The Angels

Seseorang mengetuk pintu ruang pribadiku. Ah, selalu saja begitu, kenapa mereka tidak datang di saat aku sedang senggang atau bosan menanti? Tapi, yah, itulah manusia, mereka selalu saja ceroboh dan tidak berusaha berhati-hati tentang apa yang bisa terjadi di masa depan, dan terus saja menganggap bahwa masa lalu adalah gambaran masa depan.
"Tunggu sebentar!" teriakku ketus sambil mengeringkan tubuhku yang baru saja kusegarkan dengan beberapa tetes air.
Ketukan itu terus saja terdengar.
"Iya, iya, lima menit lagi!" teriakku lagi, mencoba membuat orang itu mengerti.
Ketukan itu terus saja terdengar, membuatku tidak bisa berkonsentrasi mendandani diri di depan cermin di sudut ruang ini, dimana aku selalu melenggok mengagumi keindahanku. Keindahan yang tidak dimiliki manusia ataupun bidadari manapun.

Hmm, sejenak kuintip melalui lubang kecil di pintu ruang pribadiku, ah, ternyata seorang pria muda dua puluhan tahun. Aha, muncul rasa isengku. Sejenak aku berdiri di depan cermin untuk menampakkan wujud indah yang seringkali membuatku berdecak kagum sendiri. Tubuh indah semampai yang jangkung, sepasang betis ramping dan paha jenjang yang menyangga pinggul yang kencang, perut datar berbingkai pinggang langsing, dan hmm, sepasang dada indah berukuran sedang yang tampak membusung manis tersangga sepasang bahu tegak yang terjalin dengan leher jenjang. Wajahku? Hmm, wajah yang tidak mungkin mendapatkan penolakan dari pria manapun. Ketukan kembali terdengar, membuyarkan kekagumanku.

Pintu kubuka kencang, dan kulihat pemuda itu berdiri mematung di depannya. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak lusuh, celana jeans kumal, dan sepatu kets yang sudah tidak jelas warna aslinya. Meski cara berdandannya demikian buruk, wajahnya tampak bersih dan sorot matanya bersinar-sinar, walaupun terdapat garis kesedihan dan ketakutan di sana.
"Ayo masuk!" kataku mempersilakan.
Pria itu tidak menjawab, bahkan tidak melihat ke mataku, khas anak muda yang belum dewasa, belum tahu sopan santun. Ia hanya melangkahkan sepatu bututnya memasuki kamar pribadiku yang beralaskan karpet berwarna hitam pekat. Ia langsung melemparkan pantatnya di kursi malas empuk yang terhampar di tengah ruangan.

"Ini tidak adil!" pekiknya seperti kesetanan.
Aku tidak terlalu perduli, karena sebagian besar orang yang masuk ke ruang kerja pribadiku belakangan ini selalu mengatakan demikian. Dengan santai aku berdiri bersandar di dinding di hadapan pemuda itu, menatapnya, membiarkan bola matanya yang sejak tadi tertunduk itu bergerak ke arahku perlahan-lahan.
"Kenapa tidak adil?" tanyaku dengan nada datar.
"Ini bukan saatnya bagi saya!" bentaknya dengan nada protes.
Seberapapun kerasnya nada protes tadi, pandangannya yang tadi kaku dan kasar berangsur berubah melihat penampilan tubuh indahku yang hanya terbalut kain kelabu tipis, nyaris transparan.

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" tanyaku pelan, dengan mataku yang ujung-ujungnya menyudut ke atas ini tetap menatap tajam ke arah matanya.
"Masih ada yang harus saya selesaikan." jawabnya lagi, "Lagipula waktu saya masih jauh!"
"Apa yang harus kamu selesaikan?" tanyaku lagi, "dan seberapa pentingnya itu bagi orang lain?""Kalau saya sudah berada di sini sekarang, pacar saya dalam bahaya!" jawabnya, masih dengan nada tinggi.
"Oh?" jawabku sambil melangkah mendekat, "Hanya karena seorang kekasih?"
"Saya mohon, beri saya kesempatan sekali lagi, hanya sampai semua itu tuntas!" jawabnya lagi.
"Hm.. baik."
Aku menghela nafas panjang mengamati bentuk tubuh pria muda di hadapanku, "Dengan satu syarat kecil." "Apa itu?" tanyanya lagi, namun hanya itu kata-kata yang bisa keluar, karena ia segera terpana melihat ke arahku.

Aku melonggarkan ikatan kain tipis penutup tubuhku dan membiarkannya jatuh ke atas karpet hitam yang tebal di bawah kakiku. Kubiarkan mata pemuda itu kini tidak berkedip melihat ketelanjangan tubuh seorang bidadari di hadapannya, yang polos tanpa selembar benang, dengan rambut lurus yang panjang sepinggang terurai, dengan tubuh sempurna yang tidak pernah dilihatnya, dengan wajah oriental yang menatapnya sendu.
"Mampukah kamu memberi aku yang selama ini ingin kudapatkan, eh, anak muda?" tanyaku sambil berlutut di lantai membiarkan wajah kami berhadapan dekat sekali, "Bukankah kamu ahli sekali dalam hal itu?"
"D.. d.. darimana.. kamu tahu?" tanyanya tergagap setengah ketakutan.
"Sangat sulit mencari hal yang aku tidak tahu." jawabku mengingatkannya.
"Eh.. aa.. aku.." tidak sempat lagi ia melanjutkan kalimatnya, karena bibirku terlanjur mengunci bibirnya dengan sebuah ciuman yang erat dan dalam.

Kubiarkan hasrat mudanya bergejolak. Kubiarkan telapak tangan dan jemarinya dengan kasar mulai menjamah badan ini. Mengusap punggungku, pinggangku, lalu meremas sepasang pinggul indah ini. Mmm.. mataku makin meredup sayu, membuatnya segera menarik bibirnya dari bibirku dan mendorong tubuhku hingga telentang jatuh ke atas karpet. Ia melompat dari kursi malas itu dan menelungkup di atas tubuhku. Kupejamkan mata menikmati apa yang lama tidak kunikmati lagi. Ciuman dan jilatan liar bertubi-tubi menyapa kulit tubuhku. Jemarinya hinggap meremas-remas kedua buah dadaku, ujung-ujung kemerahan di atasnya juga tidak luput dari sayatan lidahnya yang bergerak cepat. Aku menggelinjang merasakan nikmatnya puting ini menerima keangatan lidahnya, membuat kedua tonjolan merah jambu itu kini mulai mengencang kaku. Nafas ini terasa makin berat ketika lidahnya tanpa berhenti menjentik-jentik di daerah itu.

"Ohhmm.. indah sekali.." rintihku lirih seraya terpejam-pejam.
Telapak tanganku mengusap-usap punggungnya, merengkuh, ingin sekali rasanya menyatukan seluruh raganya padaku. Sebentuk kabut hitam menyelimuti kami, namun hasrat pemuda itu tetap tidak terhenti. Jemarinya makin leluasa menelusuri seluruh tubuhku, memberikan sensasi luar biasa yang makin tidak tertahankan ketika tiba di pangkal pahaku.
"Ungghh.." aku mengerang panjang ketika jemari itu mulai menggosok pelan lipatan-lipatan lunak yang menggerbangi kemaluanku.
Kurasakan kehangatan bibirnya meninggalkan putik-putik yang telah mengencang di ujung-ujung buah dadaku, menjilat-jilat turun, membasahi pusarku dengan sentuhan lembabnya.

Dalam sekejap mata aku telah menelentang di atas kursi malas di tengah ruangan. Sedikit keheranan terbersit di mata pemuda itu, namun hasrat gejolak dalam dadanya lebih memaksanya untuk terus menjelajahi tiap senti dari tubuh ini. Kupejamkan mata, terasa seolah begitu banyak jemari membelai kulit badanku, menghangatkan tubuhku, lalu sebentuk benda besar dan tumpul melesak masuk, menyatu dengan tubuhku.
"Ohh.." terasa dengusan nafas pemuda itu di wajahku.
Mataku yang setengah terbuka sempat menatap wajahnya yang kini melotot memperhatikan setiap ekspresiku.
"Uhk.." terasa kemaluanku didesak ke dalam. Lalu tergesek pelahan ke arah luar.
"Ahgg.." kembali benda itu menusuk dalam-dalam.
Semua terasa begitu indah dan nikmat. Kubiarkan pemuda itu sepuas-puasnya menggigit dan mengulum kedua putik merah jambu di dadaku, sementara kedua buah dada ini tidak luput dari remasan-remasan gemasnya.

