Widya, Isteri Sepupuku

Kang Asep masih di Belanda dan tidak akan pulang dulu dalam waktu satu setengah bulan ini. Teh Widya, istri Kang Asep, sepupuku, masih sibuk mengurusi perusahaan tours and travel miliknya. Sedangkan aku, Willy, sedang memandang cermin di depan dan dengan seksama kutelusuri perutku sendiri.

"Hmm, otot perutku sudah lumayan juga!", pikirku bangga.
"1.., 2.., 3.., 4.., 5.., 6.., Yup enam buah petak."
Sepulang kuliah, aku langsung pergi ke pusat kebugaran tubuh. Memang itulah hobiku, aku termasuk cowok yang sangat mementingkan penampilan. Apalagi semenjak kejadian beberapa waktu lalu bersama Teh Widya. Aku sangat suka dengat tubuh sempurnanya Teh Widya. Dan aku juga ingin agar Teh Widya tergila-gila melihat tubuhku. Teh Widya dan Aku memang selalu menjaga kebugaran tubuh agar selalu tetap fit.

Sehabis mandi dengan hanya menggunakan celana jeans Levis 501. Aku merebahkan tubuhku sebentar di tempat tidurku. Aku ambil remote control, dan mengarahkan ke sound system dikamarku. Blue Danube Waltz karya Johann Strauss yang dibawakan oleh Vienna Opera Orchestra dengan Peter Falk sebagai conductor-nya mulai menggema di kamarku. Aku letakkan kedua telapak tanganku di bagian belakang kepalaku sebagai pengganti bantal. Keadaan tubuh yang dingin sehabis mandi disertai rasa lelah sehabis membakar lemak dan membentuk tubuhku di pusat kebugaran membuat mataku terasa mulai berat, dan.., beberapa saat kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.

Entah mengapa, aku bermimpi sedang bermain bersama kucing kesayanganku yang sudah lama tiada. Dalam mimpiku aku kembali menjadi aku yang masih kecil. Aku berlari berusaha mengejar kucingku yang sedang berlari dan melompat berusaha menangkap kupu-kupu yang sedang terbang di sela-sela bunga anggrek milik ayahku. Aku sangat gembira sekali saat itu. Akhirnya kucingku tak sanggup lagi mengejar kupu-kupu itu seperti aku yang tak sanggup lagi mengejar kucing kesayanganku itu. Aku duduk di kersi tepat disebelah bunga anggrek berwarna ungu kesayangan ayahku. Kucingku mengikutiku dan duduk di pangkuanku. Terasa di perutku bulu-bulu halus kucingku yang sedang menjilati kaki depannya. aku mulai kegelian, rasanya geli sekali.., ingin rasanya aku tertawa.., ha, ha.., hi, hi.., hingga saking gelinya akupun terbangun.

Aku mulai membuka kedua kelopak mataku perlahan. Aku merasakan sesuatu yagng membuatku geli di perutku, tapi itu bukan kucing lagi seperti yang di dalam mimpi. Ternyata.., yang membuatku geli adalah..,, sebuah telapak tangan yang mungil dan mulus sedang mengusap-usap perutku. Aku kaget dan secara refleks aku menengadahkan kepala untuk mencari tahu tangan siapakah itu gerangan.
"Oh.., Teh Widya.., baru pulang Mbak..?" tanyaku lirih.
Teh Widya hanya menundukan kepalanya. Setiap aku menatap Teh Widya, selalu aku tertegun dan terpesona dibuatnya. Wajahnya yang sangat cantik.., sudahlah.., tak mungkin aku lukiskan keindahannya dengan kata-kata.
"Nggak, Mbak udah dari tadi sampe di rumah, bahkan Mbak udah sempet mandi segala", jawabnya.
Memang tampak olehku rambutnya yang hitam legam, panjang dan tebal itu masih sedikit basah.

"Aduh.., eh.., apa-apan neh..!"
Aku tak bisa menggerakan kedua tanganku dan kedua kakiku. Aku berusaha menggerakannya, akhirnya aku sadar kedua tanganku terikat ke bagian kiri dan kanan tempat tidurku, sedangkan kakiku terikat ke bagian bawah tempat tidur. Keadaanku saat itu perses seperti orang yang di salib.
"Aduh Mbak, jangan bercanda ah..!"
"Aku nggak bisa ngapa-ngapain neh..!"
"Mbak.., aduuh, geli ah..!"
Teh Widya hanya tersenyum dengan tak mempedulikan ocehanku. Dia terus meraba perutku dengan jari jemari lentiknya. Teh Widya terus menyusuri setiap lekukan di perutku.
"Aduh.., Mbak udah ah.., nggak tahan neh..!", kataku memohon.
"Sst.., diam ah.., jangan banyak omong..!", kemudian Teh Widya menghentikan permainan jarinya di perutku.

"Aku nggak bisa tenang tadi di kantor, rasanya pengen cepet pulang dan ketemu kamu", ujar Mbak Wid sambil membelai rambutku.
"Pekerjaan Mbak di kantor jadi nggak bener, Mbak nggak bisa konsentrasi mikirin kamu. Dan pekerjaan Mbak jadi sedikit kacau. Untuk itu, kamu harus dihukum..! Dan sekarang kamu harus siap menerima hukuman kamu", kembali ujar Teh Widya sambil mengedipkan sebelah matanya yang membuatnya semakin cantik.
"Oh..God, The Fallen Angel..!", kataku dalam hati.

"Tapi nggak usah diiket gini dong Mbak..!", kataku sedikit memohon.
"Udah diam, ikatan ini hanya hukuman pendahuluan, nanti masih banyak hukuman yang lebih berat lagi.", kata Teh Widya sambil tersenyum.
"Willyku, sayangku.., siap ya.., hukuman kamu baru akan di mulai..!", bisik Teh Widya dengan senyumannya yang mendesirkan sesuatu di tubuhku.
Teh Widya bangkit dan pergi menuju ke arah sound system-ku. Terlihat olehku, Teh Widya menggunakan pakaian tidur kesukaannya. Pakaian itu terbuat dari bahan yang sangat indah.

