.. besar.. besar sekali.. punyamu besar," bisiknya bagai orang mengigau.
Budiarta melihat air liur istrinya bertitikan di buah dadanya sendiri yang kedua putingnya terlihat demikian tegang.
Tidak hanya itu, Sumiati terlihat juga mulai menjilati seluruh bagian kelamin Arman. Seperti kedua kantung testikelnya yang berganti-ganti dijilat dan disedotnya. Kemudian kedua lipatan pahanya. Yang membuat Budiarta terpesona, dalam melakukan perbuatan itu, Sumiati terus berusaha memandang wajah Si Lelaki, seperti ingin mengetahui, bagaimana reaksi yang muncul dari perbuatannya. Dan setiap Arman menjerit keenakan, entah disengaja atau tidak.
Sumiati juga ikut mengerang dengan mulut penuh itu, karena terangsang. Sumiati, Si Istri yang selama ini demikian pemalu, lugu, tertutup, penuh pengabdian, seperti telah berubah total. Budiarta menyaksikan bagaimana istrinya itu menarik tubuh Arman untuk ditelentangkan di tilam, lalu menjilati seluruh tubuh pria yang baru dikenalnya itu, kemudian menghisap dan mengocok penis besar Si pria keturunan Arab yang kelihatan perkasa. Dia tak mendengar bagaimana bisikan-bisikan yang dilakukan keduanya.
"Mbak Sum kau ahli.. hisapanmu hebat.. ohh yahh.. kau pintar.. kau ingin itu? Kau mau punyaku?," bisik Arman.
"Mau.. kau punya besar.. aku mau..," bisik Sumiati diantara kesibukan mengisapnya.
Jelas itu ungkapan bawah sadarnya.
Kocokan tangan Sumiati demikian cepat, membuat Arman menoleh ke arah pintu seperti ingin mengetahui bagaimana kondisi Budiarta. Pantatnya diangkat, menahan kenikmatan dari permainan si wanita yang kelihatan sudah bagai orang kalap akibat nafsu. Lelaki yang sangat berpengalaman dengan ratusan bahkan ribuan wanita ini menggeliat- geliat ingin melepas bendungan di dirinya.
Dan Budiarta tiba-tiba merasa celana dalamnya mengetat. Penisnya bangkit! Oh cukup keras dan menggetarkan. Inilah saatnya. Pintu segera dia ketuk, bersamaan dengan pekikan Arman yang menggeliat-geliat dengan bagian kepala penis besarnya memenuhi seluruh mulut Sumiati. Wanita ini seperti mengerang dan dengan rakus menyedot serta menghisap habis tanpa sisa, sperma yang dengan keras kemudian disemprotkan dari mulut penis Arman. Budiarta mengetuk lebih keras pintu itu. Arman segera melompat bangkit. Membukakannya, di mana Budiarta kemudian langsung menerobos masuk, menindih istrinya yang penuh keringat, kemudian mulai mengambil apa yang menjadi haknya. Menikmati keperawanan Sumiati, menembus selaput daranya.
Sumiati sendiri, bagai orang kesetanan, menyambut sergapan suaminya dengan jalan mengangkangkan pahanya lebar-lebar, menunjukan belahan bibir kelaminnya yang basah dan merah. Dia sudah kehilangan rasa malu dengan kehadiran orang ketiga di dalam kamarnya. Arman sendiri, sesuai perjanjian yang telah disepakati, segera keluar. Ketika dia menutup pintu. terdengar jeritan kesakitan bercampur kenikmatan yang sangat merangsang dari mulut Sumiati.
TAMAT
Namanya Sumiati. Wanita pendiam yang tidak hanya taat kepada orang tua dan keluarga, juga agama. Persepsi bahwa kehidupan merupakan wujud pengabdian yang tak harus berhenti kepada keluarga, ditanamkan kedua orang tuanya sejak Sumiati kecil.
Ayahnya lelaki desa kebanyakan yang tumbuh menjadi pria keras karena sulitnya kehidupan. Itu membangun watak lugu sekaligus otoriternya dalam mendidik semua anak-anaknya. Khususnya Sumiati yang manis dan sebenarnya menyimpan daya tarik seksual tersembunyi.