Seluruh ruangan dipenuhi aroma kewanitaan yang menjadi tuan rumahnya, sudut-sudut yang tadinya gelap, kini berhiaskan bunga berwarna-warni yang bermekaran. Di tengah padang rumput hijau itu tubuhku terlentang menyatu dengan tubuh seorang pemuda penuh gairah, yang dengan sekuat tenaganya berusaha memompakan kenikmatan pada tubuh telanjangku.
"Ohh.." perasaan yang luar biasa kembali hinggap ketika putik-putik di ujung dadaku kian tegang dilahapnya. Rasanya seperti ia mengulum seluruh tubuhku.
"Uhh.." kemaluanku terasa kewalahan menerima benturan dan gosokan hangat ini.
Terasa menggesek kian cepat.. kian cepat.. kian cepat. Kupejamkan mata, kudekap kepalanya, kubiarkan giginya menjepit, menggigit-gigit putik buah dadaku, mengalirkan rasa ngilu namun nikmat dan melemaskan.
"Ohh.." aku tidak mampu lagi menahannya.

"Aahh.." rintihan panjangku mengakhiri permainan cinta singkat itu.
Terasa kemaluanku tiba-tiba tersengat oleh panasnya lahar yang dimuntahkan tubuh pria itu, menambah indahnya kenikmatanku. Lalu semua sunyi. Tidak ada lagi padang rumput dengan bunga warna-warni bermekaran. Hanyalah sebuah ruang kerja pribadiku, dengan kursi malas panjang di tengahnya, dan tubuh pemuda itu, menelungkup di atasnya dengan nafas-nafas panjang kelelahan.

Sinar mentari pagi membangunkan Eric dari tidurnya. Mata pemuda itu berkejap-kejap menyesuaikan diri dengan silaunya suasana. Ia terbangun dan mendapati dirinya sedang duduk tersandar di sebuah dinding tinggi yang penuh dengan coret-coretan cat semprot. Ia bangkit berdiri.
"Lihat kemari, Eric!" sapa suaraku dari belakangnya.
Pemuda itu berbalik, "Oh.. kkamu.."
Ia tampak ragu dan tergagap melihat sosok wanita yang baru saja dihangatkannya, terbalut rapih oleh jas panjang berwarna kelabu.
"Iya, ini aku." jawabku lirih, "Yang baru terjadi bukan mimpi."
"Apakah saya mendapat kesempatan sekali lagi?" tanyanya, masih tergagap setengah tidak percaya.

Aku hanya mengangguk mantap. Setitik air mata tampak berlinang di bawah mata bulat Eric.
"Jangan buang waktu untuk menangis!" bentakku, "Aku mempertaruhkan namaku untuk ini semua!"
"Dengan siapa kamu mempertaruhkan nama?" tanyanya keheranan sambil menengok kiri-kanan, memastikan bahwa lorong sempit dan kumuh ini sepi tanpa ada orang lain.
"Dengan dia." jawabku menunjuk ke ujung lorong yang tidak tersentuh sinar mentari.
Dari balik kegelapan ujung lorong buntu itu, seorang pria kurus melangkah mendekat. Wajahnya pucat dan kurus seperti orang sakit, matanya merah dan menatap tajam ke arahku dan Eric.

Setelah berada begitu dekat dengan kami, terlihat makin jelas sosok kerempengnya terbalut kaos dan celana ketat berwarna hitam. Agak tidak cocok untuk penampilan wajahnya yang tampak setengah baya dengan rambut yang keperakan.
"Juru kunci, aku tersinggung dengan ulahmu!" bentaknya sambil menatap tajam ke arahku.
Eric tampak ketakutan dan tidak mengerti. Kehadiran pria ini memang memberikan atmosfir yang dingin dan mencekam di sepanjang lorong kumuh ini.
"Death, biarkan ia menyelesaikan tugasnya." jawabku tenang, "Akan kuberikan apa yang menjadi milikmu nanti."
"Baik!" jawab pria kurus itu, "Aku beri waktu sampai matahari terbit besok pagi."
Pria kurus itu lalu menengok ke arah Eric yang wajahnya mulai memucat ketakutan.

"A.. ampun pak.." Eric tergagap ketakutan ketika pria kurus itu mendekatkan wajah kusutnya ke wajah Eric.
"Ingat.." bisik pria kurus itu, "Sampai jumpa besok."
"Ss.. siapa bapak?" tanya Eric memberanikan diri.
Pria itu melangkah mundur, kembali ke gegelapan ujung lorong.
"Mereka memanggilku Death!" terdengar suara beratnya menggema di sepanjang lorong.
Lambat laun kaos dan celana ketatnya berbaur dengan bayang-bayang gelap, menyatu dan berubah rupa menjadi sebentuk jubah hitam pekat. Wajah kurusnya tadi berangsur berubah perlahan, membentuk wajah tengkorak manusia yang matanya tertutup oleh bayang-bayang kerudung hitamnya. Dari balik jubahnya, tampak sebuah tangan tulang belulang menggenggam sebentuk sabit besar. Untuk kemudian ia menghilang sama sekali.
Suasana kembali terang benderang, jeritan klakson mobil terdengar bersahutan di jalan besar di ujung lain lorong kumuh ini. Aku dan Eric berjalan meninggalkan kawasan itu.
"Siapa tadi itu?" tanya Eric padaku, sambil matanya tetap menunduk ke bawah.
"Death." jawabku singkat, "Aku berhutang satu nyawa padanya sampai besok pagi."
"Oh.. dia yang.." Eric ragu.
"Ya. Dia yang mengirimkanmu ke kamar kerjaku semalam." jawabku menjelaskan, "Dan mengembalikanmu ke sini sama saja dengan berhutang padanya."
"Eh.. terimakasih.. tapi kenapa?" terdengar nada bingung Eric lagi.
"Sebaiknya cepat selesaikan apa yang menurutmu belum selesai!" jawabku, "Waktumu terbatas!"
Sejenak langkah kami terhenti di depan etalase sebuah toko karena percakapan itu. Aku melirik ke kaca etalase itu, mengamati bayangan wajahku hingga Eric ikut melihat ke kaca. Ketika Eric menengok kembali ke arahku, ia tidak menemukan siapa-siapa lagi.

Cindy, gadis muda itu tampak gembira sekali bergoyang mengikuti irama house music di kamarnya. Rambutnya yang dicat kemerahan dengan lemasnya terurai-urai mengikuti gerakan kepalanya. Kaos pendek merah muda dan celana dalam yang melekat di tubuhnya jelas tidak mampu menyembunyikan lekuk liku indah tubuhnya. Di depan cermin riasnya ia berdiri sambil terus bergoyang. Tampak pinggulnya yang ramping itu bergoyang sensual, bahu-bahunya terangkat bergantian, sesekali leher jenjangnya menengadah ke atas sambil matanya setengah terpejam. Membuat pria manapun akan menggerakkan jakun, menelan liur menyaksikan gerak-geriknya. Tetapi memang tidak ada siapapun di kamar tidurnya. Kamar tidur yang dindingnya dipenuhi oleh poster-poster artis pria terkenal, dengan sebuah meja kerja berwarna putih penuh dengan tumpukan kertas-kertas kerja dan majalah-majalah mode. Di sisi meja belajar mungil itu tergolek sebuah keranjang sampah biru tua yang kontras dengan seisi ruangan yang bersih dan ceria. Di dalamnya, di antara tisu bekas dan sejumlah pembalut wanita itu teronggok beberapa lembar foto. Foto Cindy berpelukan mesra dengan seorang pemuda tampan.