Pakaian itu benar-benar jatuh dan pas sekali di tubuhnya yang tinggi semampai.
"Benar-benar wanita yang sempurna", pikirku.
Lalu dia berjalan menuju sound systemku dan mengganti CD Johann Strauss ku dengan sebuah CD yang Lain. Dia mematikan lampu utama kamarku dan menghidupkan lampu tidur yang letaknya di kiri dan kanan tempat tidurku. Teh Widya meyandarkan dirinya di tembok, dan tersenyum padaku sambil berjalan perlahan ke arahku. Dia berjalan dengan gayanya yang sedikit genit dengan diiringi lagu klasik kesukaannya, Capriccio Italien karya Tchaikovsky.

"Kamu tau lagu ini khan sayangku? Lagu ini membuatku sedikit nakal..", kata Teh Widya sambil menaiki tempat tidurku.
Teh Widya merangkak perlahan di sebelah kananku. Dia mengatur rambutnya yang bak untaian mutiara hitam itu ke sebelah kanan. Setelah dekat dengan tanganku yang terikat, Mbak Wid mencium telapak tangan kananku.
"Cup..!", suara kecupan ditanganku membuat diriku mulai bergairah.
Teh Widya akhirnya tidak hanya mengecup telapak tanganku. Dia mulai menjilati pergelangan tanganku dengan sekali-kali menggigit. Mulai dari telapak tangan kananku, terus ke arah pergelangan tanganku, terus dan terus sampai di bahu kananku. Aku kegelian setengah mati.
"Aduh Mbak.., uughh, geli mbak..!", kataku lirih.
Aku hanya bisa menggerakan bahuku dan kepalaku sedikit saja karena kedua tangan dan kakiku terikat.

Dari bahu kananku, Teh Widya melangkahiku dengan tetap merangkak. Dia berpindah kesebelah kiriku dan melakukan hal yang sama dengan tangan kananku tadi. Teh Widya menelusuri tagan kiriku dengan lidahnya. Tanganku menjadi basah oleh ludah yang menempel di lidahnya. Hal itu membuat rasa geli yang tidak tertahankan.
"Ouughh, Wid..!", Aku tak sadar, aku telah menghilangkan kata 'Mbak'.
"Ghh.. ah, Wid geli ss.. sayang..!"
Teh Widya tidak peduli. Dia terus melakukan hal itu terus menerus. Sesampai lidahnya menjulaiti dan menggigit bahuku, Teh Widya mendekatkan wajahnya yang idah cantik rupawan itu ke wajahku.
"Ayo sayang, cium aku..!", pinta Teh Widya sambil membasahi bibirnya dengan lidahnya.
Tapi Teh Widya memang pandai mengangkat libidoku.

Setiap aku berusaha mencium bibirnya, dia selalu mengangkat kepalanya untuk menghindar dari kecupanku. Hal itu dia lakukan berulang-ulang membuatku makin penasaran.
"Sabar sayang, belum saatnya..!", katanya.
Teh Widya melangkahi tubuhku yang masih terikat, sehingga saat ini tubuhku berada di antara kedua kakinya. Wajahnya yang cantik mulai menciumi leherku. Aku rasakan hembusan kecil nafasnya yang hangat disekitar leherku. Perasaan ku mulai nggak keruan. Teh Widya terus menciumi dan menjilati leherku disertai gigitan-gigitan kecil. Wajahnya mulai menuruni leherku menuju ke dadaku. Seperti yang telah ku duga, kedua belah bibir mungil nan indah bagaikan bunga mawar yang merekah itu, mulai mempermainkan puting susuku. Dari yang kiri terus ke kanan.
"oohh, Wid, kamu nakal..!", kataku lirih menahan rasa geli yang kini sudah bercampur nikmat.

Setelah puas Teh Widya mulai menruni dadaku dan melakukan hal yang sama dengan perutku. Disini Teh Widya bermain agak sedikit lebih lama. Tak percuma aku membuang uang, waktu dan tenaga untuk membentuk perutku. Teh Widya tampak menikmati tonjolan-tonjolan yang berpetak-petak di perutku.
"Ahh, Wid.., terus sayang aku suka..!", kataku.
Teh Widya menyudahi mempermainkan otot perutku. Sekarang dia sedikit mundur dan menduduki pahaku. Teh Widya mengekakkan tubuhnya. Dan kemudian sekali lagi dia mengedipkan sebelah matanya.
"Ahh..,!", aku seditit mendesah ketika tangannya membelai dan meremas celana jeansku tepat di bagian yang membungkus kemaluanku.
Teh Widya terus meremas, meremas, dan meremas. Setiap remasan membuatku menaikan sedikit pinggulku. Aku menikmati gerakan tangan Sang Bidadari yang sedang duduk di atasku itu.

Sedang enak-enaknya aku menikmati remasan tangan Teh Widya ke celanaku, tiba-tiba Teh Widya dengan buasnya membuka ikat pingangku dan menariknya sampai terlepas total dari celana jeansku dan melemparnya kelantai. Celanaku di tariknya ke bawah sampai ke betisku. Sekarang satu-satunya yang menutupi kejantananku hanyanlah celana dalam ku saja. Teh Widya kembali menunduk dan mulai menciumi celana dalamku. Kdang menciumi celana dalamku, kadang meremas-remasnya dengan kuat. Tak lama kemudian Teh Widya menggigit ujung celana dalamku dan menariknya ke bawah sampai menumpuk menjadi satu dengan jean ku yang sudah ada di betisku.

