The Birth Of A Hunter

Senin pagi yang panas menerpa kota Bogor. Terdengar tawa canda riang sekelompok anak muda yang turun dari bis kota. Mereka terlihat begitu riang padahal untuk mencapai sekolahnya mereka masih harus berjalan kurang lebih 15 menit lagi. Namun, beberapa langkah di belakang kelompok tersebut melangkah seorang pemuda sendirian. Ia tidak bergabung dengan rekan-rekannya. Kedua tangannya diselipkan di kantung celananya, memainkan koin-koin logam yang selau berbunyi di setiap langkahnya. Ia tertunduk, melangkah sambil memandangi jalanan yang sedikit lembab. Tidak diperhatikannya kemilau embun pagi di helai-helai rerumputan, atau kicau burung yang dengan riang menanyakan kabarnya. Ia mendesah dan mengangkat wajahnya. Kelompok teman-temannya telah cukup jauh di depannya. Gelak tawa mereka masih terdengar di telinganya. Mendadak ia terhenti. Sebuah pikiran nakal terlintas di benaknya, dan ia tersenyum. Tak lama kemudian ia berbalik dan melangkah ke arah yang berlawanan dengan tujuannya. Beberapa ratus meter sebelum persimpangan yang menghubungkan jalan sekolah dan dunia luar sang pemuda kembali berhenti. Ia memalingkan wajahnya sejenak ke dunia yang akan ditinggalkannya seakan mengucapkan selamat berpisah dan melanjutkan langkahnya.

Terminal bus Baranang Siang tidak nampak begitu padat hari itu. Beberapa gelintir manusia nampak hilir mudik, sibuk dengan berbagai kegiatannya. Sang pemuda memicingkan matanya. Mengapa matahari begitu terik hari ini, pikirnya. Ia berjalan agak cepat menuju halte bus dan dengan setengah memaksa berusaha naik ke dalam bus kota yang telah penuh sesak. Berjejalan di antara penumpang dan hembusan asap rokok, ia akhirnya menghempaskan dirinya di atas kap mesin di dekat supir sambil matanya menatap berkeliling memperhatikan suasana sekitarnya. Seorang kakek tua dengan kemeja hitam yang lusuh lengkap dengan kopiah bututnya tengah tertidur lelap. Mulutnya setengah terbuka, sementara di sebelahnya seorang ibu muda tengah berusaha mendiamkan bayinya yang terus menangis karena panas yang melekap. Sang pemuda menyeka keningnya dari keringat yang mengalir turun.

Bus kota mulai melaju. Berjalan mengikuti trayek yang telah ditentukan. Sang pemuda tertunduk, memejamkan matanya dan terlelap dalam kesendiriannya.

Jakarta. Kota tujuan dari bus yang ditumpangi seorang pemuda berpakaian seragam sebuah SMU yang cukup terkenal di kota hujan kini telah berada di ambang mata. Sang pemuda terbangun matanya menatap kosong. Untuk beberapa saat ia tidak tahu sedang berada dimana. Namun, sejenak kemudian ia sadar dan teringat akan tujuannya. Sebuah rumah kecil di daerah Kelapa Gading, tempat dimana ia melarikan diri bila merasa hampa. Tempat dimana ia terbiasa untuk mentransmutasikan emosi jiwa menjadi suatu karya. Tempat dimana ia merasa diterima sebagai dirinya sendiri. Tempat dimana ia tidak dibenci hanya karena ia berbeda. Tempat dimana perbedaan kultur, ras, dan agama bukanlah suatu hal yang perlu dipersoalkan. Sebuah Sanctuary bagi manusia yang terbuang dari kalangannya.

Terdengar suara kondektur menandakan bahwa bus akan memasuki terminal. Terminal. Pikir sang pemuda. Sebuah tujuan akhir, yang akhirnya justru hanya menjadi tempat singgah. Just like me. Seulas senyum sinis terlukis di bibirnya yang tipis. Ia melompat turun dari bus yang tengah melaju pelan. Tujuan dihatinya telah ditetapkan dan ia kini semakin mendekatinya.