"Cindy!" terdengar suara seorang wanita dari luar pintu kamar, namun tertelan oleh berisiknya dentuman house music.
Cindy terus bergoyang di depan cermin rias. Dengan fantasi yang melambai-lambai ke angkasa. Sampai seluruh keceriaannya terhenti ketika jari telunjuk ibunya menekan tombol stop di BoomBox CD Player di sudut kamar.
"Eh.. ada apa, Ma?" tanya Cindy dengan wajah agak jengkel.
"Udah mau kawin kok masih kayak anak kecil!" gerutu ibunya jengkel, "Ditunggu Neo tuh!"
"Kak Neo!" Cindy agak kaget, "Dia udah siap rupanya?"
Cindy segera meraih celana jeans yang tergantung di balik pintu, mengenakannya, dan berlari keluar kamar, meninggalkan ibunya yang menggelengkan kepala dan mengurut dada menyaksikan ulah anaknya.

Ibu setengah baya itu dengan ikhlas dan sukarelanya memunguti kertas-kertas dan majalah yang terserak di lantai kamar putri bungsunya. Sampai kemudian ketika ia hendak meletakkan segenggam tisu kotor ke tempat sampah, ia melihat beberapa lembar foto di situ. Kembali ibu itu menggelengkan kepala sambil mengurut dada. Mungkin sebuah penyesalan, bisa juga sebuah kekhawatiran. Khas seorang ibu.

"Ini bukan waktunya untuk kembali ke rumah atau menelpon teman-teman!" pikir Eric sambil mempercepat langkahnya.
Sepatu ketsnya yang sudah butut dipaksa bekerja keras mengantarkan pemiliknya. Sengatan panasnya matahari menyempurnakan penderitaan pemuda itu, ditambah dengan sesaknya udara oleh asap dari mobil yang lalu lalang di jalan raya itu. Pemuda itu sempat bingung mengingat apa yang baru terjadi semalam. Saat ia berkencan dengan kekasihnya tercinta, lalu dua orang pria tidak dikenal, mengacaukan kencan itu. Tergambar lagi dengan jelas saat kedua pria itu menghajarnya di sebuah lorong sempit hingga tidak berdaya, sampai muncul seseorang lagi, yang tidak begitu jelas terlihat wajahnya, menghampiri dan menyelesaikan semuanya dengan sabetan sebuah pipa besi ke kepala.

"Ah.." kekasihku dalam bahaya!
Pikiran itu terus berkecamuk di otaknya. Namun apa yang harus dilakukannya kini? Kemana ia harus mencari kekasihnya itu? Kalau menemukannya saja tidak mampu, bagaimana ia hendak menolong?
"Cobalah main ke rumahnya!" terdengar bisikan kecil di hati Eric. Ia segera melangkahkan kaki dengan cepat ke arah rumah kekasihnya.

"Apa maksudmu memberi tahu dia?" tanyaku pada seorang teman yang duduk di atap sebuah pencakar langit.
"Itu hakku untuk menolong atau menjerumuskan." jawab temanku itu.
"Memangnya, apa yang kamu harapkan?" tanyaku lagi.
"Hahahaha!" tawanya yang macho terdengar nyaring, "Aku hanya memberinya petunjuk kecil, selanjutnya terserah dia!"
"Itu justru akan membuatnya mengulangi kesalahan dan tidak menyelesaikan masalah!" jawabku membantah.
"Hmm.. bidadari kecilku!" sapanya lagi, "Kesalahan, dosa, dan kematian adalah urusanku!"
Aku terdiam menyadari kebenaran kata-katanya.

"Tapi kesalahan yang baru kamu lakukan.." terdengar lagi kata-katanya, "Itu murni kesalahanmu! Bukan karena aku."
"Aku kan ingin menolongnya!" jawabku keras-keras karena angin di atap pencakar langit itu bertiup makin kencang.
"Tidakkah kamu tahu kalau Death marah besar?" jawabnya lagi, dengan nada menjengkelkan.
"Itu urusannya sendiri!" jawabku, "Dia hanya menjalankan tugas. Untuk apa marah?"
"Oh?" jawab temanku lagi, "Apakah mengembalikan pria itu kemari adalah wewenangmu?"
"Ya!" jawabku lantang, "Memang aku jarang melakukannya, tapi aku tahu mana yang benar mana yang salah!"
"Hahaha..!" terdengar tawa panjang dari temanku lagi, "Selagi ada aku, mana mungkin kebenaran akan muncul?"

Setelah hening sejenak, terasa temanku itu berdiri begitu dekat di belakangku. Aku berbalik menatap wajahnya. Wajah yang sangat tampan dan rupawan. Dengan rambut panjang sebahu yang lurus tergerai dan poni pendek belah tengah agak menyembunyikan matanya yang tajam dan dingin. Jas panjang berwarna hitam yang dikenakannya agak berkibar-kibar tertiup angin kencang di puncak gedung pencakar langit ini.
"Demon.." ujarku menyebut panggilannya.
"Ya, bidadariku?" jawabnya lembut.
Sorot matanya yang dingin dan tajam itu terasa begitu menghanyutkan. Jiwaku serasa terbawa ke awang-awang. Terasa kedua tungkai ini tidak mampu menahan berat tubuhku, aku melangkah mundur dengan gontai, Demon melangkah mendekat. Tiba-tiba Demon merentangkan kedua tangannya ke atas, dan kancing-kancing pada jas panjangku tiba-tiba terbuka mengikuti gerakan tangannya.

"Ohh," entah mengapa kakiku terasa lemas dan aku terjatuh berlutut di hadapan Demon yang segera menangkap bahuku, membaringkanku telentang di atap itu, menindih tubuhku sambil menatap dalam.
"Uhh.."
Demon tampak begitu tampan di hadapanku kini. Hanya dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, seluruh tubuhku seperti mendapat jilatan dan belaian seribu lidah.
"Uhh.." leherku, punggungku, pahaku dan, "Ohh.." dadaku, semuanya terasa dibelai dan dicumbu lembut oleh lidah-lidah yang tidak terlihat.
"Aduhh.." aku menggelinjang-gelinjang seperti cacing kepanasan di atas atap gedung berlantai lima puluh itu.
Keringat dingin mulai membasahi tubuh ini.
"Uhh.." mataku terpejam-pejam dan keningku berkerut menahan kegelian dan birahi yang kini memenuhi pikiranku.

"Ohh.. Demonn.. kamu apakan akuuhh?" rintihku memelas.
"Nikmati saja bidadariku." suaranya yang mengejek itu terdengar begitu jantan dan merdu.
Aku makin mabuk kepayang mendapatkan perlakuan begini. Ribuan lidah ini terasa seperti membuat tubuhku dipanggang di atas api nafsu yang membara. Aku menggeliat-geliat tidak mampu bertahan. Kedua puting susuku terasa mengejang kencang, buah-buah dadaku seperti diolesi oleh lidah hangat yang menggairahkan, tengkuk ini seperti dijilat-jilat mesra oleh seorang kekasih.
"Ohh.."
Demon sengaja menyiksaku. Ia tidak memberikan satu sentuhan pun pada kemaluanku yang kini menggelegakkan madunya dan berdenyut meminta perhatian.
"Uhh.." aku begitu terangsang dan pasrah di hadapan Demon, namun ia tetap berdiri tegak melipat tangan di depan dada sambil menatapku dalam-dalam.
"Oughh.." akhirnya tanganku mengusap sendiri kemaluanku.
Kutekan, kugosok, dan kuusap-usap, mengimbangi kenikmatan dari ribuan lidah maya yang terus menjilati sekujur badanku. Karena tidak lagi sabar, jari tengahku menyusup masuk, menyempurnakan kenikmatan ini. Demon mengerdipkan matanya, dan tanpa mampu kukendalikan, tiba-tiba hentakan keras menyambar tubuhku. Hentakan puncak kenikmatan yang membuatku kehabisan seluruh tenaga.