Kini tak ada lagi yang menutupi kejantananku.
"Willy sayang.., ini hukumanmu, kamu suka khan?", bisik Teh Widya.
Aku hanya menganggukan kepalaku saja. Belum sempat aku berpikir jauh. Teh Widya dengan sedikit kasar mengambil dan mencengkeram batang kejantananku yang sedkit mengeras tapi belum mencapai kekerasan maksimum. Teh Widya menunduk lagi, dan mendekatkan wajahnya ke batang kejantananku.
"Hmmpff..!", aku menahan nafas untuk menahan gejolak jiwaku.
Teh Widya menyingkap rambutnya dan mulaimenjilati kepala batang kejantananku. Lidahnya bermain dengan lincah di kepala rudalku. Tidak hanya itu, dia pun menjilati dua buah biji pelerku dan sekali-kali mengulumnya, dan akhirnya tiba saatnya dia mengulum batang rudalku. Yang nampak olehku hanyalan gerakan naik turun kepalanya.
"Ah.., Wid, ughh, ohh ahh..", tak hentinya aku mendesah.

Aku hanya bisa sdikit menggelinjang karena tubuhku masih tetap terikat. Entah berapa lama Teh Widya mempermainkan batang rudalku. Ludahnya yang hangat, gerakan lidahnya yang lincah, kuluman bibirnya dan sedotan mulutnya memang membawakan surga bagiku. 1 menit. 2 menit, 5 menit atau lebih. Dia terus mengulum dan menjilat batangku. Hingga akhirnya dia berhenti dan berdiri di belakang kakiku yang masih terikat.
"Sayangku, kamu suka ya?", katanya dengan manja.
"Aku pergi dulu ya.. nggak lama koq."
"Hey.. hey Teh Widya.. mau kemana..?", kataku.
Teh Widya tidak mempedulikanku. Dia malah masuk kamar mandi di kamarku. Aku heran apa yang akan dia lakukan, sementara gairahku mulai tak tertahankan. Tak berapa lama kemudian pintu kamar mandikupun terbuka. Teh Widya keluar dari sana dengan hanya menggunakan handuk yang membalut tubuhnya. Handuk itu tepat membungkus tubuh surgawi Teh Widya mulai dari sebatas puting sususunya sampai dengan perbatasan antara paha dan lekuk pantannya.

Mbak Wid sesekali berputar-putar di samping kiriku.
"Gimana aku nggak kalah seksi sama kamu khan sayang..!", tanya Teh Widya.
Aku tak bisa menjawab, aku hanya berulang kali menelan ludahku sendiri. Teh Widya kemudian menaiki tempat tidurku dari belakang dan melangkahi kedua kakiku yang masih terikat sehingga sekarang kedua kakiku tepat berada diantara kedua kaki Teh Widya. Dia kemudian berjalan pelan-pelan kearah wajahku.
"Oh.. Lord..!", gumamku.
Aku dapat melihat celana putih berenda-renda sehingga menjadikannya sedikit transparan. Terlihat olehku samar-samar bulu halus yang membayang di kemaluannya yang terbungkus kain tipis berenda itu.
"Kamu mau ini khan?" Tanya Teh Widya.

Teh Widya terus berjalan dengan sangat perlahan menuju wajahku, yang kemudian.. astaga.., dia menduduki wajahku. Aku mengerti dengan pasti apa yang harus kulakukan. Tapi Sang Bidadari ini memang nakal sekali. Setiap aku mengangkat kepalaku dan mendekatkan mulutku ke arah kemaluannya yang masih tertutup kain putih dan tipis itu, Teh Widya selalu mengangkat pantatnya sehingga aku gagal menyentuhkan mulutku ke arah surga yang masih tertutup itu. Hal itu dilakukannya berulang kali. Dia mulai berjongkok lagi, aku mengangkat kepalaku, dia bangun, berjongkok, bangun, terus itu dilakukannya beberapa kali. Aku berfikir keras, bagai mana caranya menghentikan semua ini.

"Hi.. hi.. hi, hi..!"
Bidadari itu tertawa lirih kegirangan melihat diriku yang benar-benar tak berdaya. Tapi tak lama kemudian dengan sedikit kesempatan, ketika Sang dewi kecantikan itu mulai jongkok lagi, aku berhasil menggigit sisi sebelah kiri bagian bawah celana dalam Teh Widya. Hal itu membuatnya tak bisa bediri lagi.
"Tuh, khan kamu memang nakal.. tapi kamu pintar koq.", ujar Teh Widya.
"Lepasin dulu dong gigitan kamu..!"
Aku tak peduli, aku sudah kepalang, aku teris menggigit celana dalamnya.
"OK, deh.., kalo memang itu yang kamu mau..!", kata Teh Widya.
Akhirnya dia berusaha berdiri dengan perlahan sehingga celana dalamnya mulai terlepas dari selangkangannya. Tampak olehku secara perlahan.

Belahan surgawi yang sangat indah itu membuatku nggak keruan. Setelah terlepas total, aku menggelengkan kepala ku kekiri untuk membuang celana dalam itu kesebelah kiri kepalaku. Sejenak Teh Widya menggoyang-goyangkan pinggulnya dan memamerkan keindahan belahan surga itu kepadaku. Aku nikmati keindahan itu sambil beberapakali menelan ludahku. Teh Widya mencukur habis bulu-bulu kemaluannya, dan hanya menyisakan sedikit bulu-bulu halus yang tumbuh diantara pusar dan kewanitaannya. Tak lama kemudian Teh Widya berjongkok dan mendekatkan celah surgawinya ke mulutku. Aku langsung tahu apa yang harus kulakukan.
"Kamu pasti pengen ini khan sayang?", tanya Teh Wid.
Tetapi Teh Widya tidak langsung menempelkan lubang hangatnya ke mulutku tapi dia hanya bersujug diatas wajahku. Jarinya yang lentik mulai memainkan barangnya sendiri. Dengan gerakan memutar berulang yang berulang kali, Teh Widya memainkan wahana surgawinya.