Angkutan yang membawa sang pemuda berhenti tempat di depan jalan kecil pintu rumah itu. Sebuah rumah berwarna putih berpagar hitam. Biasanya dari luar tempatnya berdiri, dapat terdengar suara riang penuh canda yang kadang diselingi dengan bunyi hentakan alat musik elektrik. Namun hari ini semuanya begitu sunyi. Senyap, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Hening. Sang pemuda mengulurkan tangan untuk membuka pagar besi tersebut, namun beberapa senti sebelum jemarinya sempat menyentuh, ia berhenti. Ada ragu di hatinya. Sejenak ia berfikir, seakan mengulur waktu sebelum ia melakukan sebuah kesalahan yang lebih fatal. Akan tetapi, kebutuhan untuk menyalurkan rasa itu lebih kuat daripada nalarnya dan ia melangkah memasuki pekarangan rumah putih berpagar hitam.

Hening. Sang pemuda melangkah di atas lantai teras dan mengetuk pintu kayu yang memisahkan penghuninya dari dunia luar. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Kembali tangannya terulur mengetuk dan ia menunggu. Tanpa disadarinya dua pasang mata mengawasi dari balik pepohonan pagar yang tumbuh cukup lebat di pekarangan rumah. Beberapa pasang mata yang menatap nanar penuh nafsu. Sang pemuda tak sempat berteriak saat beberapa tangan meringkusnya. Ia berusaha melawan namun sebuah pukulan keras di kepalanya membuatnya kehilangan kesadaran dan semuanya menjadi gelap.

Rintihan. Ya, ada suara rintihan wanita. Sang pemuda mulai tersadar dari kegelapan. Ada sakit yang teramat di bagian pelipisnya dan sedikit rasa basah yang lengket pada rambutnya. Ada rintihan. Suara wanita yang merintih kesakitan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ruangan itu gelap. Cahaya matahari hanya dapat meremangi kamar dari balik gorden tebal yang menutupi kaca jendela. Ada suara tawa lelaki. No, a couple of them. Ia memeriksa sekelilingnya. Hening. Sepertinya ia ditinggalkan sendiri sementara para penyerangnya sibuk dengan diri masing-masing.

Perlahan sang pemuda bangkit berdiri. Ada noda merah di pakaian seragam putihnya. Blood, pikirnya. It's my blood. Ada sesuatu yang gawat tengah berlangsung di rumah ini. Saat itu tidak ada terpikir olehnya bahwa ia harus berlindung. Nalurinya mengatakan ada wanita yang tengah disakiti dan membutuhkan pertolongan. Dan ia akan menjawab panggilan itu. Perlahan-lahan sang pemuda melangkah, mengikuti arah suara wanita yang kini memelas memohon belas kasihan. Permohonan yang ditanggapi dengan gelak tawa dan ancaman bengis. Tiga orang. Pikir sang pemuda. Paling tidak ada tiga orang. Perlahan disibakannya pintu kamar tidur utama sumber dari suara-suara itu. Dan sejenak ia terpana. Tiga orang pria dengan pakaian yang awut-awutan tengah tertawa-tawa sementara di lantai teronggok sesosok tubuh dengan busana yang compang-camping. Sosok tubuh di lantai itu jelas tubuh wanita. Seorang wanita yang menangis dan berusaha menutupi ketelanjangannya. Sosok yang amat dikenalnya. Ketiga lelaki itu tertawa melihat sang wanita tanpa daya berusaha melindungi dirinya, kehormatannya. Mereka kemudian berunding sambil tetap bercanda siapa yang akan mendapatkan giliran pertama menikmati tubuh indah itu.

Si pemuda merasakan darahnya bagai mendidih. Bergolak panas mengalirkan amarah ke sekujur tubuhnya. Memacu kelenjar-kelenjar penghasil adrenalin bekerja menghasilkan tenaga baru di dirinya. Ingin rasanya ia menerjang masuk dan menghajar ketiga lelaki bangsat tersebut, namun nalarnya mengatakan bahwa ia justru akan membahayakan jiwa orang yang ingin dilindunginya. Orang yang harus diselamatkan jiwa dan kehormatannya. Have to come out with some distraction pikirnya. Akhirnya ia melangkah menjauh dari kamar tersebut. Keuntungan ada dipihaknya bahwa kondisi rumah itu cukup gelap. Dan ia membuat sedikit keributan.