Hingga kini aku hanya bisa terkapar terengah-engah dengan tubuh penuh peluh. Menatap lemah Demon yang berjalan mendekat. Tampak ujung sepatu larsnya berada begitu dekat dengan wajahku kini.
"Hahaha.., Bidadariku!" uh, suaranya kembali menjengkelkan, "Kini tahukah kamu kalau tak ada yang mampu menahan godaanku? Godaan Iblis?"
"Ohh.." aku tidak mampu menjawab karena masih terbuai kenikmatan semu yang baru saja menyambarku.
"Hahaha.." terdengar tawa Demon lagi, panjang dan menggema.
Dengan mataku yang sayu dan pandangan yang kabur, kulihat Demon merentangkan tangannya sekali lagi, jas panjangnya yang hitam kini tampak mengetat, menampilkan sosok tubuhnya yang terbalut tonjolan otot liat. Wajah tampannya yang begitu dingin kini tampak menyeringai kejam menunjukkan sepasang taring panjang yang berkilau, dan sepasang tanduk kembali tampak menghiasi pelipis-pelipisnya.
"Uhh.." bentuk aslinya. Namun aku tidak mampu lagi melihat kelanjutannya, karena ia keburu menghilang. Meninggalkanku tergeletak terengah-engah di atas atap pencakar langit itu, dengan jas panjang kelabu kembali menutupi tubuhku.

Sebuah Beamer seri 5 berwarna merah metalik terparkir rapih di pinggir jalan sepi. Sebuah pohon kayu tua melindunginya dari terik matahari siang dengan bayangan dedaunannya yang agak rimbun. Kaca berlapis V-Cool menyulitkan orang untuk melihat ke dalam, meski dari mesin yang menyala dapat dipastikan ada orang di dalamnya.
"Berikan aku informasi terakhir dong." ujar Cindy pada seorang pria yang duduk di belakang kemudi.
"Ahh, Cindy.." jawab pria muda bertampang perlente itu, "Sebentar lagi semua akan beres!"
"Beres gimana kak? Yang detail dong!" desak Cindy sambil menyandarkan kepala pada bahu Neo, pemuda berambut cepak, berkulit putih yang tampak tidak sabar mengetuk-ngetukkan jari di roda kemudi.

"Dreampatcher Inc. akan segera diserah terimakan ke aku." jawab Neo, "Tentunya setelah rencana siang ini dijalankan dengan sempurna oleh teman-teman."
"Semudah itukah?" tanya Cindy lagi.
Jemarinya yang lentik bermain di pangkal paha Neo yang terbungkus celana jeans hitam.
"Ya!" jawab Neo dengan girang, "Sejak pengganggu utama disingkirkan, semuanya begitu mudah."
"Pengganggu utama?" tanya Cindy ragu, "Maksud kamu..?"
"Tunanganmu itu." jawab Neo ketus namun ringan, "Hidungnya selalu mengendus semua rencana kita."
"Oh, si Eric?" bisik Cindy di telinga Neo, "Dia sih sok hati-hati aja, Neo."

Tangan Neo menggenggam tangan Cindy yang masih meremas-remas tonjolan di tengah selangkangnya dan mencium punggung tangan gadis itu. Cindy tersenyum renyah sambil menikmati kecupan itu.
"Yah, mungkin aja," ujar Neo meletakkan telapak tangan Cindy kembali ke tempatnya semula, "Tapi teman-teman sudah meyakinkan kalau dia ngga akan ganggu kita lagi."
Terdengar tawa cekikikan kedua kakak beradik itu, untuk beberapa saat kemudian berganti dengan erangan-erangan lirih. Cindy menidurkan sandaran joknya, membiarkan Neo dengan rakus menjalankan lidah menelusuri leher halusnya. Jemari Neo menyibakkan rambut Cindy yang kemerahan dan menggelitik telinga gadis itu dengan lidahnya. Cindy hanya sedikit meronta sambil bergaya malu-malu. Perut langsingnya yang mengintip melalui celah di bawah kaos pendeknya terasa hangat ketika lidah Neo mulai bermain di sana. Lebih hangat dan nyaman lagi ketika kaos itu perlahan tersingkap ke atas. Ke atas lagi. Ke atas lagi. Hingga kini Neo dapat melihat sepasang bukit kembar yang putih mulus dengan lingkaran kecoklatan di puncaknya, juga tonjolan kecil yang begitu menantang menghinggapi kedua lingkaran itu.

"Hm.. indah sekali," bisik Neo, "Inilah yang dibanggakan Eric selama ini, rupanya."
"Hihihi." Cindy tertawa geli mendengar pujian Neo, "Seperti perusahaan papa, ini semua akan jadi milik kamu."
"Apa maksudmu akan, eh?" goda Neo sambil mencolek putik coklat yang kanan.
"Ihh, geli dong, Neo!" Cindy memekik kecil.
Pekikan kecil itu kembali terdengar beberapa kali sebelum akhirnya berubah menjadi desahan-desahan panjang yang terdengar memelas saat Neo meletakkan putik mungil itu di antara kedua bibirnya dan mulai melumat-lumat ringan.
Cindy tampak pasrah saja, terdiam di jok itu sambil memejamkan mata menikmati nikmat dan gelinya aliran listrik yang mengalir lewat putik-putik di puncak buah dadanya. Sesekali ia mengerang, sesekali ia mendesah, sesekali juga ia mengaduh kecil ketika Neo dengan nakal menggigit kedua putik yang kini tengah mengencang dan berkilau oleh liur pria itu. Lidah dan bibir Neo terus membelai-belai kedua putik yang kini berwarna kemerahan itu, sementara Cindy sudah mulai menggelinjang-gelinjang gelisah. Wajah cantiknya tampak bersemu merah di pipi, matanya menyipit menahan nikmat, dan bibirnya sesekali ternganga lebar tanpa suara selain desah tertahan.

"Ahh.. Neoo.." erangan Cindy kembali terdengar, "Cepetan dongghh.."
Neo tidak menjawab. Ia hanya menyelipkan jarinya lewat jeans Cindy yang telah terbuka kancing dan resletingnya. Jemari itu menemukan sasarannya, tepat di tengah celana dalam merah jambu yang dikenakan Cindy, lalu segera menekan-nekan dan menggosok-gosok lembut. Membuat rintih erangan Cindy makin terdengar menyayat dan ujung jari Neo kini merasakan kain celana dalam itu seperti dibasahi oleh sesuatu. Baru saja jari Neo menyelip lewat samping celana dalam untuk kemudian menyusup masuk ke sebuah liang yang telah becek, sebuah mobil Van berwarna gelap menderitkan remnya tepat di depan Beamer merah itu.
"Ah, sial!" gerutu Neo karena kegiatannya terganggu.
Cindy segera bangkit dan mengancingkan celana jeansnya dengan terburu-buru.

"Kamu gagal kali ini?" aku mengejek Demon yang sedang bertengger santai di dahan pohon di atas kedua mobil itu.
"Hihihi.." Demon tertawa kecil, "Amarah pemuda itu, meski hanya sesaat, terasa begitu menggairahkan."
"Lebih menggairahkan dari nafsu dan gairah mereka berdua?" tanyaku ringan, sambil mengamati ke bawah.
"Tentu saja!" jawab Demon tegas, "Dalam dada pria itu ada sesuatu yang kubenci."
"Apa itu?" tanyaku singkat tanpa melihat ke arah wajah tampan Demon.
"Cinta!" jawab Demon sinis.
Ia lalu menghilang dari pandanganku. Meninggalkanku sendirian di atas dahan pohon ini, melihat ke bawah, dimana para manusia itu sedang menjalankan perannya masing-masing di panggung sandiwara mereka yang fana.