Faktor inilah yang membuat Sumiati secara tidak sengaja, jatuh di tangan seorang lelaki tua namun kaya yang punya Perkebunan Kelapa Sawit cukup luas di desa A, tempat keluarga Parto, ayah Sumiati bekerja.
Budiarta, atau biasa dipanggil Tuan Budi, secara tak sengaja suatu hari melihat Sumiati mengantar makanan kepada Ayahnya yang sedang bekerja pada pembangunan koridor pengangkutan tandan kelapa sawit miliknya. Cukup sekali itu, entah oleh magnit apa, Budiarta yang sudah berusia 61 tahun langsung kemudian tak bisa lagi melupakan gadis pendiam bertubuh indah dan padat itu.
Melalui kebayanya yang sederhana, pengusaha perkebunan yang sukses dan sudah menduda lebih 15 tahun sejak bercerai dengan istri ketiganya ini, bisa membayangkan bagaimana lekuk tubuh Sumiati. Bagaimana bentuk buah dadanya yang montok dan agak besar, pinggulnya yang penuh berisi, sampai bagaimana gelinjang dan geliat gadis itu, jika dirangsang dalam ketelanjangannya.
Budiarta mencoba menghapus dan membuang semua pikiran liar itu, karena sadar kondisi dirinya. Namun semakin dibuang, kian meradang keinginan untuk menguasai gadis desa itu. Puncaknya, suatu hari, diam-diam dia meminta Parto membawa anaknya ke villa tempat peristirahatannya di tengah perkebunan kelapa sawit yang luas itu.
Di sanalah dia bisa melihat dan meneliti sosok Sumiati dari dekat. Bukan main. Ini kesimpulannya. Gadis itu benar-benar memiliki daya tarik seksual luar biasa. Sumiati seperti mutiara yang belum terpoles, atau berlian yang tersaput lumpur. Sekali dia bersih, maka pesonanya akan memancar cemerlang.
Melanggar tekadnya sendiri untuk melewati hari-hari tuanya secara tenang sendirian di perkebunannya, Budiarta nekat melamar Sumiati sebagai istrinya. Tentu saja ini bagai durian runtuh bagi Keluarga Parto. Dan Sumiati sendiri, yang semula sempat terkejut karena sadar harus mendampingi seorang pria tua sebagai suaminya, kemudian menepis semua pertimbangan dari tuntutan naluri wajar yang ada di dalam dirinya, sebagai seorang gadis belia.
Dia harus menerima lamaran Sang Tuan, melupakan tuntutan egonya, sebagai bentuk apa yang diajarkan selama ini oleh Ayahnya. Pengabdian kepada keluarga. Kepada usaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan mereka.
Perkawinan itupun berlangsung dengan meriah. Membuat Desa A bagai tenggelam dalam kenduri panjang yang terus berdegup kencang. Dan di balik itu, Ibu Sumiati terus mengajarkan kepada anaknya, bagaimana caranya melayani seorang suami dengan baik. Secara khusus di tempat tidur. Sumiati mendengar dan menyimaknya dengan jantung tak henti berguncang. Membayangkan kelamin lelaki dalam keadaan tegang, besar dan keras, seperti sempat secara tak sengaja dilihatnya. Saat itu dia terbangun tengah malam dan ingin kencing di dapur.
Dari balik sumur tiba-tiba dia mendengar suara Ibunya. Entah keluhan, atau sejenisnya. Begitu dia mengendap dan melihat lebih jelas, matanya terbelalak dengan jantung seolah berhenti berdegup. Dia saksikan dengan pakaian sudah terbuka, Ibunya sedang bersandar di pohon dekat sumur, dengan sebelah kaki terangkat, sementara di depan, Ayahnya, dengan kelamin yang besar dan tegang sedang bersiap menyetubuhinya. Dengan ketakutan dia segera menjauh dari sana.
Namun bayangan itu, penis ayahnya yang besar dan keras, kelamin Ibunya yang siap menerima penis itu, tak pernah dia lupakan. Sesuatu yang membuat bagian bawah tubuhnya menjadi berdenyut, gatal dan luar biasa peka terhadap sentuhan. Badannya kadang sampai menggigil dan pikiran- pikiran aneh yang berkaitan masalah itu, dengan keras segera dia lupakan.