Sebuah kepala melongok dari pintu kamar tidur yang terbuka mencoba memastikan apa yang membuat suara tersebut. Dan saat mata di kepala tersebut terhenti pada pintu kamar yang terbuka, pintu kamar dimana sang pemuda tadi terkulai layu tak berdaya, ekspresi di wajah lelaki itu dipenuhi rasa kaget dan takut. Sejenak kepala itu menghilang dan beberapa saat kemudian dua orang lelaki muncul dari kamar. Salah satu diantaranya memegang belati. Sepucuk belati yang biasa digunakan oleh tentara dalam perang. A commando blade. Si pemuda mengintip dari persembunyiannya. Ia tidak takut menghadapi mereka. Ia tahu bahwa ia mungkin akan menghadapi kematiannya saat itu, tapi ia tidak peduli. Mereka orang-orang yang terlatih. Matanya mengawasi kedua orang tersebut berjalan perlahan mencari sumber suara yang mengusik kesenangan mereka. Terlatih untuk membunuh. Saat kedua orang lelaki itu melewati tempat persembunyiannya, sang pemuda melemparkan bola karet yang telah disiapkan ke arah yang berlawanan dari dirinya. Kedua lelaki itu terhenyak. Dengan isyarat tubuh, salah seorang dari mereka, lelaki yang bersenjatakan belati, bergerak ke arah suara, memeriksa. Good, they're separated. Suara rintihan di kamar tidur yang terdengar sayup-sayup semakin mengusik amarahnya. Have to act fast. Or it'll be too late. Perlahan sang pemuda keluar dari persembunyiannya. Mangsanya telah ditentukan. Mangsa yang lengah. Dalam kegelapan dan kesunyian sang pemburu mengintai mangsanya.

Sebuah pukulan karate di bagian leher dengan telak merubuhkan tubuh tegap lelaki itu. Ia jatuh tanpa suara, kecuali suara crack yang menandakan keretakan tengkorak. Sang pemburu tersenyum puas. Two more to go. Ia beranjak menuju mangsa berikutnya.

Diluar dugaannya, ternyata lelaki tegap berpisau itu kembali lebih cepat dan mereka berdua sempat terkejut saat berhadapan untuk beberapa saat. Mangsa kali ini lebih terlatih dan dengan cepat tersadar. Lengannya mengayun menebaskan senjata ke arah perut sang pemburu yang terbuka. Ia mengelak. Melompat ke belakang. Keduanya terdiam. Saling menatap. Mencoba mengantisipasi gerakan lawan. Namun, suara-suara erangan di kamar tidur itu mengganggu konsentrasinya dan sang pemburu menjadi lengah. Ia tak sempat menghindar ketika serangan kedua datang dan semburan cairan merah terpancar dari perutnya. Sang pemburu terhuyung. Goyah sudah keseimbangannya. Mangsa yang seharusnya diburu kini berubah posisi. Ada hawa kematian yang terpancar dari bayangan musuhnya. I won't last long. Have to make it quick. And deadly.

Sang pemburu kembali terhuyung. Sebelah tangannya mendekap luka untuk menghentikan pendarahan. Mencoba menipu musuhnya. Kali ini ia berhasil. Saat serangan itu datang ia telah siap. Sebuah kejutan di selangkangan memaksa mangsanya untuk berhenti yang dilanjutan dengan serangan mematikan ke arah dagu. Ada semburan merah dari mulut mangsanya. Semburan yang semakin membasahi pakaian si pemburu yang telah basah. Kemarahan dan kebencian semakin terpancar di wajah dan sorot mata sang pemburu. Tidak dipedulikannya tatapan memohon ampunan dari mangsanya. Dalam serangkaian gerak indah yang mematikan terdengar suara crack yang kedua. Suara yang menandakan kehidupan telah berakhir. Suara yang menandakan datangnya kelumpuhan total bagi siapa pun yang terkena. Suara yang menandakan patahnya tulang belakang mahluk yang bernama manusia.