Sejenak kemudian, di sampingku terlihat sekelebat bayangan. Bayangan hitam yang berkelebat cepat untuk kemudian berhenti di dahan yang kuhinggapi, di antara bayangan itu, tampak sesuatu berkilau, yang ternyata sebuah sabit panjang. Sebentuk wajah mengerikan dan dingin tersenyum menyapaku.
"Hey, apa kabar?" tanya wajah itu dengan nada bersahabat.
"Death?" sapaku membalasnya, "Baik saja, thanks. Darimana kamu?"
"Dari pusat kota, barusan ada kerjaan di sana," ujar Death lagi, "Eh.. Maafkan aku tadi pagi marah-marah, aku hanya menjalankan tugas."
"Aku tahu." jawabku penuh pengertian, "Dan sekarang aku masih berhutang padamu."
"Yap!" jawab Death tegas, "Hutang tetaplah hutang, tapi jangan sampai persahabatan ini hancur gara-gara itu."
"Death.." aku tersenyum menatap sepasang lubang mata pada wajah tengkoraknya, "Lembut sekali perasaanmu."
"Eits! Jangan samakan aku dengan mereka yang di bawah situ!" ujarnya, "Kita kan lain!"
"Hahaha, kamu benar!" jawabku sambil menepuk punggungnya yang terselimuti jubah hitam kumalnya.
"Ok, Angel, aku turun dulu yah!" seru Death sambil jari-jari belulangnya mencolek daguku, "Ada tugas di bawah situ!"
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Ooh, Cindy sedang keluar dengan kakaknya, Ric." jawab ibu Cindy sambil membukakan gembok yang mengunci pintu pagar.
"Eh? Sudah berapa lama, tante?" tanya Eric yang wajahnya tampak tegang.
"Wah, udah lama tuh!" jawab si ibu, "Masuk dulu yuk? Ada yang ingin tante bicarakan sama kamu."
"Ehmm.." Eric tampak ragu-ragu, "Maaf tante, Eric lagi buru-buru, besok aja yah?"
"Oh, boleh." jawab ibu itu ikut tergugup, "Mampir aja ke sini lagi besok."
Eric mengangguk dan berpamitan pada ibu itu, sambil berpikir bahwa apakah akan ada kesempatan baginya besok untuk berkunjung ke rumah itu lagi?

Di trotoar jalan raya, Eric melangkahkan kaki dengan penuh keraguan. Matanya menunduk lesu ke bawah, menatap garis-garis trotoar bergerak mundur seiring langkahnya ke depan. Deru mobil dan motor yang lalu lalang di sampingnya seperti tidak terdengar, terik matahari yang sedikit condong ke barat pun tidak terasa membakar ubun-ubunnya. Ia hanya terdiam menghentikan langkahnya ketika sebuah mobil ambulans dengan sirene mengiang-ngiang kencang meluncur cepat di jalanan di sampingnya. Seperti yang ditakutkannya, ambulans itu berhenti tidak jauh dari situ, di depan sebuah gedung perkantoran dengan papan nama di atasnya bertuliskan Dreampatcher Inc.. Semula Eric hanya tercekat di tempatnya berdiri, namun ia segera tersadar dan mengambil tindakan cepat.

Tanpa mempedulikan dua mobil yang hampir menabraknya, ia berlari menyeberangi jalan menuju ke gedung perkantoran tempat ambulans tadi berhenti.
"Ada apa, pak?" tanya Eric pada seorang satpam di pintu masuk gedung perkantoran itu.
"Eric!" jawab Satpam itu agak tergopoh namun lega, "Anu.. ngg.. bapak udah ngga ada."
Jawaban itu seperti petir menyambar tubuh atletis Eric. Tanpa mempedulikan kerumunan orang ia menyerbu masuk ke dalam gedung. Ditabraknya beberapa orang yang menghalangi jalannya menuju ruang tangga darurat. Ia tahu kalau tidak mungkin menggunakan lift untuk mencapai lantai tiga dengan cepat. Nafasnya memburu ketika langkahnya terdengar menggema di ruang sempit tempat tangga putar itu berada. Dengan terengah-engah, ia tiba di tujuannya, lantai tiga.

Ia hanya bisa berdiri terpaku di ujung koridor. Menyaksikan sejumlah staf rumah sakit mendorong sebuah ranjang beroda dengan sesuatu di atasnya. Sesuatu yang diselimuti rapat oleh kain putih bergaris abu-abu yang agak ke ujungnya dinodai oleh secercah noda merah. Dilihatnya para petugas itu tidak tampak terlalu terburu-buru, pertanda tidak diperlukannya pertolongan pertama yang terlambat. Sejumlah orang berpakaian kerja melirik ke arahnya dengan pandangan penuh simpati. Seorang wanita muda dengan busana wanita karir tampak melangkah menghampirinya.
"Eric.." seru wanita muda itu dengan mata sembab seperti baru saja berhenti menangis.
"Mbak Sari.." ujar Eric menatap wajah wanita itu, "Aa.. ada apa? Sss.. siapa yang..?"
"Pak Wiro.." wanita itu agak ragu, "..bunuh diri."
"Bunuh diri?" tanya Eric setengah tidak percaya dengan mata berkaca-kaca, "Ngga mungkin!"

Wanita itu tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk lirih, "Aku yang menemukan dia dengan laras pistol tuanya dalam mulut.." tidak terdengar lagi kata-kata wanita itu karena kembali terisak.
Eric tidak lagi mempedulikan wanita itu, ia berlari menghambur masuk ke kamar kerja calon mertuanya, dimana ia menjumpai dua orang berambut cepak, berkumis tipis mengenakan kemeja putih sedang berdiri melihat-lihat sekeliling.
"Eh.. maaf." seru Eric terkejut karena tidak mengharapkan ada orang lain di situ.
"Anda putera Pak Wiro?" tanya salah satu pria rapih itu.
Eric mengangguk cepat setelah kedua pria itu menunjukkan lencana kepolisian dari dompet mereka.
"Maaf, dik." ujar salah satu pria itu lagi, "Apa adik bersedia ditanyai sebentar?"
"Tidak.." jawab Eric singkat, "Mungkin tidak sekarang, pak. Maaf."

Mengkahiri kalimatnya, Eric bergegas berlari keluar meninggalkan kamar kerja pribadi calon mertuanya itu. Di koridor ia bertemu dengan wanita yang tadi berbicara dengannya.
"Mbak Sari." ujar Eric terburu.
"Iya, Ric?"
"Aku pinjam handphonenya sebentar yah, sehari aja."
Melihat sikap terburu Eric, wanita itu menyerahkan T-28nya begitu saja, untuk kemudian memandang punggung Eric yang telah bergegas berlari menuju tangga darurat.

Dari atas sini semua terlihat jelas. Terlihat jelas sekali bagaimana dua orang pria berbadan kekar dengan dandanan rapih turun dari mobil Van hitam, bagaimana mereka menghampiri Cindy dan Neo yang keluar dari Beamer merah, dan terlihat juga dengan jelas kedua temanku. Demon dengan senyum dingin menatap agak jauh dari situ, mulutnya berkomat-kamit membisikkan sesuatu pada kedua pria kekar itu. Terlihat juga Death tampak sabar menunggu, dengan kedua tangan belulangnya menggenggam tangkai sabit panjangnya yang siap terayun. Terlihat salah satu dari pria kekar itu berbicara dengan Neo dan Cindy, sementara yang satu lagi mengendap-endap di belakang Neo, lalu memukulkan sebuah batu ke kepala Neo berkali-kali hingga pemuda itu tersungkur bersimbah darah ketika Death mengayunkan sabitnya. Tampak temanku itu kembali melayang ke atas menghampiriku sambil membopong jiwa Neo.

"Udah nih." seru Death menyapaku yang sedari tadi hanya diam menonton, "Gimana yang satu ini?"
"Yang itu ngga usah dilewatin kamarku, langsung aja suruh jalan terus!" jawabku tanpa banyak pertimbangan.
"Beres, Boss!" jawab Death menggoda, "Inget besok pagi, lho! Daag!"
Aku melambaikan tangan membalas lambaian Death, hm.. di balik tampilannya yang angker itu, ia sebenarnya berhati lembut dan paling loyal dengan tugasnya. Senang sekali bekerja sama dengannya sekian lama. Kembali aku menatap ke bawah, melihat bagaimana Cindy meronta-ronta menjerit-jerit ketika salah satu pria kekar itu memegangi tangannya, sementara yang satu lagi melucuti pakaiannya. Tampak tubuh mulus Cindy kini menjadi bulan-bulanan kedua pria itu.

