Emma Ohh Emma

Cerita ini terjadi sekitar 15 tahun yang lalu, tapi merupakan awal yang mempengaruhi perilaku seks yang kujalani sampai saat ini. Waktu itu aku seorang mahasiswa semester 3 di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung. Sebenarnya aku termasuk mahasiswa yang cukup berprestasi di kampus, terbukti dengan seringnya aku diikutsertakan oleh dosen/pengajar apabila mereka akan mengadakan penelitian ilmiah. Tapi sayangnya akibat pergaulan yang kurang baik, ditambah dengan problema yang kuhadapi (saat itu kurasakan cukup berat), aku terjebak kecanduan narkotika, walaupun sebenarnya baru pada tahap kecanduan awal.

Problem yang kuhadapi ialah putusnya hubunganku dengan pacarku di desa (lebih tepatnya diputusin), dengan alasan yang aku sendiri tidak mengerti. Aku merasa tidak dihargai karena tidak mendapat alasan yang jelas, padahal hubungan kami sudah berjalan sejak kami masih SLTP. Tapi sudahlah, karena bukan itu sebenarnya yang ingin kuceritakan.

Malam itu, sepulang dari rumah seorang teman aku mengendarai sepeda motor bebekku dengan kepala sedikit berat akibat pengaruh obat yang belum terlalu turun, tapi kupaksakan juga karena besok pagi-pagi sekali aku ada janji dengan seorang dosen untuk membantunya mengumpulkan data-data yang berhasil kami kumpulkan (yang tentunya dia yang membuat pertanyaan, aku hanya membagikan kuisioner pada obyek penelitian).

Aku mengambil jalur yang biasa kulalui yang melewati Jl. Saparua (gelora) yang kalau malam banyak kaum waria yang mejeng mencari langganan. Aku tidak pernah perduli karena memang aku sama sekali tidak tertarik oleh yang palsu semacam itu. Tapi malam itu secara sadar atau tidak sadar aku berhenti ketika seorang waria melambaikan tangannya. Aku hanya berpikir seksi sekali ini orang (tentunya dalam cahaya yang remang-remang dan pengaruh obat yang masih bersisa di kepalaku).

Kupinggirkan bebekku mendekatinya. Setelah kudekati memang ternyata selain seksi juga manis dan mulus. Ia memakai baju malam (aku tidak tahu namanya) yang talinya kecil atau malah mungkin mirip baju tidur, hanya saja bahannya mungkin lebih bagus. Dadanya yang menonjol karena terdorong buah dada yang cukup besar hanya setengahnya tertutup, seolah-olah mendesak untuk segera keluar. Lengan dan kakinya tidak berotot seperti seharusnya seorang lelaki, itu terlihat karena ia memakai minidress. Kulihat wajahnya juga manis dan tidak kaku. Lama aku bertanya dalam hati, ini cewek beneran kali.

Tiba-tiba, "Mau kemana Mas..?" ia bertanya yang membuat buyar pertanyaan-pertanyaan di kepalaku.
"Mau pulang." aku menjawab asal-asalan.
"Kok pulang sih.., kan belum malem. Ngobrol dulu yuk..!" ia bertanya lagi (memang suaranya sedikit lebih ngebas dari suara wanita, atau mungkin seperti suara wanita perokok).
"Ini kan lagi ngobrol." aku merespon lagi.
"Ngobrol di sana aja, sepi.. yuk..!"
"Kemana..?"
"Tuh, ke samping gelora."

Akhirnya aku seperti kerbau yang dicocokin hidungnya, menurut saja. Ku-start motor dan ia langsung duduk diboncengan sambil tangannya, ya ampun.., ini tangan bukan pegang samping jok motor atau mungkin pinggang, eh malah menempel di antara kedua pahaku, tepatnya rudalku. Aku diam saja, pura-pura tidak tahu. Motor kujalankan dan tangannya malah menjadi meremas barangku. Aku sedikit grogi juga, tapi yang jelas burungku mulai terusik karena terasa sudah mulai mengeras.

Akhirnya kami sampai di samping gedung olahraga yang memang gelap dan sunyi sekali. Kalau diperhatikan lebih teliti, maka akan terlihat bayangan orang-orang yang tidak jelas sedang melakukan apa, yang pasti mereka sedang melakukan adegan ngeseks. Aduh gimana ini sebenarnya, aku ingin menolak dan membalikkan motor terus pulang, tapi aku seperti tidak berdaya dan terus saja mengikuti perintahnya. Akhirnya ia menyuruhku untuk berhenti.

"Motornya diparkir di sini aja..!"
"Aman ngga..?" (aku sedikit was-was).
"Aman dong..! Tuh.., yang lain juga diparkir di situ..!"

Akhirnya kustandarkan motor dan berjalan mengikutinya. Kami sampai tepat di teras samping gedung. Di sana ada tumpukan peti, tepatnya stage level. Kami duduk di situ dan mulai ngobrol kesana kemari. Baru kutahu ternyata namanya Emma. Aku tidak tahu kalau siang apa namanya jadi Eman. Aku sudah tidak perduli lagi.