Tangan kanannya membelai rambutku sesekali, sedangkan jari-jemari nya dengan lincah memainkan kemaluannya yang sudah berubah warna. yang Asalnya putih mulus, sekarang menjadi merah muda, bagaikan bunga anggrek yang tumbuh di pagi hari di tempa sinar surya. Benar-benar suatu pemandangan yang indah. Setelah puas mempermainkan kemaluan bagian luarnya. Jari telunjuk dan jari tengahnya mulai membuka celah surga itu, sehingga akhirnya celah itu terbuka dan memperlihatkan penghuni tunggalnya, sebuah daging kecil yang sudah memerah muncul diantara celah itu.
"Wid, aku pengen Clit kamu", pintaku.
Teh Widya akhirnya menuruti apa mauku, dia menempelkan kewanitaannya ke mulutku. Aku jilat dan aku kulum disertai dengan sedikit hisapan di Clit-nya membuat Teh Widya tergila-gila pada permainan lidahku.
"Oufft, fftt.., ah.., ow..eegghh..!"
"Sayangku.., ahh.., oughh..!"
"Enak sayang.., terus..ahh.!", suara desahan sang bidadari membuatku semakin gila.

Sudah saatnya sekarang aku yang memegang kendali. Aku ingin memperbudaknya sekarang, karena selama ini aku hanya terikat dan dijadikan budak olehnya. Aku mengendalikan diriku sesaat, kuhentikan permainan mulutku.
"Sayangku.., terus donk jangan berhenti..!", Teh Wid mulai heran.
Aku tetap terdiam sambil mengumpulkan tenaga.
Akhirnya dengan sekuat tenaga dan sedikit erangan.., "Iii..Ya..!"
Aku berhasil memutuskan kedua tali yang mengikat tanganku. Teh Widya tampat terkejut. Aku lemparkan tubuh Teh Widya yang masih mengangkangi wajahku ke samping sebelah kanan tubuhku. Aku membungkuk dan melepaskan tali yang mengikat kakiku serta menarik celana dalam disertai celana jeansku, sehingga aku kembali seperti sedia kala, telanjang dada dengan celana jeans Levis 501.
"Ampun sayang.., ternyata kamu bisa lepas juga ya..!", kata Teh Widya.

Aku menarik tubuhnya ketengah tempat tidur.
"Sekarang aku yang berkuasa", kataku perlahan sambil merangkak menghampirinya.
"Awas kamu ya..!", kataku.
"Dari tadi kamu terus yang berkuasa, sekarang giliranku", kataku dengan nada sedikit aku buat lebih seram.
"Suka atau tidak suka, kamu harus siap", kataku lagi.
"Ampun, aku minta ampun sayang", kata Teh Widya dengan posisi seperti yang sedang terpojok dan ketakutan, tapi dari sorot wajahnya aku tahu sekali bahwa dia sangat menginginkanku saat itu.
"Kamu siap ya, sekarang giliranku", kataku setelah wajah kami saling berdekatan.
"Jangan kasar ya, pelan-pelan aja..!", kata Teh Widya sambil tersenyum.
Kemudian kukecup dengan mesra bibirnya.

Bukan kecupan penuh nafsu, walaupun saat itu aku sudah di kuasai oleh nafsu setan. Saat itu aku kecup dia seperti kecupan pertama dari seorang yang sangat mencintai gadisnya.
"Wid, kamu memang cantik sekali", kataku.
"Willy, aku sayang kamu", kata Teh Widya.
Aku kembali mengecup bibirnya dengan mesra, tapi.., Teh Widya mengecupku dengan penuh nafsu seakan Mbak Wid ingin memakan mulutku dan menelan kepalaku bulat-bulat. Lidah kami bertemu di dalam dan di luar mulut. Air ludah nya yang hangat terasa indah sekali membasahi bibirnya, membuatku seakan ingin terus mengecupnya. Tapi.., ada sesuatu yang menarik penglihatanku. Dua buah gumpalan daging yang sedikit menyembul dari balik handuk merah muda itu membuat ku menghentikan kecupanku. Dari sana aku tatap wajah Teh Widya sesaat, dia hanya menundukan kepalanya saja. Teh Widya tahu benar apa yang akan aku lakukan terhadapnya, dan tampaknya dia menyetujuinya.

Aku kembali ke arah dua gumpalan itu, dan diantara gumpalan itu aku lihat ada sebuah ikatan yang mengikat handuk itu. Aku mengangkat tubuh Teh Widya untuk membenarkan posisinya. Sekarang Teh Widya terlentang di atas tempat tidurku. Aku membuka handuk itu dan membuangnya ke lantai. Dan.., Teh Wid sekarang benar-benar telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh surganya. Tubuhnya yang merupakan perpaduan antara pitih bersinh dan kuning langsat itu membuatku gila memandangnya. Perutnya yang sangat datar, disertai lekukan otot yang sedikit terlihat menandakan Teh Wid memang pakarnya menjaga tubuh.

Tanpa pikir panjang lagi, aku tindih tubuh 170 cm itu dan langsung aku daratkan lidahku tepat di puting susunya yang berwarna merah muda. Aku putar lidahku di sekitar putingnya, aku permaunkan terus payudara sempurna itu dengan lidahku. Aku jilat, aku hisap dan kadang ditambah dengan sedikit gigitan mesra dariku.
"Ahh, sayang.., terus.. offtt..!", desahannya membuatku menikmati sekali hal ini.
Kedua tangannya memegang kiri kanan kepalaku. Teh Widya berusaha menahan tekanan mulutku ke Payudaranya. Tapi itu semua tidak berpengaruh sama sekali bagiku untuk menikmati surga yang ada didepanku.
"Willy.., stop sayang, aku nggak kuat lagi..!"
"Aku buka celana kamu ya sayang..!"