Kulirik agak jauh, tampak Demon sedang meniup-niupkan hawa nafsu berlebihan ke arah dua pria itu. Lalu senyum dinginnya kembali muncul sambil melirik ke atas, ke arahku. Aku tersenyum membalas senyumannya, duh, sebenarnya ia begitu tampan dan kharismatis, pantas saja tidak ada yang mampu menahan godaannya. Kalau aku saja tidak mampu, apalagi manusia-manusia malang itu. Sebenarnya ingin sekali aku menonton kejadian lanjutannya, siapa tahu muncul kejadian yang bisa kujadikan bahan pertimbangan untuk memutuskan apakah Eric harus kembali naik ataukah tidak, kalau pun seandainya tidak, aku harus segera menyiapkan penggantinya untuk melunasi hutangku pada Death. Namun aku mendengar ketukan pintu di kamar kerja pribadiku jauh di atas sana, hmm.. mungkin jiwa yang barusan diambil Death dari pusat kota sudah sampai. Aku segera meninggalkan adegan menarik itu dan kembali ke kamar kerjaku untuk meladeni tamu baru.

"Halo, Eric?" terdengar suara wanita di T-28 dalam genggaman Eric.
"Iya, darimana ini?" tanya Eric seraya menghentikan laju Cielo biru yang ditungganginya.
"Ini Sari." jawab suara di ujung sana, "Aku sekarang di rumah sakit kota."
"Oh.." Eric sedikit ragu, "Mbak Sari tolong urus Papa deh, aku nyusul sebentar lagi."
"Bukan Papa, Ric!" seru suara di ujung sana lagi, "Aku ngeliat pacar kamu masuk UGD!"
"Hah? Cindy?" jawab Eric, bertanya setengah membentak.
"Mendingan kamu cepat ke sini deh, Ric." jawab suara itu lagi, "Kayaknya gawat nih."
Dengan suara berderit kencang, Cielo biru itu memutar berbalik arah, lalu segera melesat pergi menuju rumah sakit kota.

Berbagai perasaan bercampur baur di kepala Eric, membuatnya semakin bingung. Mbak Sari, asisten pribadi calon mertuanya adalah orang yang teliti dan dapat dipercaya, jadi tidak mungkin ia keliru atau berbohong. Lagipula untuk apa ia berbohong dalam kondisi seperti ini. Secercah dendam mulai membara dalam pikirannya. Terlintas di wajahnya orang yang paling dibencinya selama ini, kakak kekasihnya. Sejak awal kencannya dengan Cindy, Eric sudah sangat membenci Neo. Pria genit itu selalu saja memanfaatkan posisi ayahnya untuk kepentingan yang tidak baik. Seringkali pula Neo menghabiskan separuh pendapatan perusahaan di meja judi. Untung saja kekayaan sang ayah masih sanggup menutupi semua pengeluaran sia-sia itu.

Pikiran Eric melayang pada saat dimana si calon mertua bermaksud menuliskan namanya pada pewaris tunggal Dreampatcher Inc., perusahaan besar itu, yang segera ditolaknya karena merasa tidak mampu. Teringat pula bagaimana Cindy, tunangannya, memohon-mohon agar Eric menerima tawaran itu.
"Eric, mau hidup seperti apa kalau kita udah berkeluarga nanti?" tanya Cindy waktu itu.
"Kita masih bisa hidup kok, yang." jawab Eric, "Lagian aku lebih senang mencari jalanku sendiri daripada dapat warisan."
"Lantas siapa yang melanjutkan usaha papa?" tanya Cindy lagi.
"Kan ada Neo, Cyn." jawab Eric waktu itu.

"Uhh.." dendam Eric kembali membara.
Bukankah Pak Hadi sudah mewariskan perusahaannya pada Neo, untuk apa ia harus tega berusaha menyingkirkan adiknya sendiri? Apakah menyuruh orang untuk menghabisi ayah kandung masih belum cukup tercela untuk dilakukan? Pikiran Eric teraduk-aduk oleh dendam dan benci pada orang yang akan menjadi kakak iparnya itu. Dalam pikirannya, pasti Neo sumber segala petaka yang menimpa Pak Hadi dan Cindy. Pasti Neo yang mendalangi kematian Pak Hadi agar ia segera dapat mendapatkan perusahaan itu untuk menutup hutangnya di meja judi, pasti Neo juga yang berusaha menyingkirkan Cindy agar ia dapat menguasai seluruh kekayaan sang ayah sendirian.

Sejenak terlintas di ingatan Eric, "Apakah kira-kira Neo juga yang telah menghabisinya tadi malam, sampai akhirnya ia tertolong oleh kebaikan hati si penjaga gerbang akhirat. Apakah malam itu juga Neo telah mencoba menghabisi Cindy hingga sekarang harus berada di UGD? Ah.. tapi bukankah tadi Bu Hadi bersikap bahwa Cindy baik-baik saja, dan mengatakan bahwa Cindy sedang pergi dengan kakaknya? Berarti Cindy tidak lecet sedikit pun saat pembunuh-pembunuh itu menyerang kami." pikir Eric.
"Bagaimana bisa Cindy baru masuk rumah sakit siang ini? Ah, tentu Neo telah memerintahkan begundal-begundalnya untuk menghabisi Cindy ketika ia mengajak Cindy pergi!" tuduh Eric dalam hatinya yang telah dipenuhi dendam.

Aku sudah kembali dari tugasku di kamar kerja. Kini aku berdiri bersandar di dinding koridor rumah sakit, mengamati situasi sambil menunggu Eric tiba. Tampak di depanku seorang wanita muda sedang menenangkan seorang wanita tua yang menangis sejadi-jadinya. Hm..tentu istri pria yang barusaja menjadi tamuku, seorang pengusaha sukses yang menceritakan padaku bagaimana ia membangun imperium bisnisnya puluhan tahun untuk kemudian harus mewariskannya pada anak laki-laki yang menurutnya tidak becus dalam bisnis. Bahkan menurut pengusaha itu, anaknyalah yang menyuruh orang untuk menghabisi dirinya, lalu membuat setting seolah-olah ia tewas bunuh diri. Ah, urusan manusia memang seperti itu terus dari waktu ke waktu. Tidak banyak dari mereka yang menyadari bahwa semua itu fana dan tidak bisa menjadi bekal bagi kehidupan abadi mereka kelak. Sambil menunggu kedatangan Eric, aku menatap kedua wanita di hadapanku, yang sama-sama berlinangan air mata. Mengherankan, betapa mereka yang sebenarnya tidak terpengaruh oleh perginya seorang pria harus rela membuang waktu begitu banyak untuk meneteskan air mata.

"Bukankah semua orang juga harus mengalami kematian?" pikirku, "Ah.. logika manusia mana mungkin memiliki visi demikian jauh sampai ke kehidupan abadi nanti? Ah, ini dia Eric datang."
Tampak Eric memeluk wanita tua yang menangis tadi, berusaha menenangkan. Setelah ibu itu tenang, Eric berbicara sebentar dengan wanita yang muda, lalu bergegas melangkah ke bagian lain rumah sakit. Dengan langkah ringan aku mengikuti kemana ia pergi.
Beberapa pasang mata seperti menatapku dengan penuh keheranan, "Hm.. apakah kira-kira mereka bisa merasa kalau aku lain dengan mereka? Hihihi, paling-paling mereka hanya terkesima menatap kesempurnaan bentuk fisik yang kupakai ini. Dasar manusia!"Hm, rupanya para dokter tidak mengijinkan Eric masuk ke ruang perawatan intensif untuk menjumpai kekasihnya. Ah, apakah Eric terlambat menyelamatkan kekasihnya itu? Bagaimana pula jika ia tahu bahwa kekasih yang dicintainya itu ternyata main gila dengan kakaknya sendiri?

"Hah? Neo juga.." tanya Eric setengah membentak pada petugas rumah sakit.
"Ya, pak." jawab petugas itu, "Putera sulung Pak Hadi ditemukan tewas terbunuh di pinggir kota bersama adiknya ini."
"Gila.." Eric lalu meninggalkan petugas itu.
Pemuda atletis itu lalu menghempaskan tubuhnya di atas kursi panjang di ruang tunggu. Sengaja agak memisahkan diri dari calon ibu mertuanya yang masih menangis histeris karena baru saja kehilangan suami dan anak sekaligus dengan cara yang mengenaskan, sementara anak bungsunya harus terkapar di unit perawatan intensif karena menjadi korban perkosaan brutal. Wanita muda asisten Pak Hadi dengan sabar berusaha menenangkan ibu yang malang itu, meski usahanya agak jauh dari keberhasilan.