Suara rintihan itu kini berubah menjadi isak tangis tertahan. Sang pemburu yang terluka melangkah perlahan memasuki ruangan. Belati tajam terhunus di tangannya. Adegan yang terlihat di matanya menambah beban amarah dan rasa benci yang kian merasuki otaknya. Menghilangkan nalarnya. Tanpa pikir panjang, tangannya terayun dan sekelebat terlihat pantulan cahaya dari mata belati yang dilemparkannya sebelum senjata itu menghilang, tenggelam di kepala mangsa terakhirnya. Jasad itu rubuh menimpa sosok yang tengah merintih di bawahnya. Rubuh tak bernyawa. Si pemuda melangkah dan membantu menyingkirkan mayat itu dari atas tubuh telanjang yang tengah gemetar ketakutan. Ada ketakutan terpancar di bola mata yang indah itu. Ada teror yang mengusik wajah ayu. Diraihnya tubuh itu dan dirangkulnya. Membisikan kata-kata yang memberikan rasa aman. Dan sang wanita menangis dalam pelukannya. Hening.. Tidak seperti biasanya. Kali ini keheningan itu terasa begitu menakutkan. Where the hell am I? Putih. Segala sesuatunya berwarna putih menyilaukan. Is this heaven or is it hell? Gumaman dan celoteh suara-suara yang tak jelas menari di telingaku. Can't move. Kaku. Bisu. Kegelapan kembali melanda.

Perih. Itulah perasaan pertama yang membuktikan bahwa aku masih hidup. Ada rasa perih di lambung kiriku. Perlahan tanganku merayap mencoba meraba tempat rasa itu berasal. Bebal. Ada perban yang membebat perutku, dan rasa basah serta lengket yang sempat tersentuh oleh jemariku sebelum aku benar-benar terjaga. Ruangan itu gelap dan aku berada di atas sebuah ranjang yang bersih. Hospital? Pikirku. Apakah aku berada di rumah sakit? When? How? Where? Aku tak tahu. Hal terakhir yang kuingat adalah kutarik Venus ke dalam dekapanku. Setelah itu semuanya gelap seakan ada sebuah lubang di dalam ingatanku.

Venus. Ya, my venus. Ada di manakah dia sekarang? Bagaimanakah keadaannya? Move.. Aku berusaha bangkit, namun gerakan itu membuat tubuh secara tak sengaja menyentuhnya. Aku berpaling. Venus. She is here. Rambut panjangnya yang hitam tergerai menutupi wajah yang ayu. Mata indah itu terkatup rapat dalam kedamaian nikmat Ilahi yang kita namakan tidur. Kuelus rambutnya, Wajahnya. Dan aku berpikir apakah kejadian tadi itu benar-benar nyata, or apakah semua itu cuma mimpi. Ia mendesah. Indah sekali terdengar di telingaku. Suara desahan itu bagaikan instrumen nada surgawi yang memberikan keyakinan. Meyakinkan bahwa aku masih seorang manusia, walaupun sedikit berbeda. Genggaman jemari lentiknya di tanganku terasa semakin erat dan aku tak kuasa untuk melepaskannya. Aku tak mampu menghentikan rasa haru yang merebak di dalam hatiku, dan tak terasa air mataku mengalir turun.
Pagi menjelang. Sinarnya masuk melalui jendela, menusuk-nusuk kelopak mataku, memaksaku untuk terjaga. Sekilas mataku melirik dan kutemui tempat itu kosong. Semakin diriku bertanya apakah semua ini cuma mimpi adanya? Kutekan tombol merah yang ada di samping tempat tidurku. Beberapa saat kemudian seseorang datang. Seorang malaikat berwajah pualam dalam seragam dinasnya. Dengan agak segan aku bertanya tentang kejadian semalam. Sang malaikat tersenyum. Hanya tersenyum. Pertanyaanku dibalasnya dengan serangkaian pertanyaan dalam bahasa yang tidak kumengerti dan aku terdiam. Aku tetap terpaku dalam kebisuan itu. Segala sesuatunya terasa begitu asing dan aku mulai merasa terperangkap. Namun tubuhku menolak bekerjasama. Kedua kakiku terasa begitu kelu. Aku terperangkap dalam diriku sendiri. Is this the price? Pikirku. Apa yang telah terjadi? Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan kulewati hari itu dalam kekosongan.