Teh Widya mendorongku dan menuntunku berdiri di pinggir tempat tidur. Dia membuka jeansku dan menurunkan celana dalamku untuk yang kedua kalinya.
"Eh.., ternyata punyamu sudah tegak juga ya!", kata Teh Widya yang lansung mengulum kontolku.
"Ahhgg.. Wid.., tadi khan udah..!", kataku lirih karena menahan rasa nikmat yang luar biasa.
"Aku pengen lagi..!", Teh Widya berujar sambil kembali meneruskan kulumannya.
Kontolku makin terlihat basah kuyup oleh ludah hangat Teh Widya. Rasa hangay yang menjalar tubuhku membuat aku sdikit tidak bisa menahan diri. Ada sesuatu yang mengalir di atas pangkal kontolku. Ada sesuatu yang ingin aku keluarkan agar kenikmatan ini terus mencapai puncak. Ser.. ser.. ser.., rasa desiran kenimatan itu sedah hampir di puncak, terus naik..dan terus naik seiring dengan kuluman dan hisapan mulut sang bidadari ke rudalku.

"Chlok.. chlok.. chok.. chop.. chop..!"
Suara itu.. ah.. suara hisapan mulut Teh Widya ke kontolku membuatku tak tahan lagi.. aku hampir orgasme.. dan..
"Ahh.. udah dulu sayang.. sekarang giliranku ya..!", kataku menghentikan kegiatan Teh Widya.
Sebab kalau tidak tentu saja aku mencapai punckaku lebih dahulu dan permainan kemungkinan akan selesai. Aku tak mau hal itu terjadi. Aku masih ingin menikmatinya lebih lama lagi.
"Sini sayang, dudu di pinggir tempat tidur ya..!", kataku.
Setelah duduk di pinggir tempat tidur, dengan kaki yang menjuntai rapat ke bawah membuatku tang dapat melihat pintu gerbang menuju sorga milik Teh Widya. Aku bersujud dihadapan kedua kaki panjangnya. Aku perhatikan lagi.. memang.., Teh Widya memang sempurna.., bahkan jari-jari kakinya pun bisa membuat aku bergairah. Putih, bersih tanpa cacat sedikitpun.

Perlahan aku renggangkan kedua kakinya. Dan benar saja.., terlihat celah yang baru saja aku lihat tadi.
"Yup.., nggak usah di nanti-nanti..!"
Mulut, lidah, dan bibirku langsung menyeruak masuk ke memeknya.
"Oh.. Willy, tadi khan udah sayang..!", kata Teh Wid sambil menengadahkan kepalaku.
"Aku pengen lagi..!", jawabku sama percis dengan yang tadi Teh Widya katakan.
Setelah aku jawab, Teh Widya dengan sendirinya merebahkan tubuh semampainya di tempat tidur dan membuka kaki surganya lebar-lebar. Aku tahan kedia pahanya dengan kedua tanganku. Aku renggangkan sebisa mungkin kedua kaki Teh Widya yang membuat memeknya melebar kesamping.
"Ah.. memek itu..", pikirku.
Tak ada cacat sama sekali. Walaupun kaki Teh Widya sudah kurenggangkan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja memek Teh Widya masih tetap rapat, sehingga aku harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan kacang kenikmatannya.

"Nyam.. nyam.. nyam..!"
Aku bagaikan anjing kelaparan yang sudah seminggu tidak dikasih makan oleh tuannya, dan sekarang makanan yang paling enak sudah tersedia didepanku. Tentunya anjing itu akan amat sangat rakus melahap makanan itu.
"Oghh.., fftt.., ahh.. uhh.. hgg..!", Teh Widya Mendesah hebat seiring dengan jilatanku dan hisapan mulutku ke klitoris dan daerah sekitar memeknya itu.
Memeknya mengeluarkan aroma wewangian mawar. Aku tidak berbohong sama sekali. Sungguh.., memeknya harum seharum mawar.. sekali lagi aku tidak bohong. Semakin basah memek Teh Wid semakin gila aku mempemainkannya dan..
"Willy.., sekarang sayang.. sekarang.. aku nggak kuat.. sekarang.. sayang pokoknya sekaraanngg..!", Teh Widya menjerit.

Aku heran kenapa dia menjerit begitu.
"Sekarangg.. aoowww.. aahh.. Willy..!", Jerit Teh Widya.
Aku hanya tersenyum, aku mengerti bahwa Teh Widya mengalami orgasmenya yang pertama.
"Tunggu dulu sayang sebentar.."
Teh Widya menuju ketengah tempat tidur, aku perhatikan apa yang dia mau lakukan. Teh Widya berbaring dan mengganjalkan kepalanya dengan bantal. Dia meregangkan dan melipat kakinya. Aku tak tahan lagi, aku hampiri dia dan..
"Mana punyamu Willy, cepet Masukin ke punyaku..!", kata Teh Widya sambil kedua tangannya memeluk leherku.
Aku memegang kontolku dan mengiringnya kedepan pintu pintu gerbang menuju surga dunia itu. Kepala kontolku kini menempel pada bibir memek Teh Widya, aku tekan perlahan, sangat perlahan. Tapi kepala kontolku sedikit tergelincir. Aku coba lagi, tergelincir lagi. Kadang kesebelah kiri atau kesebelah kanan memek Teh Widya.
"Wid jangan ditahan donk, susah neh..!", kataku sedikit kesal.
"Aku nggak nahan koq, kamu lihat sendiri aku sudah dalam posisi yang kayak gini..!", katanya.
"Coba terus dong sayang..!", pintanya.
Tapi memang benar pikirku. Posisi kaki Teh Widya yang sudah melebar semaksimal gitu sudah tidak mungkin lagi memperlebar memeknya. Jadi.., memeknya memang benar-benar rapat sekali, bagaikan memek perawan. Sekali lagi aku tidak bohong.