Seorang wanita berambut pendek duduk di samping Eric yang menyandarkan kepala di dinding sambil menutup mata karena stress dan bingung. Wanita berjaket kelabu itu hanya duduk tanpa berkata apa-apa, diam menatap Eric, sampai akhirnya Eric membuka mata dan agak terkejut melihatnya.
"Kamu rupanya." kata Eric dengan nada tanpa semangat.
"Ya." jawabku, "Bagaimana kamu ingin kelanjutannya terjadi?"
Eric terdiam seribu bahasa sambil terus memejamkan mata dan menunduk ke lantai. Ingin aku membelai rambutnya untuk menenangkan, namun kuurungkan niatku.
"Sepertinya.. memang seharusnya semalam itu waktu saya." Gumam Eric tanpa melihat kepadaku.
"Mungkin juga iya, mungkin juga tidak." jawabku diplomatis sekaligus ingin menenangkannya.
"Kamu kan masih punya harapan lain dalam hidup, Ric." lanjutku memberi semangat.
"Setelah apa yang terjadi ini.. saya bisa apa?" bantah Eric putus asa.

Aku tidak ingin berdebat dengannya, jadi aku diam saja mengamati ruangan. Sampai di ujung koridor ruang tunggu rumah sakit ini, tampak seorang pria kurus berpakaian hitam-hitam melangkah masuk.
"Dd.. dia.." pekik Eric tiba-tiba sambil tergagap, rupanya ia juga melihat pria kurus itu melangkah masuk.
"Tolong, mbak.." Eric memohon sambil memegangi lenganku, "Bilang padanya agar tidak mengambil Cindy.., tolong."
"Aku tidak bisa mencegah dia menjalankan tugasnya, Ric." jawabku.
"Tolong, mbak.. kalau ia mengambil nyawa Cindy.. untuk apa saya kembali kemari? Please, mbak.." Eric terus memohon.
"Itu bukan hakku, Ric." jawabku lagi, "Kalau toh bisa, aku harus menunggu Cindy masuk ke kamar pribadiku dulu untuk menceritakan semuanya, baru aku mengambil keputusan buatnya."

Death yang terkemas dalam samaran pria kurus itu berhenti di hadapan kami. Wajahnya yang pucat tampak dingin tanpa ekpresi. Sejenak ia menatap ke arahku, lalu mengalihkan pandangan ke Eric, yang langsung memohon padanya.
"Pak.. tolong jangan ambil Cindy.." Eric memohon, "Tolonglah bapak.."
Aku bangkit berdiri karena tidak tega. Bukannya aku tidak tega melihat Eric yang memohon dengan begitu memelas. Aku hanya tidak tega melihat Death harus mengambil keputusan untuk tetap menjalankan tugas meski kadang perasaannya teriris oleh tangisan, atau permohonan seperti yang dilakukan Eric saat ini.

Aku berjalan-jalan mengitari ruang tunggu rumah sakit itu, sampai akhirnya sebuah hawa aneh terasa memancar dari pintu masuk. Hawa yang dingin, jahat, dan mencekam. Orang-orang lain yang menanti di ruangan itu juga dapat merasakannya, mereka menengok ke arah pintu. Dimana di situ berdiri seorang pria muda jangkung berambut lurus panjang sebahu yang berwajah amat tampan dengan sepasang alis tebal dan mata tajam yang menyorotkan kesan dingin namun mempesona.
"Demon!" pikirku dalam hati, "Untuk apa ia memperlihatkan diri?"

Demon melangkah masuk ke ruang tunggu. Hak Sepatu lars-nya yang hitam berkilat menimbulkan suara ritmik yang agak menggema di ruangan yang tiba-tiba sepi tanpa suara itu. Semua pengunjung menatapnya lekat penuh keheranan dan kegelisahan. Sempat ia tiba-tiba menengokkan kepala menatap salah satu perawat wanita yang langsung menunduk tersipu, namun ia terus melangkah mendekat ke tempat duduk kami.
"Apa kamu sudah siap?" tanyanya setengah berbisik pada Death yang masih berdiri di tempatnya karena lututnya dipeluk oleh Eric yang memohon-mohon.
Death mengangguk dan melepaskan dekapan Eric pada kakinya. Eric hanya diam menatap kedua sosok pria misterius di hadapannya. Aku memegang tangan Eric untuk menenangkannya. Kedua temanku itu beranjak pergi menuju ke ruang perawatan intensif. Dengan rasa ingin tahu yang besar aku mengikuti keduanya.

Pintu ruang perawatan intensif yang tertutup rapat tidak terlalu dihiraukan oleh Demon. Ia melangkah masuk diikuti oleh Death dan aku di belakangnya. Sejumlah dokter dan perawat yang sedang mengurus Cindy tampak terkejut menyaksikan kedatangan kami bertiga. Demon membisikkan sesuatu. Dengan segera para perawat dan dokter itu berpelukan dan tanpa malu-malu segera saling menjamah tubuh satu sama lain dengan penuh birahi. Aku menutup pintu ruangan agar ulah para dokter dan perawat itu tidak terlihat memalukan dari luar. Kini suasana dalam ruangan itu terasa sunyi dan mencekam diiringi rintih erangan para perawat yang sedang bercinta dengan para dokter di sudut-sudut. Demon tidak mempedulikan keadaan yang sebenarnya tampak begitu menggairahkan sekaligus menjijikkan bagi banyak orang, ia menatap tubuh Cindy yang tergolek tidak bergerak di ranjang perawatan.

"Bangunlah!" bisik Demon sambil menjentikkan jarinya di dekat Cindy.
Dalam sekejap tubuh Cindy yang tadi tampak tidak sehat dan dipenuhi luka lebam tampak kembali normal seperti aslinya, kedua mata bulat gadis itu berkedip-kedip.
"Oh.. anda datang yang mulia.." seru Cindy dengan suara agak lemah pada Demon.
"Aku datang untuk menagih janjimu." jawab Demon dengan nada tegas.
Aku dan Death hanya berdiri diam menyaksikan percakapan mereka.
"Eh.." Cindy tampak bingung, "Apa.. masih kurang?"
"Ya," tukas Demon dingin, "Lihat ke sana."
Sambil tetap menatap pada Cindy, Demon menunjuk ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka, tampak Eric yang rupanya sedang mendengarkan apa yang terjadi dalam ruang perawatan ini.

"Hah?" Cindy tampak terperanjat, "Ee.. Eric..kamu masih hidup?"
Eric yang tidak kalah terkejutnya menghambur masuk dan berusaha memeluk Cindy.
"Cindy.. kamu baik-baik?" ujar Eric dengan nada penuh kasih sayang.
Tampak wajah Demon mengerenyit karena nada yang penuh kasih sayang itu membuatnya jengkel. Cindy menjauh menolak pelukan Eric lalu berbalik menghadap Demon.
"Tidak mungkin, yang mulia!" sergah Cindy dengan nada marah pada Demon, "Saya sendiri yang telah menghabisi dia!"
Mendadak air muka Eric yang tadinya tampak bahagia itu berubah. Mulutnya bergerak-gerak seperti menyebutkan nama Cindy, namun tidak ada suara yang keluar dari situ. Aku melirik ke arah Death yang diam mengangkat bahu.
"Hahaha..!" terdengar tawa dingin Demon, ia mengalihkan pandangan pada Eric yang tampak keheranan sekaligus kecewa itu.
"Eric?" tanya Demon pada pemuda itu, "Masihkah perasaan cinta di hatimu itu perlu ada?"
"Tidak adil!" seru Cindy memotong kalimat Demon, "Saya sudah mengorbankan banyak hal untuk ini semua!"