Sekarang, dia akan menjadi seperti ibunya. Budiarta memang sudah tua, tetapi sebagai orang kaya yang hidupnya terpelihara serta rajin olahraga, pria itu tetap kelihatan agak kekar. Berarti penisnya juga pasti masih perkasa. Itu yang belakangan ini menggoncangkan perasaannya.
Sebenarnya tak beda jauh dengan Budiarta sendiri. Gambaran tentang kemolekan tubuh Sumiati, aroma keremajaannya, keranuman kewanitaannya, bangun tubuhnya yang padat karena selalu bekerja cukup keras untuk membantu mengatasi kemiskinan keluarganya, membuat otak Budiarta seperti gila. Meski ada keresahan yang tak habis menyelimuti batinnya.
******
Malam yang dinantikan oleh keduanya itu tiba. Secara perlahan, di kamar pengantinnya yang mewah, di lantai yang sudah dihampari kain sofa yang tebal, Budiarta melepaskan pakaian Sumiati satu persatu. Gadis itu sendiri terus menunduk sambil membiarkan dirinya pasrah untuk diperlakukan apapun.
Tak lama kemudian, Sumiati sudah tergolek di atas lantai dengan telanjang bulat. Gadis itu terlihat berusaha menutupi buah dadanya yang sintal, serta kelaminnya yang ditumbuhi bulu agak lebat. Namun Budiarta selalu mencegah usaha itu. Lelaki ini kemudian mengambil botol madu yang sudah disediakannya.
Lalu secara pelan menumpahkan madu tersebut ke sekujur tubuh telanjang Sumiati, yang membuat gadis yang lebih banyak memejamkan matanya ini menjadi kia gelisah. Apalagi ketika tanngan lelaki itu, mulai meratakan ke seluruh permukaan tubuhnya.
Dengan gemetar, nafas memburu oleh nafsu, pria tua yang hanya mengenakan celana pendek ini, mulai menciumi dan menjilati sekujur tubuh Sumiati. Kedua tangan Sumiati direntangkan ke atas kepalanya. Ketiak gadis yang berbulu halus itu, dia ciumi dan jilati. Jilatan itu meluncur turun-naik ke sana kemari.
Ciuman dan jilatan serta hisapan itu benar-benar bagai bara yang membakar. Membuat gadis desa yang tak pernah seumur hidupnya disentuh pria ini menjadi tersentak-sentak, gelisah, dan terengah-engah menahan gelora perasaan dan emosinya yang bangun menggelora.
Makin lama, ciuman, jilatan dan hisapan Budiarta semakin ganas. Kedua puting buah dada Sumiati bergantian disedot dan diremas-remasnya. Bahkan wajahnya dengan kuat digosokan ke sana, membuat benda padat yang tegak menantang itu menjadi penyek dan terdorong kesana-kemari. Sementara tangan Buidarta terus mengusap, menggosok dan meremas bagian vaginanya. Memutar dan menusuk-nusuk di sana.
Sumiati tak tahan lagi untuk mengeluarkan suara-suara liarnya, meski masih terdengar perlahan, pada saat kedua pahanya dikangkangkan, kemudian Budiarta menciumi, menghisap serta memainkan lidahnya di vagina dan bibir kelamin yang basah oleh lendir bercampur madu itu.
Sumiati mengerang nyaring kemudian mengejang, berpegangan keras di kepala Budiarta, pada saat sesuatu yang luar biasa, fantastis dan melambungkan dirinya ke dalam kenikmatan yang tak bertara datang dari dalam dirinya. Ini orgasme pertama yang pernah dirasakannya. Sesuatu yang pernah diceritakan Ibunya, kalau penis lelaki secara intensif keluar masuk di dalam vagina wanita.
"Itu sorga dunia, Nduk".