Malam menjelang. Sinar-sinar sang surya yang terakhir menghias langit dalam semburat lembayung senja dan kemudian berangsur-angsur pudar. Kupalingkan wajahku dari kemegahannya dalam kebencian. Dan kulihat ia kembali berdiri disana. Venus. Samar-samar kulihat sosoknya melayang mendekatiku sebelum pengaruh obat yang dipaksakan ke dalam kerongkonganku menelan diriku dalam kegelapan.

Tiga hari berlalu. Tiga hari dalam kebencian, Tiga hari dalam kepedihan. Sejak kemarin, aku telah mendapatkan sebuah mainan baru. Sebuah mainan yang akan menemaniku untuk beberapa waktu lamanya. Sebuah kursi roda. Luka yang mengakibatkan aku harus kehilangan fungsi kedua kakiku. Sebuah harga yang teramat mahal. Namun, semua itu akan dapat kulalui dengan tenang seandainya keberadaan dewi-ku benar nyata adanya. Tiga hari lamanya ia selalu datang. Sosok itu. Wajah itu. Kehadirannya menimbulkan rasa damai dan sekaligus pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dan kulalui hari-hariku dalam kesunyian.

Satu minggu telah berlalu. Aku telah menguasai seni bermain dengan sahabat baruku. Ada sedikit rasa senang yang menguak. Paling tidak kini aku tak lagi terkurung dan tergantung pada kehadiran orang lain. Kami tengah bermain. Berputar putar mengelilingi ruangan tempat jasadku terpenjara saat mereka muncul. Empat orang pria berseragam coklat hadir mengusik kesenanganku. Salah seorang dari mereka menghampiriku. Menghujaniku dengan serangkaian pertanyaan yang tidak kumengerti. Aku tetap dalam keheninganku. Biarlah sorot mataku yang menjawab semua pertanyaan mereka. Aku berpaling. Kembali ke dalam dunia kecilku. Kembali bersama dengan sahabatku. Berdua bermain dalam kungkungan jasad manusia yang lemah ini.

Hari demi hari berlalu. Luka yang menghantui diriku telah mengering. Meninggalkan bekas yang tak akan pernah terhapus dalam sejarah hidupku. Terdengar suara berderit di belakangku. Suara gerbang besar yang menghubungkan duniaku dengan dunia luar. Seorang wanita berambut emas datang diikuti oleh beberapa malaikat dengan seragam putih-putihnya. Ia menghampiriku, memeriksa diriku. Kubiarkan ia melakukannya. Kutatap bola matanya yang biru dalam-dalam, tetapi mulutku terkunci. Dan kulalui hari hariku dalam kebisuan.

Ruangan itu penuh dengan kepala-kepala yang berambut pendek diatas badan-badan tegap terbungkus warna hijau. Aku terdiam di tengah-tengah ruangan bersama sahabatku. Ada beberapa wajah yang kukenal, namun tak kulihat dirinya. Venus, where are you? Batinku. Tak kudengarkan celotehan para jagal dalam seragam hitamnya. Tak kupedulikan suara ketukan palu yang terus-menerus mendera telingaku. Mereka semua berbicara dalam dialek yang tak kumengerti dan aku tak peduli. Yang kuinginkan hanya satu. Aku ingin bertemu dengan Venus-ku.

Entah berapa lama waktu yang terbuang dalam monolog yang dimainkan teater keadilan di hadapanku. Tapi aku tak peduli. Jiwaku melayang jauh melintasi batas angan. Menggapai keabadian. Kehidupan yang pernah kukenal telah berakhir. Dan aku terdiam.

Riuh rendah suara memenuhi ruangan itu. Ada cemoohan. Ada ungkapan syukur. Ada ucapan selamat. Aku tak mengerti. Wajah-wajah keras dalam selubung hijaunya meninggalkan ruangan, tinggallah aku bersama sahabatku. Sendiri. Menanti dalam kesunyian.