Inilah, kegunaan dari Squat dengan posisi kaki lebar ataupun posisi kaki rapat yang selalu Teh Wid lakukan di tempat Fitness. Aku lanjutkan lagi.., Dengan sedikit tenaga tambahan.., Aku genggam penuh kontolku dengan hanya menyisakan bagian leher dan kepalanya saja. Aku fokuskan dengan cermat agar kepala kontolku menempel diantara kedua celah memek Teh Widya. Aku tekan dengan tenaga ekstra tetapi tetap perlahan.
"Sayang.., pelan.. pelan-pelan.. o.. ohh, pelan sayang".
Teh Widya mulai meracau lagi. Perlahan tapi pasti, aku dorong kontolku menyeruak Masug dianta celah surga yang basah milik Teh Widya. Dan tak lama kemudian.., "Bleesskk" kepala dan leher kontolku Masuk. Lalu langsung aku tekan sedalam mungkin sampai pangkal kontolku.
"Aoohh.., Willy.., aahh..!", Teh Widya mendesah bersamaan dengan aku menahan nafasku.

Aku tahan sejenak kontolku didalam memek Teh Widya. Aku tengok sedikit kebawah ternyata kontolku memang benar-benar habis sampai kepangkalnya, amblas tak bersisa di telan lorong sempit dan hangat itu.
"Ayo sayang.. lakukan apa yang kamu mau.., aku pasrah sama kamu sayang..!", kata Teh Widya.
Aku tahan dulu agar aku dapat merasakan kehangatan yang melingkupi rudalku. Teh Widya hanya memandangku dengan wajah ayunya. Kami berdua terus saling berpandangan.
"Wid.., betapa cantiknya kamu sayang.", bisikku sambil mulai mengangkat kejantananku perlahan bersamaan dengan mata Teh Widya yang kini terpejam dan lehernyapun menengadah ke atas.
Aku tarik perlahan sampai sebatas leher kejantananku dan aku tekan lagi sampai amblas lagi. Terus aku lakukan itu dengan perlahan tetapi teratur. Aku tarik.., aku tekan.. tarik.. tekan.. terus begitu. Akurasakan sekali kenikmatan yang tiada tara. Dengan gaya misionaris begini, membuatku dapat menciumi Teh Widya dari mulai leher, pipi, teliga, dan bibir. Kami berdua saling menjilat, saling mengulum, saling mencium dan kadang saling menggigit satu sama lain. Aku terus menggerakkan pantatku naik turun, sehingga kejantananku tetap keluar masuk di dalam memek Teh Widya.

Kedua tangan Teh Widya memelukku erat-erat. Kadang sesekali, jari-jemarinya mencakar punggungku, kadang membelai, dan kadang mencubit nakal pantatku. Entah berapa lama, gaya ini kami lakukan terus. Akhirnya aku mengambil inisiatif. Aku lepaskan pelukan Teh Widya. Kemudian aku sedikit menegakkan tubuhku sehingga aku dan Teh Widya membentuk sudut 45 derajat. Aku angkat kedua kaki Teh Widya, dan aku letakkan di bahuku Masing-masing. Kedua tanganku menahan beban tubuhku ke tempat tidur. Kini pompaku berjalan agak sedikit lebih cepat.
"Ah.. ohh.. wowww.. aduh sayang.., terus sayang..teruuss..!"
Teh Widya meracau terus yang membuatku semakin gila. Keringat kami mulai bercucuran deras. Teh Widya hanya bisa meremas-remas bedcover ku. Aku pompa terus memek Teh Widya.

"Crop.. chop.. chop.. chop..!"
Suara yang dihasilkan dari kehangatan memek Teh Widya dan genjotan Kontolku membuat suasana menjadi semakin hangat. Aku rasakan surga yang amat sangat. Betapa kontolku serasa di kempot-kempot dan serasa akan dihisap kedalam lubang surga Teh Widya. Rasa hangat yang asalnya hanya di kemaluanku kini mulai menjalar ke tubuhku. Memek Teh Widya ibaratkan mesin sex yang sempurna. Kontolku serasa di pijit-pijit, di sedot, di tekan, dan kadang dengan gerakan pantat Teh Widya seakan kontolku di putar didalam memek Teh Widya. Gerakanku mulai kencang dan bertambah kencang. Tapi aku tetap harus mengendalikan nafsuku. Aku ingin bidadari didepanku terpuaskan. Makin kencang.. dan makin kencang.., terus.. dan terus..
"Willy.. sayang.., heg.. heg.. heg.. ah.., ah.., heg.. heg..!"
Nafas Teh Widya semakin memburu dibarengi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Tak lama kemudian..
"Sayang.. aahh..!", Teh Widya berteriak panjang, aku hentikan sesaat genjotanku.
"Ahh..!"

Aku rasakan sekali ada sesuatu yang sangat hangat, bahkan sedikit panas menyelimuti kemaluanku. Kontolku serasa ada yang menyiram di dalam memek Teh Widya. Oh.., rasa hangat itu membuatku gila. Aku denyut-denyutkan kontolku.
"Ahh, sayang.. jangan gitu dong, geli..!", Teh Wid mulai berbicara lagi.
"Copot dulu ya.. sebentar aja..!", kata Teh Widya.
"Hehehehe.., keluar ya..?", tanyaku sambil bercanda.
"He-eh, aku keluar.. tapi pengen lagi..!", kata Teh Widya.
Aku tarik rudalku perlahan. Ketika aku tarik aku lihat seluruh bagian kontolku basah. Dan.., "Plop..!" Kepala kemaluanku keluar dari memek Teh Widya. Teh Widya bangkit dan langsung menungging memamerkan keindahan celah surgawinya. Rambutnya yang hitam panjang itu teruarai sampai ke kasur. Menambah keindahan si wanita sempurna ini.
"Ayo sayang, aku sudah siap lagi neh..!", katanya.
Aku hampiri celah itu dengan berjalan menggunakan kedua lututku. Sesampainya aku di dekat lubang kenikmatan itu, aku tidak langsung menghujamkan batangku, aku ingin menikmati dulu sesaat pemandangan terindah yang pernah aku lihat. Aku melihat sesuatu yang sangat mengagumkan diantara dua buah bongkahan pantat Teh Widya.