Budiarta nampak terengah-engah, menyaksikan gadis yang memandangnya dengan mata sayu, hanyut jauh oleh nafsu dan kenikmatan itu. Tapi mengapa dia belum juga membuka celana pendeknya, mengeluarkan sesuatu yang sejak tadi --meski malu-- ingin sekali disaksikan Sumiati. Sesuatu yang menurut Ibunya tak masalah jika kau jilat, kau hisap, dan kau telan air yang akan keluar menyemprot dari sana. Air cikal-bakal kehidupan fisik seorang manusia.
Mengapa benda yang tegar, perkasa dan penuh pesona itu tak juga ditunjukan serta diberikan kedirinya untuk bisa ganti dia rangsang?
Pertanyaan ini membayangi perasaan Sumiati, ketika Budiarta kembali memperlakukan dirinya seperti tadi. Menjilatinya, menghisapnya dengan ganas. Bahkan membalikanan tubuhnya, mengangkat pangkatnya, kemudian menjilati anusnya yang membuat dia berpegangan di sofa tebal yang empuk tersebut dengan tubuh menggigil dan tersentak-sentak menahan getaran nikmat tak terlukiskan.
Sumiati kembali merasakan orgasmenya. Kali ini bahkan lebih hebat dari yang pertama, karena membuatnya tanpa sadar terpekik dan mengejang sangat lama. Nafasnya kemudian memburu kencang, seperti telah berlari naik gunung. Budiarta kemudian menjatuhkan tubuhnya ke sisi gadis itu. Tergolek di sana. Lama. Sumiati berusaha bangun dan diam-diam merasa tidak mengerti, mengapa celana pendek suaminya itu tak menunjukan sesuatu yang sedang berdiri keras di baliknya. Sesuatu yang tegang dan sejak tadi dibayangkannya mirip seperti kepunyaan Ayahnya. Apa sebenarnya yang terjadi?
Dengan agak ragu, namun dibekali peringatan Ibunya, agar dia bisa memberikan "pelayanan terbaik" untuk suaminya, Sumiati pelan-pelan menyentuh celana itu. Budiarta cuma diam membisu. Malah dia kemudian menurunkan celana terbut, menunjukan kelaminnya yang -astaga- ternyata kecil, lembek dan mirip punya adik lelakinya yang diam-diam sering dia saksikan di rumah.
Inikah yang pernah dia dengar tentang impotensi? Ketidakmampuan seorang lelaki untuk melakukan hubungan seksual? Apakah itu karena pria ini sudah tua, dan wajar seorang pria seperti dirinya tak bisa gampang lagi memfungsikan alat kejantanannya? Atau dia harus berperan lebih berani dan aktif, seperti yang telah diajarkan Ibunya?
Pikiran ini, membuat Sumiati pelan-pelan meremas penis yang lunglai itu dengan tangan gemetar. Lalu akhirnya menunduk dan mulai menjilatinya. Budiarta cepat membuka kakinya lebih lebar. Sumiati memasukan penis itu ke dalam mulutnya. Mengecup, kemudian mulai menghisapnya, seperti biasa dilakukan bayi terhadap ibu jarinya.
Tubuh Budiarta kelihatan menggeliat-geliat menahan nikmat. Tapi berlalu tiga, lima, bahkan sepuluh menit, penis itu tak juga mau tegang. Ada memang perubahan, karena tak lagi selembek tadi. Tapi tetap saja lemah. Dan mendadak Budiarta menjauhkan wajah Sumiati lalu menggeleng dengan wajah sedih. Sumiati terpana.
Mengapa Budiarta tak pernah lagi terpikir untuk menikah selama puluhan tahun, dan mengapa akhirnya dia memutuskan untuk mengawini Sumiati, itu semua beranjak dari kondisi dirinya yang demikian.
Dia tahu Sumiati gadis yang menarik dan merangsang namun sekaligus penuh pengabdian dan sangat penurut sehingga tak terlalu dikhawatirkan bisa berbuat macam-macam di belakangnya. Yang lebih penting lagi, perwatakan itu akan membuatnya bisa melaksanakan keinginan tersembunyi yang dahulu pernah diminta bisa dilakukan tiga istri terdahulunya, namun justru akhirnya menimbulkan perceraian diantara mereka. Karena kedua istrinya itu kemudian jatuh ke tangan orang lain dengan membawa banyak hartanya.