Entah berapa lama aku termenung, sampai kurasakan kehadirannya. Kehadiran yang menimbulkan rasa hangat di jiwaku saat kurasa tangannya menyentuh bahuku. Dan aku tahu bahwa ia telah datang. Venus. You're here at last. Roda-roda kecil berputar membawa jasadku ke hadapan kekasihku. Begitu banyak pertanyaan yang tersimpan. Begitu dalam hasrat yang terpancar lewat tatapannya. Aku terpana. Wajah ayu itu tampak lebih kurus. Matanya yang dulu berkilau-kilau penuh harapan, kini nampak kusam dan kehilangan binarnya. Namun ia masih tersenyum. Seulas senyum yang menghadirkan harapan baru. Membangkitkan gelora dan menghadirkan keinginan untuk menyatu kembali dengan dunia. Bibir-bibir indah itu bergerak dan aku terpesona. Nada-nada indah yang mengalun dari mulutnya mengantarkanku ke ambang nirwana. Usai sudah penantian panjang yang kuderita. Hangat kurasakan di pipiku saat kami bersatu. Ia menangis. Entah mengapa, tapi ia menangis. Aku terdiam tak tahu harus berbuat apa. Dan kupererat dekapanku.

Pagi menjelang. Dengan agak malas kubuka kedua mataku, dan kulihat wajahnya yang indah tersenyum mesra. Aku tertunduk malu. Venus, entah untuk berapa lama aku berada di sini dan selama itu pula ia selalu berada di sisiku. Memberiku semangat dan dorongan. Namun, aku tahu ada bara yang telah padam dalam dirinya. Tatapan mata indah yang dulu begitu kunantikan. Begitu kurindukan telah padam. Api itu telah redup. Seakan eksistensinya di dunia ini tergantung sepenuhnya pada sesuatu yang tak kumengerti. Namun, bibirku memilih untuk diam tak bertanya. Ada sesuatu diantara kami yang mengikat. Sesuatu yang menghubungkan kami dalam keabadian yang mulia. Sesuatu yang kuharap takkan pernah padam.

Hari ini aku akan menjalani fisioterapiku. Aku telah memutuskan untuk kembali melangkah di atas kakiku sendiri. Perlahan aku bangkit dan menggiring tubuh kaku ini ke atas kursi roda yang menerima dengan penuh rasa ikhlas. Aku tersenyum saat Venus membawaku keluar dari ruangan yang kini telah kuanggap menjadi milikku. Nada-nada riang dari suaranya membantu membuatku kembali ceria. Dan untuk pertama kalinya sejak peristiwa itu aku tertawa. Tertawa lepas yang berasal dari hati. Hancur sudah kebekuan yang selama ini membatasi kami. Kebekuan yang kubangun dari benih-benih amarah dan kebencian tergantikan oleh kehangatan beralaskan karpet merah bertahtakan cinta dan kehangatan.

Meja makan di tengah ruang telah diisi oleh dua sosok setengah baya. Sosok seorang lelaki dan wanita yang tersenyum melihat kehadiran kami. Mereka menyapa hangat yang kubalas dengan senyuman dan sedikit canda. Betapa beruntungnya diriku mendapatkan mereka, sementara aku ditolak oleh lingkunganku hanya karena aku sedikit berbeda. Tapi biarlah, semua itu telah berlalu dan kini kumulai hidup baru dengan kehadirannya disisiku.

Venus, ia dengan setia menunggu setiap detik fisioterapiku, memberiku semangat, membantuku menghadapi galaunya rasa kecewa yang kadang melanda sehingga pada akhirnya aku kembali dapat berjalan, walaupun tertatih-tatih, dengan kakiku sendiri. Kemenanganku hari itu dirayakan dengan sebuah pesta kecil dan kuucapkan selamat tinggal pada sahabat setiaku, yang kini harus puas menerima nasibnya teronggok tak berdaya berselimut debu di salah satu sudut kamarku. Dan aku tersenyum, menatapnya. Ada binar bahagia terpancar disana. Ada hangat yang kurasakan merambat pelan ke sekujur tubuhku. Membasahi jiwaku. Ada pengabdian yang terbaca disana. Dan kulihat bara api yang dulu sirna, perlahan kembali menyala dalam sorot matanya yang indah.