Pantat Teh Widya yang begitu putih, mulus, padat dan berisi itu menjepit sesuatu ditengahnya. Sesuatu yang sangat ranum berwarna merah muda. Aku dekati mulutku kearah celah yang terjepit itu. Aku keluarkan lidahku dan aku selipkan lidahku diantara celah itu. Teh Widya menggoyangkan pantatnya.
"Ahh.., Masukin dong sayang..!", pintanya.
Sebelum aku menghujamkan lagi kontolku. Aku kecup dulu dengan mesra memek Teh Widya. Betapa Teh Widya memang pintar menjaga kewanitaannya. Memeknya tidak berbeda dengan memek seorang bayi, kencang, rapat, mulus dan halus, hanya ditambah bulu-bulu yang sangat halus dan tipis bagaikan sutra yang membuatnya tampak lebih indah "Cleb..!" Aku hujamkan kembali batang kebanggaanku itu. Teh Widya sedikit merintih. Dari belakang sini, aku memompa kontolku lagi keluar masuk memek Teh Widya. Posisiku yang berada dibelakang membuatku dapat jelas melihat penisku keluar masuk cepat ke lubang vaginanya, dan saking pasnya, terlihat bibir vagina Teh Widya itu tertarik keluar setiap batangku kutarik keluar dan seakan tersedot melipat kedalam setiap aku dorong penisku ke dalam.

"Agghh, shh.. ohh.. hegghh..!", Teh Widya meracau terus.
Gerakanku yang makin liar dan cepat membuat buah dada Teh Widya terpental-pental.
"Shh.., enak sayang.. ah.., enak.., sayang.. Willy .., terus.., terus.., ohh..uhh!", sSuaranya kian tidak berirama.
Kedua tanganku memegang erat pinggulnya yang memang benar-benar indah dan pas itu. Kedua tanganku menarik dan mendorng pinggulnya, sehingga tenaga genjotan di pantatku sedikit lenih ringan.
"Duh.., sayang..!", ujar Teh Widya.
"Kenapa Wid, sakit?", tanyaku.
"Nggak, nggak pa-pa koq.., terusin deh sayang..!", pintanya.
"Habis punya Teh Widya sempit sekali sih..!", kataku.
"Ah.., punya kamu aja yang terlalu nakal.", katanya.
Akhirnya kuangkat paha kiri Teh Widya, agar lubang surgawinya terbuka sedikit lebih lebar. Aku lakukan lagi tugasku, menarik dan menghujam memeknya yang sudah sangat basah. Sesekali tangan Teh Widya menahan perutku agar laju genjotanku tidak terlalu keras dan cepat. Tapi tetap saja desahannya menandakan sebaliknya. Tangannya menahan perutku tapi desahannya..
"Ayo sayang terus, terus.., lebih cepat sayang.., terus.., ohh. teruuss..!"
"Plak.. plak.. plak..!", suara benturan antara pantat Teh Widya dan selangkanganku membuat suasana semakin gaduh ditambah suara desahan kami berdua, dan suara tempat tidur yang juga ikut bergoyang hebat.
"Udah dulu sayang..!", Teh Widya mendorong perutku kuat-kuat sampai kontolku terlepas dari memek surganya. "PLOP..!"

Aku heran setengah mati, apa lagi yang akan dilakukannya. Teh Widya kemudian mendorongku agar aku telentang, dan.., oh.., aku mengerti, sang bidadari yang baru turun dari surga itu ingin di atas dan ingin memegang kendali. Aku menurut saja. Dia mengangkangi tubuhku dan menggenggam penisku. Penisku yang sudah sangat merah itu dibimbingnya memasuku gerbang kenikmatan surgawi. "Bles..!" masuk sudah penisku ke dalam lubang vaginanya. Teh Widya bergerak naik turun dengan kedua tangannya memegang dan meremas rambutnya sendiri. Kadang kedua tangannya menahan payudaranya yang terlempar dan terpental naik turun sesuai dengan gerakannya. Kepalanya sesekali menggeleng ke kanan dan kekiri sehingga rambut indah sang bidadari itu menjadi acak-acakan.

Aku hanya diam total, aku biarkan Teh Widya bergerak dan menari sepuas dan sesukanya. Kontolku yang memang sudah memerah semakin terasa hangat. Nikmatnya jepitan dan buaian memek Teh Widya membuatku kadang meremas bedcover juga. Teh Widya bergerak naik dan turun juga maju dan mundur. Tapi ada satu gerakan Teh Widya yang paling aku suka dan aku takuti, yaitu gerakan "Memutar". Setiap Teh Wid memutar pantatnya, aku merasakan sensasi yang teramat sangat nikmat di kontol dan di sekujur tubuhku, aku suka tapi.., aku takut aku akan keluar dengan cara itu.

"Willy.. ssaayang.. akk.. akk.., aku.., kk.., kke.. ll.., kke.. keluar.., aahh..!"
Teh Widya berteriak menahan orgasmenya yang ketiga. Ketika proses orgasme itu berlangsung aku dorong pantatku ke atas dan aku benamkan seluruh batang pelerku dan aku denyutkan di dalam liang surga Teh Widya. Hal ini menambah kenikmatan orgasmenya Teh Widya. Teh Widya rubuh seketika dan kepalanya kepalanya menyentuh dadaku, tetapi dengan kontolku masih tertanam di dalam memeknya.
"Ahh.. sayang.. aku keluar..!"
"Kamu belum ya..!", aku hanya tersenyum.
Aku suka dia orgasme sampe tiga kali. Aku biarkan sesaat sang bidadari itu tergeletak di dadaku.
"Kamu masih kuat sayang..?", tanya Teh Widya dan aku tetap terdiam sambil tersenyum.
"Eh.., kalo di tanya jawab dong..!", katanya dan tetap aku terdiam sambil tersenyum dan mengerdipkan mataku. "Aduh.. jawab dong.., ayo dong jawab..!", ujarnya.