Secara fisik, meski sudah berusia lebih enam puluh tahun, Budiarta sebenarnya masih normal. Namun secara psikis, seksualnya terganggu. Dia tak mampu berhubungan dengan wanita secara normal. Untuk itu, ada cara-cara yang harus dilakukan untuk bisa membangunkan penisnya.
Awalnya dia masih berspekulasi, keranuman Sumiati, daya tarik seksualnya serta kesuciannya sebagai gadis --yang diakui Parto ayah Sumiati sendiri-- akan bisa secara perlahan membantu mengatasi problema dirinya. Ternyata tidak. Berulang kali setelah malam pertama itu, Budiarta tetap gagal menyetubuhi Istrinya. Padahal dia ingin sekali menikmati keperawanan wanita yang bangun fisik serta aroma tubuhnya sangat merangsang itu.
Sumiati sendiri, seperti memang diperkirakannya, terlihat tak terlalu mempermasalahkan itu. Dia terkesan sangat tidak ingin suaminya menjadikan faktor tersebut sebagai hal yang mengecewakan. Dan, tampaknya, Sumiati merasa cukup puas dengan permainan tangan dan mulut suaminya di seluruh bagian tubuhnya. Dia selalu mampu berulang-ulang mencapai orgasme, meski tentunya tetap berbeda dengan orgasme yang dihasilkan oleh sebuah proses coitus sesungguhnya.
Sesuatu yang dahulu pernah diterapkan Budiarta dengan tiga istrinya, segera kembali ingin diulanginya. Oleh faktor pertimbangan ketulusan pengabdian Sumiati, dia yakin, wanita itu tak akan mengkhiantinya, seperti tiga istrinya terdahulu. Ini alasan mengapa dia memutuskan untuk menjadikan Sumiati istrinya yang terakhir.
Sumiati tersentak, ketika keinginan itu dia sampaikan. Bahkan membuat wanita itu sampai gemetar karena terkejut dan penolakannya. Namun dengan halus Budiarta terus membujuk dan memberikannya pengertian.
"Aku perlu penyembuhan. Aku tidak akan bisa sembuh, tanpa terapi seks yang benar. Dan ini adalah salah satu yang dianjurkan oleh seorang ahli kepada Mas", kata Budiarta malam itu, usai membuat istrinya dua kali orgasme dengan tangan dan mulutnya.
Sumiati menelan ludahnya berulang kali dengan bingung.
"Lelaki itu hanya untuk membangkitkan kemampuan Mas. Dia nanti akan mencumbumu, namun tidak sampai menyetubuhimu. Nanti setelah punya Mas ini bangun, dia akan pergi dan selanjutnya kita akan bisa berhubungan dengan - normal. Ini juga perlu untukmu, Sum. Kau tidak boleh hanya menikmati hubungan seperti selama ini".
"Tapi, kenapa.. kenapa.. harus begitu?"
"Jika melihat kau dirangsang oleh orang lain, maka nafsu Mas akan bisa dibangkitkan sampai ke puncaknya yang membuat punya Mas bisa bangun. Mas pernah melakukan ini dengan istri-istri Mas terdahulu, tapi sayangnya mereka akhirnya menghianati Mas. Tapi Mas yakin, Sumiati tak akan memiliki pikiran sekotor mereka itu".
Sumiati seperti termangu. Budiarta terus melontarkan bujukannya. Dia meyakinkan wanita muda itu, bahwa apa yang akan dilakukannya dengan lelaki yang akan didatangkan di rumahnya tersebut, merupakan bagian dari proses pengobatan dirinya.
"Kalau kau mengabdi dengan Mas, sayang dengan Mas, ingin mengobati menyembuhkan penyakit yang sangat menyedihkan ini, kau pasti bersedia. Jangan anggap ini pengkhianatan, tetapi pengobatan. Bukankah di dalam Agama, barang harampun bisa dihalalkan, jika diperlukan secara darurat untuk pengobatan?" Oh ini salah satu argumentasi hebatnya untuk melemahkan hati si istri.