Beberapa bulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Kini aku telah kembali berada dalam kondisi prima, walaupun kadang rasa sakit itu masih datang. Sering kali diam-diam kuelus bekas luka yang ada di perutku, dan berterima kasih kepada-Nya atas semua nikmat yang telah diberikan kepadaku. A blessing in disguise. Dan aku tersenyum bila mengingat semuanya. Pendidikanku yang sempat terhenti telah kulanjutkan kembali. Hidup berjalan seperti semestinya. Kuyakini diriku bahwa aku akan sanggup menghadapi semua rintangan selama dirinya bersamaku. Hari-hari yang kami jalani penuh dengan kehangatan. Dan saat itu aku merasa benar-benar hidup.

Hari itu tiba. 12 Pebruari di tahun 1993. Sebuah hari yang kuyakini sebagai saat pertama aku menjenguk dunia. Seperti yang biasa kulakukan, hari itu aku ingin menghilang untuk merenung. Sekedar me-review langkah-langkahku dalam menjalani hidup ini, namun sepucuk kertas merah muda yang diselipkan di atas meja kecil di samping peraduanku, membuat aku mengurungkan niat tersebut. Sepucuk surat dengan lukisan hati bertahtakan tinta emas, membuatku tersenyum. Betapa tidak? Belum pernah ada orang yang mengingat hari kelahiranku dengan cara seperti ini. Kembali kurasakan ada hangat yang mengalir mengisi relung hati ini. Dan kuterlena dalam hangat buaiannya.

Malam datang menjelang. Istana kecil tempat kuberdiam selama ini tampak sunyi. Namun, ada kehangatan dibalik dinding-dindingnya. Kusapa para penjaga yang dengan setia menjalankan tugasnya sebelum kumasuki pekarangan itu. Dan aku terkejut menyaksikan pemandangan yang terpampang di hadapan kedua mataku.

Seluruh ruangan dipenuhi oleh cahaya lilin yang menari-nari dalam keremangannya. Ruangan itu dihiasi oleh segarnya wewangian bunga mawar. Aku terpana. Tak mampu bergerak. Suasana malam itu begitu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Lirih terdengar lagu-lagu cinta mengalun lembut mengisi suasana. Dan kulihat ia datang menghampiriku. Venus. Dalam balutan gaun malam hitam yang semakin menambah keindahannya. Rambut hitam yang sehari-hari dibiarkan tergerai lepas menutupi lehernya yang jenjang malam ini terangkat menampilkan keindahan leher dan bahunya. Senyum dari bibir merah itu semakin membuatku terpana.

Hati ini berdesir saat ia mengecup kedua pipiku. Mengucapkan selamat ulang tahun. Jemarinya yang lentik mengapai tanganku membawaku melangkah ke kamarku. Venus. Aku terdiam tak mampu bicara. Kuikuti seluruh gerakannya. Kunikmati seluruh gerak bibirnya saat ia berkata. Kucoba untuk menyelami setiap nada dalam suaranya. Dan saat ia melangkah ke luar kamarku, aku masih terpersona oleh bayangnya. Venus. Apakah maksud dari semua ini, pikirku.

Kubersihkan diriku dalam kucuran air hangat dari shower. Kurasakan seluruh tubuhku memberikan respons. Kesegaran itu muncul kembali. Saat aku beranjak dari shower untuk mengeringkan tubuh masih tergiang di telingaku akan ucapan-ucapannya. Dan hatiku berdesir.. Ada getaran asing yang kurasakan membelai seluruh indraku. Dan aku menikmatinya. Kukenakan pakaian yang telah disiapkan di ujung tempat tidurku. Sebuah kemeja putih dari bahan satin dengan paduan celana panjam hitam. Hmm.. Belum pernah aku melihat pakaian ini sebelumnya. Kukenakan sepatu hitamku, dan kusisir rambutku. Aku tersenyum menatap sosok diriku yang lain di dunia sana. Sosok yang menggambarkan seorang pemuda yang tidak dapat dikatakan jelek. Bola mata birunya berkedip dan bibirnya mengulaskan seuntai senyuman. Ada hasrat yang melanda. Kukedipkan kedua mataku mencoba untuk membuang semua angan itu. Dan aku melangkah keluar ke dalam tebaran cahaya lilin.