Aku tidak lagi menjawab sepatah katapun. Aku bangkit dari posisi semula. Tangan kananku memeluk punggung Teh Widya sedangkan tangan kiriku membantuku bergerak ke sampng tempat tidur.
"Sayang.. mau kemana?", tanyanya.
Aku tetap terdiam, kemudian kurebahkan Teh Widya di bibir tempat tidur. Aku angkat kaki kanannya dan aku letakkan di bahuku denga tangan kiriku menahannya, sedangkan kaki kirinya aku biarkan jatuh ke bawah.., terlihat olehku itilnya yang kecil dan mungil iti. Jari jemari tangan kanankupun menyentuh kacang surga itu. Dan genjotankupun di mulai. Aku terus menggenjot semakin lama semakin cepat dan tidak teratur sambil jempol tangan kananku mempermainkan itilnya terus.
"Ah.., sayang.., kamu hebat sayang.., terus..terus..!", Teh Widya mulai meracau lagi.
"Oughh, ah.., jangan berhenti ahh terus..!", desahan sudah menjadi teriakan kecil.
"Kamu keluar sekarang yah sayang, aku nggak kuat..!", katanya.
"Keluar ya sayang.., ahh.., keluar donk..!", ujarnya.

"Crop.. crop.. crop..!", suara kocokan kontolku ke memek Teh Widya semakin cepat.
Beberapa menit telah berlalu. Aku semakin gila dan gila. Teh Widya sudah tidak lagi memintaku segera keluar. Teriakannya sudah berubah.
"Sayang.., terus sayang.., aku mau keluar lagi", kata Teh Widya.
"Tunggu sayang.., hh,.., mm.., kita keluar bareng ya..!", kataku.
"Aku kk.., keeluarin dd.., di luar apa di dalem sayang?", tanyaku dengan nada dan intonasi yang sudah tidak keruan lagi.
"Di dalem aja sayang.., dd.., ddi dalem .., ddi yang pp.. paling dalem ss.. ssayang", kata Teh Widya.
Gerakan pompaku semakin cepat, buas dan ganas disertai denyutan kontolku yang semakin cepat denyutannya. Kempotan Memek Teh Widya terasa lebih keras dan lebih menyedot dari yang tadi. Kerakan kami berdua sudah sangat tidak teratur sama sekali. Tetapi perpaduan ketidak teraturan itu membuat kami semakin gila.
"Aku mmau kkeluar sayang..!", Teh Widya menatapku dengan menyeringai.
"Ttahan dulu sayang, aku sebentar lagi koq..!", kataku.
"Ohh.., ah.., fftt.., ohh.., hegg.. hegg.., hegg..!"

Sudah tak ada lagi sebuat katapun yang dapat keluar dari mulut kami berdua. Yang keluar hanyalah desahan surga dan teriakan kenikmatan yang tiada tandingannya. Aku lihat Teh Widya mulai menggeleng-gelengkan kepalanya keras sekali seperti orang yang sedang triping. Aku tahu, sesaat lagi pasti Teh Widya orgasme lagi. Aku makin mempercepat gerakanku, dan akhirnya..
"Uuaahh..!", kami berdua berteriak cukup keras.
Aku tekan dan aku dorong pinggulku sehingga kontolku benag-benar amblas ke memek nya. Kontolku berdenyut dengan sendirinya tak terkendali dan kempotan Teh Widyapun sangat terasa sekali. Kemaluan kami berdua berdenyut secara reflek dan tidak terkendali lagi. Spermaku tumpah ruah didalam memeknya disertai cairan hangat memek Teh Widya. Cairan puncak kenikmatan surgawi kami saling bertemu dan bercampur. Entah berapa lama tubuh kami berdua mengejang hebat. Ujung rambut sampai ujung kaki kami seraca mengeras dan mengejang. Sang bidadari mengangkat kepalanya sambil menyeringai dan berteriak. Aku menengadahkan kepalaku sambil menahan kenikmatan yang muncul.

Dengan sisa tenagaku yang penghabisan.., aku membungkukkan badanku dan kucium dia. Dia membalas ciumanku seadanya. Tapi dia sempat memberikan senyuman manisnya padaku. Aku ckeluarkan penisku dari lubang surganya. Tampak olehku penisku begitu basah dengan kepala yang sangat memerah. Kulihat juga betapa celah memek Teh Widya begitu basah dan aku perhatikan ada sedikit spermaku yang putih kental seperti mutiara itu menempel pada klitorisnya. Dengan tenagaku yang penghabisan aku angkat tubuhnya dan ku rebahkan di atas tempat tidur. Aku pun merebahkan tubuhku. Aku menarik selimut putih yang ada di dekatku. Ternyata Teh Widya masih mampu bergerak. Dia memelukku dengan senyuman kepuasan dan kebahagiaan.

Dia memelukku dan mengusap dadaku. Setelah bibir kami berciuman, Teh Widya kemudian meletakkan kepalanya di dadaku sambil tangan kirinya mengusap-usap dadaku. Tangan kiriku pun melingkari dan memeluknya. Kami berdua tersenyum..dan tak lama kemudian. Kami tertidur didalam selimut putih di kamarku. Kami terlalu lelah setelah melakukan perjalanan kesurga dan akhirnya kami pun mereguk puncak kenikmatan surgawi bersama. Aku pun heran.., dari mana datangnya pikiran itu.., aku mulai merasa tak akan bisa berpisah dari Teh Widya.. istri sepupuku, dan sesaat setelah itu aku dengar bisikan yang amat halus dan kecil dari bibir sang bidadari yang matanya sudah terpejam.., "Willy, I love you..!"

Buat para pembaca rumahseks khususnya para cewek yang ingin curhat atau bahkan selingkuh ditunggu emailnya.

TAMAT