Suasana di ruang perawatan itu terasa hening dan tegang. Rintih erangan para perawat dan dokter yang asyik masyuk bercinta di sudut-sudut tidak mampu mencairkan bekunya suasana. Suasana hati Eric yang kini dipenuhi keraguan terasa sampai ke seluruh ruangan. Tatapan dingin Demon tampak tajam mengarah pada Eric, namun ia tidak membisikkan apa-apa, ia tidak berusaha mempengaruhi Eric dengan bisikan iblisnya, membiarkan pemuda itu berpikir sesuai kodratnya sebagai manusia. Death tampak bersiap-siap dengan sabit panjang yang tiba-tiba sudah berada dalam gengamannya. Kebencian juga tampak begitu membara di wajah Cindy.
"Aku sudah kehilangan kakak, ayah, dan tunanganku!" seru Cindy emosional, "Juga merelakan tubuhku disakiti begundal-begundal itu! Apakah itu masih kurang?" ia terus berteriak-teriak menuntut keadilan dari Demon.
"Hahaha!" Demon tertawa renyah, "Seharusnya kamu memilih orang yang lebih tepat untuk memohon, manis!"
Demon menengadahkan kepalanya cepat untuk menyibakkan rambut yang menutupi wajah tampannya, lalu berjalan mendekati Eric yang terpaku di tempatnya berdiri, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Cindy di sisi lain ruangan, yang masih berdiri di samping ranjang dengan tanpa selembar benang menutupi tubuh segarnya.

"Cindy.." ujar Demon datar, "Tiga nyawa orang yang kamu cintai, dan sedikit rasa sakit! Itulah pertukaran yang kujanjikan untuk seluruh kekayaan ayahmu kan?"
Mendengar kata-kata itu kami bereaksi berbeda-beda. Aku menarik nafas dalam dan menggelengkan kepala menyadari sifat tamak yang sudah menjadi kodrat manusia itu, Death tampak melirik ke arah Cindy, dan Eric menatap ke arah Cindy dengan perasaan tidak percaya. Namun di sudut mata itu aku masih merasakan adanya cinta, sesuatu yang amat dibenci Demon.
"Temanku, si penjaga gerbang, telah membebaskan Eric kembali ke kehidupannya," terdengar penjelasan Demon sambil melirik ke arahku, "Berarti masih kurang satu nyawa lagi."
"Bukankah dia si malaikat pencabut nyawa?" seru Cindy menuding ke arah Death yang telah tampil dalam bentuk aslinya, kerangka manusia berjubah hitam pekat dengan sabit panjang di tangan, "Tunggu apa lagi! Cepat lakukan tugasmu!"

Semua terdiam mengamati kelakuan Cindy yang histeris dan dipenuhi ketamakan itu, mata bulat yang sebenarnya amat cantik itu tampak menyorotkan dendam, kebencian, sekaligus ketamakan yang rakus. Tampak Demon membisikkan sesuatu pada Eric, yang membuat pemuda itu meraih sebuah pisau operasi, dan melangkah mendekat pada Cindy yang tampak melangkah mundur ketakutan.
"Cindy.." ujar Eric sambil wajahnya menunduk, "Aku mencintai kamu."
Mengakhiri kalimatnya itu, Eric menghunjamkan pisau operasi itu ke jantungnya sendiri. Aku tidak sempat bereaksi karena Death sudah keburu mengayunkan sabit panjangnya ke leher Eric, memisahkan raga dengan jiwanya.
"Angel, hutangmu lunas." ujar Death melihat ke arahku sambil membopong jiwa Eric, "Ia akan tiba di ruanganmu nanti malam."
Aku mengangguk kecil, menyaksikan Death berkelebat meninggalkan ruangan.

"Bb.. berarti.. semuanya sudah beres?" tanya Cindy meyakinkan diri.
"Hihihi.. sama sekali tidak." ujar Demon sambil memeluk tubuhku dari belakang.
Tubuh kami berdua menghadap ke arah Cindy hingga aku dapat melihat sorot mata kebingungan di wajahnya.
"Hah?" jawab Cindy kaget.
"Tiga nyawa orang yang kucintai dan penghinaan pada kehormatanku? Itu kan yang menjadi perjanjian?"
"Hihihi.." Demon terus tertawa kecil sambil tangannya mulai meraba-raba tubuhku dari balik jas panjang kelabu yang kukenakan.
"Kamu tidak akan memperoleh apa-apa selain dinginnya jeruji penjara seumur hidupmu." ujar Demon lagi, "Atas tuduhan pembunuhan berencana pada ayahmu sendiri."
"Kau curang!" Cindy menuding ke wajah Demon, yang dulu disembahnya.
"Bukankah kamu tidak menepati janjimu?" jawab Demon yang kini sentuhan hangatnya mulai membuatku sedikit merinding, "Pada saat menyuruh para preman untuk menghabisi kakak dan ayahmu, juga pada saat mengayunkan pipa besi ke kepala Eric, apakah kamu masih mencintai mereka?""Eh.. curang!" seru Cindy seperti histeris kesetanan, "Curang! Curangg!!"

Aku dan Demon menghilang dari pandangan. Kembali ke dimensi dimana aku melihat Demon dengan wujud aslinya, yang bertanduk dan bertaring mengkilat. Kubiarkan si tampan ini memuaskan hasratnya pada tubuhku. Kenikmatan demi kenikmatan dialirkannya ke tubuhku yang telanjang dan kupasrahkan padanya. Kubiarkan kenikmatan membawaku melayang-layang hingga akhirnya semua kembali normal.

Aku sudah berada di ruang kerja pribadiku, dengan tubuh terbalut kain abu-abu tipis yang menampakkan liku-liku indahnya. Kamar kerjaku kali ini kedatangan dua tamu istimewa, kedua temanku Death dan Demon. Keduanya sedang tidak bertugas, karena bumi memasuki bulan suci yang membiarkan manusia bertindak menurut instingnya sendiri, tanpa pengaruh dari iblis, dan kematian pun akan terjadi secara alami, hingga Death tinggal mengusung jiwa-jiwa yang melayang tanpa harus memisahkannya dengan raga. Demon tampak dengan gagahnya berdiri tegak di depan cermin, mengusap tanduknya yang berkilauan, dadanya yang berotot dan berambut tebal membusung tegap. Death duduk di kursi malas di tengah ruangan, jemari belulangnya memainkan tangkai sabit panjang tercintanya.

"Demon.." ujar Death memecah kesunyian, "Sebenarnya apa sih perjanjianmu dengan wanita itu?""Yah.." Demon berkata datar, tanpa menunjukkan pesonanya, "Seperti yang kamu dengar tadi, tiga nyawa orang yang dicintainya, dan penghinaan pada kehormatannya, ditukar dengan seluruh kekayaan orang tuanya."
"Bukankah itu tidak mungkin?" bantahku, "Bagaimana ia bisa menghilangkan nyawa orang yang dicintainya dengan sengaja?"
"Hihihi.. lugu sekali kamu bidadari manis!" ujar Demon geli, "Itu mungkin saja terjadi kalau ia membiarkan Death mengambil nyawa ibu dan ayahnya tanpa harus diatur sendiri olehnya."
"Yah, kamu curang dong?" ujar Death sambil berbaring-baring malas, "Kamu memasukkan hawa membunuh ke jiwanya kan?"
"Enak aja!" seru Demon tidak terima, "Meski iblis, aku memegang janji. Hawa membunuh itu bukan berasal dari aku, tapi berasal dari dalam hatinya sendiri. Yang tidak sabar menunggu kita bekerja sama untuk mencabut nyawa orang-orang yang dicintainya."

"Yah.." aku menghela nafas, "Berarti Demon tidak terlalu sering menyutradarai berbagai kejadian di sana. Itu muncul dari hati manusia sendiri."
"Kamu benar." ujar Demon sambil mendorong Death agak ke samping agar ia bisa ikut duduk di kursi malas panjang itu, "Kadang-kadang aku bingung, untuk apa orang seperti Cindy mengadakan perjanjian denganku. Kalau mereka bisa melakukannya sendiri dengan versi yang lebih jahat."
Kami semua terdiam, lalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain, bercanda-canda menikmati liburan selama sebulan ini, sambil sesekali menghangatkan tubuh satu sama lain. Ah, lega rasanya mendapatkan libur sebentar, setelah lama dibingungkan dengan urusan-urusan manusia yang kompleks. Dalam hati aku makin mengagumi Dia yang menciptakan ini semua.

TAMAT