Venus. Ia tersenyum menatapku. Menarikku ke dalam dekapannya lewat tatapan. Aku bertanya mengapa? Dan dijawabnya dengan derai tawa khasnya yang manja. Derai tawa yang dahulu telah membuat diriku tersihir saat pertama berjumpa dengan dirinya. Dan aku pun tersenyum. Malam terasa begitu indah. Enggan rasanya bagiku untuk mengakhirinya.

Ditengah cahaya lilin itu kami bercanda. Tertawa. Bercerita tentang segalanya. Tentang harapan. Tentang kenangan. Tentang kepedihan dan tentang cinta. Entah berapa lama kami bercanda, dan aku bahkan tak sadar siapa yang memulainya. Yang kusadari adalah bibir-bibir kami saling bertemu, lidah kami saling mengait, ingin memuaskan dahaganya. Dan aku terlena dalam buaian kehangatan malam itu. Ada desahan lirih di bibirnya saat kukecup leher jenjang itu. Kuhirup dalam-dalam wangi tubuhnya. Venus. Didekapnya tubuhku erat-erat. Ada permintaan yang kubaca disana. Ada hasrat yang terpancar diantara spektrum pelangi yang terpantul dalam bola mata indah itu. Kutatap matanya yang sayu dengan penuh tanya. Pertanyaan yang dijawabnya dengan satu kecupan lembut di bibirku. Satu kecupan yang menjawab semua tanya dan menghapus semua keraguan. Dan aku mengerti.. Aku mengerti apa yang diinginkannya.

Pasir putih dan angin pantai. Pemuda berbaju besi berlari dengan gadis molek bergaun putih dalam gendongannya. Menelusuri garis buih-buih yang terhempas ke tepian. Tawa kecil penuh keriangan terdengar dari bibir gadis. Kebencian dan kesedihan yang menyatu dalam dirinya dan membuatnya bisu akan kata-kata sudah sirna. Dekapan kehangatan dan kemesraan pemuda berbaju besi menyapu awan-awan kelabu itu. Pemuda berhenti dan meletakkan tubuh gadis di atas pasir. Kepalanya menunduk dan mengecup mesra bibir gadis.

"Aku mencintaimu. Sekarang, selamanya."
"Tapi aku.."
"Apa adanya."

Gadis molek bergaun putih membiarkan bibir pemuda berbaju besi melumat bibirnya. Pasir putih dan angin pantai menjadi saksi dua tubuh yang saling menggapai kecintaan itu. Erangan, desahan, dan rintihan menyatu dengan debur ombak dan desau angin. Pemuda bercinta dengan si gadis bagaikan di alam mimpi. Sentuhan demi sentuhan, tekanan demi tekanan. Gadis merintih memuncakkan kenikmatan. Pemuda tersentak, mengejang dan terkulai. Matahari yang semakin tenggelam dan langit yang menghitam tersenyum dan tertawa riang. Tiang api turun dari angkasa, membelah langit, bergemuruh dan memamerkan eksistensinya. Gadis molek bergaun putih tersenyum dan terharu. Pemuda berbaju besi mengecup pipi gadis dan menatap tiang api yang perlahan membuyar.
"Ternyata Kau masih di atas sana.."

Somewhere in Jakarta, 1995

Tanah itu masih merah. Masih basah. Ciri khas tanah yang baru digali. Sebuah gundukan tanah merah dengan batu nisannya. Sebuah nisan batu pualam dengan ukiran sebuah nama di sana. Sebuah nama yang akan selalu terkenang. Seorang lelaki muda berambut panjang berpakaian hitam-hitam berdiri terpaku di hadapan nisan itu. Seorang lelaki yang datang dengan penuh harap hanya untuk menemukan bahwa harapan itu telah sirna. Hancur bagaikan debu yang tertiup angin lalu. Venus. Selamat jalan kekasihku. Sang pria berlutut. Sebuah cincin bermata berlian diselipkannya di antara tanah merah itu. Dan ia berbalik. Melangkah menuju matahari yang terbenam.

TAMAT