"Idih.., ada yang berdiri tuh..!" ia mulai memancing.
"Siapa..?" karena aku memang tidak tahu maksudnya.
"Tuh..! Nih.., kan udah keras gini..!" katanya lagi sambil tangannya memegang rudalku yang memang akibat remasannya tadi sewaktu dibonceng malah sampai sekarang tidak mau tidur lagi, kudiamkan saja.

Rupanya ia tidak mau kehilangan momentum yang sudah hampir sempurna.
"Boleh liat ngga..?" tanyanya.
Tanpa menunggu jawabanku, langsung dibukanya risluiting celanaku. Tentu saja senjata yang sejak tadi sudak mendesak langsung tegak menantang langit seolah merasa merdeka.
"Wou.., gede amat punyanya..!"
Aku tahu itu hanya untuk menghibur, karena rudalku termasuk ukuran yang biasa-biasa saja, tidak istimewa.

Aku masih diam walau aku merasakan nikmatnya. Rupanya ia ternyata langsung jongkok di depanku, mulutnya tepat berada di depan batangku itu. Tanpa basa basi lagi diturunkannya celanaku sampai sedengkul. Wuah.., langsung dilumatnya kemaluanku sambil gerakan kepalanya maju mundur, dan tangan kanannya meremas buah kemaluanku, sedangkan tangan kirinya masuk t-shirt-ku. Tangan kirinya ternyata mampir di putingku yang kemudian dipilinnya perlahan-lahan.

Kemudian dicabutnya penisku dari mulutnya, lalu dipegangnya oleh tangan yang tadi memegang buah kembarku. Diangkatnya sang penis, lalu kemudian ia menjilat leher rudal sebelah bawah. Ough.., aku merasa melayang, terus terang ini merupakan pengalaman pertama punyaku dihisap orang. Aku termasuk konvensional dalam urusan posisi sex, dan itu pun hanya beberapa kali yang sempat kulakukan bersama bekas pacarku.

Setelah puas menjoli, dimasukkannya lagi sang burung ke dalam mulutnya, sementara tangan yang satu tadi menyelinap ke balik buah zakar dan kemudian ternyata mengelus anusku. Aku hanya sempat bersuara kecil tanpa dapat menghalangi lagi jarinya. Terlihat sedikit jarinya diberi ludah dan dilanjutkannya permainan jarinya di lubang duburku. Serasa ada seribu balon gas diikatkan di tubuhku dan aku merasa melayang, dapat dibayangkan tiga titik yang sensitif disentuhnya bersamaan. Aku hanya dapat merem melek dengan penuh nikmat.

Sudah dapat kuduga, aku tidak akan bertahan lama karena proses pengeroyokan pada titik sensitif tersebut. Aku merasa ada yang mendorong dari dalam rudalku yang meminta untuk keluar.
"Mbak.., aku mau.." belum selesai aku bicara, "Crot..! Crot..! Ouwh..!" pecah sudah magma dari dalam rudalku.
Ia masih tetap mengulumnya sambil mempermainkan lidahnya di kepala rudalku, rasanya ngilu, nikmat, super nikmat. Dan gilanya, ditelannya air maniku sampai bersih dan tidak perlu tisue lagi untuk membersihkan kepala rudalku.

Kami kemudian ngobrol kesana kemari, ia minta diantar pulang kalau aku tidak keberatan. Kupikir tidak apa, sambil pulang dapat lewat jalan rumahnya, toh sudah malam tidak akan ketemu teman di jalan. Akhirnya kami berboncengan dengan mesranya menuju rumahnya. Selama perjalanan tangannya tetap meremas-remas rudalku yang tentu saja bangun lagi.

Kami sampai di sebuah paviliun yang cukup luas. Motor kuparkir di teras, sementara ia membuka pintu. Aku parkir motor karena ia memintaku minum coklat panas dulu, biar segar katanya. Anehnya aku juga tidak menolak. Aku masuk ruang tamu berukuran sekitar 5x5 meter yang ternyata merangkap sebuah salon kecil yang terawat rapih dan bersih. Dipersilakannya aku duduk dan ia masuk ke dalam.

Tidak berapa lama ia sudah kembali membawa dua gelas coklat hangat.
"Ayo diminum dulu Mas mumpung masih hangat..! Aku tinggal dulu sebentar ya..!" katanya yang kemudian ia masuk ke belakang.
Sambil minum coklat, mataku memperhatikan ruangan mini salon dengan beberapa poster yang merupakan contoh model potongan rambut. Ada tiga set kursi potong, satu buah tempat cuci rambut, dan asebagainya yang membuat pengaturan ruangan tersebut terkesan sempit.

"Kecil ya rumahnya..?" katanya yang tiba-tiba ia sudah masuk kembali ke ruang tamu.
Bajunya sudah diganti dengan baju tidur warna peach yang transparant, dan terlihatlah keseluruhan tubuhnya yang hanya tertutup BH dan CD pada bagian-bagian tertentu.