******
Setelah beberapa hari membujuk, Sumiati akhirnya bersedia. Budiarta gembira sekali. Dia sudah memilih seorang gigolo, Sang Pejantan untuk merangsang habis Sumiati, sementara dia akan mengintip perbuatan mereka. Syaratnya, lelaki itu meski telanjang, dan mungkin akan sangat terangsang, tidak boleh sampai menyetubuhi istrinya.
Dia sendiri sudah mengingatkann Sumiati, untuk benar-benar bisa menghayati dan melayani rangsangan Si Lelaki. "Kalau kau tidak mamputerangsang, karena takut, atau hatimu diam-diam menolak, maka nafsu dan punya Mas juga tetap tidak akan bangkit secara sempurna. Bahkan malah tambah payah karena Mas merasa bersalah. Kau harus benar-benar menganggap lelaki itu suami sementara untuk pengobatan Mas. Kau Faham?," kata Budiarta menjelang pelaksanaan "terapi seks" tersebut.
Lelaki yang dipanggil Budiarta secara khusus itu, adalah seorang pria 27 tahun yang cukup ganteng, dengan tubuh kekar dan memiliki segalanya untuk bisa memuaskan seorang wanita. Badannya berbulu, beralis lentik, dengan kumis agak tebal di bawah hidung mancung yang menjadikan ciri keturunan Arabnya cukup kentara. Namanya Arman. Jantung Sumiati berdebar kencang menyaksikan kehadiran pria tersebut. Seseorang yang tak bisa dia sangkal, sangat, sangat, sangat menarik, lembut dan sopan.
Seseorang yang akan merangsangnya dalam kondisi sama-sama telanjang bulat berduaan di dalam kamar yang akan dikunci si lelaki dari dalam, sampai kemudian pintu kamar itu kembali dibuka waktu suaminya mengetuk dari luar. Kepada istrinya, Budiarta menyatakan akan pergi keluar rumah kira-kira setengah jam, baru kemudian datang lagi dan menunggu penisnya bisa bangkit dengan menyaksikan keduanya bergulat dari balik pintu. Sebenarnya tidak persis begitu. Budiarta tidak benar-benar pergi, namun sekedar mengesankan keluar rumah dengan cara menutup daun pintu dari luar, tetapi segera balik lagi dan mulai melakukan "pengintipan" dari lubang yang secara diam-diam telah dibuatnya tanpa setahu Sumiati.
******
Sumiati benar-benar melayang hanyut. Dengan gemetar, dia membalas pagutan dan rangsangan Arman yang terasa sangat ahli itu. Berulangkali dia hampir orgasme dengan kepiawaian fore play Sang Pejantan, namun digagalkan si lelaki lewat cara yang juga piawai. Sepanjang proses perangsangan itu sendiri, tak hentinya Arman melontarkan bisikan- bisikan mesra, penuh sensasi dan sanjungan yang membuat Sumiati semakin melayang.
"Kau cantik, tubuhmu harum merangsang. Oh.. payudaramu kenapa begini padat dan menantang? Dan inimu.. ini clitorismu.. keras sekali.. bagaimana perasaanmu? kau terangsang sayang?," bisik Arman.
"I.. iiya.." Dengan mata melotot dan nafas memburu, Budiarta menyaksikan bagaimana istrinya mengerang dan menjerit oleh remasan, pijatan, usapan tangan, maupun permainan lidah serta hisapan dan jilatan Sang Pejantan. Arman kadang juga menggunakan kaki dan dengkulnya, gosokan dadanya yang penuh bulu, untuk menambah sensasi dan rangsangan terhadap Sumiati.
Terlihat sekali, Arman terangsang dengan aroma seks yang ditebarkan wanita di depannya. Bau khas tubuh Sumiati membuatnya bagai mabuk. Sementara kejutan- kejutan alamiah di beberapa bagian otot tubuh Sumiati meyakinkannya tentang virginitas wanita ini, seperti memang sudah diceritakan Budiarta
Saat pria itu melepas celananya, telanjang bulat sama sekali, mata Budiarta tambah melotot. Luar biasa. Penis itu demikian besar dan kerasnya sehingga masih mampu tegak ke atas, ketika Arman berdiri. Oh itu tidak boleh merenggut keperawanan Sumiati yang sudah menjadi miliknya. Tapi dia percaya, si lelaki tak akan melanggar "kontrak" dengan bayaran mahal ini.
Budiarta menyaksikan Arman mendudukan Sumiati yang kelihatan sangat terangsang dan terkesan menjadi "liar dan buas" itu, di tempat tidur. Dia sendiri berdiri di lantai. Penis besarnya kemudian diarahkan ke mulut Sumiati. Tanpa diminta dua kali, Sumiati yang mengira suaminya masih pergi, kemudian menjilat, mengulum, lalu mengisap benda yang sudah lama diidamkannya itu.
Sangat rakus!
"Oh.. besar.. besar sekali.. punyamu besar," bisiknya bagai orang mengigau.
Budiarta melihat air liur istrinya bertitikan di buah dadanya sendiri yang kedua putingnya terlihat demikian tegang.
Tidak hanya itu, Sumiati terlihat juga mulai menjilati seluruh bagian kelamin Arman. Seperti kedua kantung testikelnya yang berganti-ganti dijilat dan disedotnya. Kemudian kedua lipatan pahanya. Yang membuat Budiarta terpesona, dalam melakukan perbuatan itu, Sumiati terus berusaha memandang wajah Si Lelaki, seperti ingin mengetahui, bagaimana reaksi yang muncul dari perbuatannya. Dan setiap Arman menjerit keenakan, entah disengaja atau tidak.
Sumiati juga ikut mengerang dengan mulut penuh itu, karena terangsang. Sumiati, Si Istri yang selama ini demikian pemalu, lugu, tertutup, penuh pengabdian, seperti telah berubah total. Budiarta menyaksikan bagaimana istrinya itu menarik tubuh Arman untuk ditelentangkan di tilam, lalu menjilati seluruh tubuh pria yang baru dikenalnya itu, kemudian menghisap dan mengocok penis besar Si pria keturunan Arab yang kelihatan perkasa. Dia tak mendengar bagaimana bisikan-bisikan yang dilakukan keduanya.
"Mbak Sum kau ahli.. hisapanmu hebat.. ohh yahh.. kau pintar.. kau ingin itu? Kau mau punyaku?," bisik Arman.
"Mau.. kau punya besar.. aku mau..," bisik Sumiati diantara kesibukan mengisapnya.
Jelas itu ungkapan bawah sadarnya.
Kocokan tangan Sumiati demikian cepat, membuat Arman menoleh ke arah pintu seperti ingin mengetahui bagaimana kondisi Budiarta. Pantatnya diangkat, menahan kenikmatan dari permainan si wanita yang kelihatan sudah bagai orang kalap akibat nafsu. Lelaki yang sangat berpengalaman dengan ratusan bahkan ribuan wanita ini menggeliat- geliat ingin melepas bendungan di dirinya.
Dan Budiarta tiba-tiba merasa celana dalamnya mengetat. Penisnya bangkit! Oh cukup keras dan menggetarkan. Inilah saatnya. Pintu segera dia ketuk, bersamaan dengan pekikan Arman yang menggeliat-geliat dengan bagian kepala penis besarnya memenuhi seluruh mulut Sumiati. Wanita ini seperti mengerang dan dengan rakus menyedot serta menghisap habis tanpa sisa, sperma yang dengan keras kemudian disemprotkan dari mulut penis Arman. Budiarta mengetuk lebih keras pintu itu. Arman segera melompat bangkit. Membukakannya, di mana Budiarta kemudian langsung menerobos masuk, menindih istrinya yang penuh keringat, kemudian mulai mengambil apa yang menjadi haknya. Menikmati keperawanan Sumiati, menembus selaput daranya.
Sumiati sendiri, bagai orang kesetanan, menyambut sergapan suaminya dengan jalan mengangkangkan pahanya lebar-lebar, menunjukan belahan bibir kelaminnya yang basah dan merah. Dia sudah kehilangan rasa malu dengan kehadiran orang ketiga di dalam kamarnya. Arman sendiri, sesuai perjanjian yang telah disepakati, segera keluar. Ketika dia menutup pintu. terdengar jeritan kesakitan bercampur kenikmatan yang sangat merangsang dari mulut Sumiati.
TAMAT