Deg.., aku merasa gugup menyaksikan pemandangan yang ada di depan mataku. Body yang begitu sempurna. Tingginya sekitar 170 cm, payudaranya aku tidak tahu ukurannya, tapi yang jelas cukup besar. Kulitnya putih mulus, rambutnya ternyata panjang asli, wajahnya segar dan lebih manis karena hanya sedikit menggunakan make-up. Aroma wanginya betul-betul membuatku terangsang lagi karena wangi sabun mandi (mungkin habis mandi). Aku paling suka melihat wanita (termasuk dirinya) habis selesai mandi, karena terlihat segar dan wanginya lembut alami.

"Mau cuci-cuci dulu Mas bekas tadi..?" ia menawarkan, "Tuh di sebelah sana, masuk aja..!" sambunganya sambil tangannya menunjuk ke dalam.
Kupikir benar juga, biar kucuci sekalian deh.
Aku diantarnya ke dalam. Aku masuk kamar mandi yang cukup bersih dengan keramik tile yang dominan berwarna krem, maka terlihat bersih dan seolah lebih luas. Kubuka celanaku dan mulai mencuci sang rudal yang tadi sudah dikulum Emma.

Tiba-tiba, "Tok.. tok.. tok.." pintu kamar mandi diketuk.
"Mas.., ini handuknya..!" katanya.
Oh iya, aku lupa pinjam handuk. Karena si otongku belum tidur juga, aku malah punya rencana usil ingin disedot lagi biar nyucinya sekalian.

Pintu kubuka dalam posisiku masih tanpa celana dan tidak berusaha kututupi.
"Ih.., kok masih bediri aja sih..? Belum puas ya..!" begitu komentarnya sambil menyerahkan handuk, tapi matanya tetap tertuju ke rudalku.
"Iya nih.., masih kurang kali..!" jawabku sambil menerima handuk dan memegang tangannya, lalu kemudian menariknya ke dalam.

"Aduh.. duh.. apaan sih..? Kok buas banget, sabar dong Sayang..!"
Aku sudah tidak sabar lagi, kutarik ia ke kamar mandi, kupeluk, kuciumi lehernya dan tanganku berusaha menyelinap ke dalam daster untuk membuka tali BH-nya. Aku memang tidak membuka dasternya, nanti saja kupikir biar sedikit-sedikit.

Setelah tali BH-nya kulepas dan kuturunkan talinya, maka menyembullah dua buah bukit yang sudah dari tadi kuidamkan. Langsung kulumat.., wuh nikmat sekali wanginya. Aku semakin terangsang, kujilat putingnya dan kukulum sambil kugigit kecil bergantian kiri dan kanan. Emma menggelinjang, kadang terdengar suaranya melenguh.

"Auh.. uh.. terus Mas..! Uh.. digigit Sayang..! Auw.. enak Mas.., auh..!" terus saja ia berkicau tidak jelas.
Tangan kanannya sudah mengocok penisku yang membuatku tambah lagi nafsunya. Tanganku yang satu memegang puting satunya yang tidak sedang kuhisap. Secara refleks tanganku yang satunya turun menelusuri perut dan terus ke bawah. Eit.., aku kaget. Ternyata ada yang mengeras di antara selangkangannya. Aku lupa bahwa Emma sebetulnya juga sama seperti aku, ada rasa bingung campur kaget sesaat, tapi anehnya aku sudah tidak perduli lagi karena nafsu yang semakin membeludak dan pengaruh obat-obatan yang juga belum turun.

Kuelus terus batangannya, Emma semakin lupa daratan, erangannya semakin menjadi-jadi.
"Auw Mas.., aduh enak Mas..! Uh..!" desahnya sambil matanya terpejam dan kocokannya di penisku semakin keras.
Aku semakin nekat, kumasukkan tanganku ke dalam CD-nya. Ah.., terpegang olehku stick milik Emma yang kuperkirakan lebih kecil dari punyaku.
"Auw.. Mas gila. Mas.., aduh enak Mas..!" ia berbisik untuk melanjutkannya di kamar, aku menurut saja dan mengikutinya.

Ternyata kamarnya di sebelah kamar mandi tersebut, kamarnya berukuran 4x4 m dengan lampu tidur remang-remang dan satu tempat tidur double berukuran 2x2 m dilapisi sprei warna biru muda dari bahan satin.

Emma melepas dasternya, lalu kemudian menghampiriku dan melepas bajuku yang masih tersisa. Kami sama-sama sudah bugil, kuperhatikan dalam keremangan itu ada rasanya aku ingin tertawa juga waktu melihat tubuh Emma yang memang seksi itu, tapi lucunya kami sama-sama punya rudal, yang beda payudaraku tidak membumbung, kulitku tidak sehalus kulitnya. Aku berpikir kenapa aku tidak merasa jijik, kenapa aku tetap terangsang. Aku tidak habis pikir dengan nafsuku ini yang dapat menerima orang yang sama dengan jenisku, apa aku gay..? Tapi aku tidak perduli lagi, karena Emma sudah melumat putingku dan menjilatinya bergantian kiri dan kanan.

Kemudian disuruhnya aku telentang di tempat tidurnya, lalu ia mulai menjilati ibu jari kakiku dilanjutkan ke jari kaki yang lainnya, terus naik ke dengkul sambil lidahnya terus menempel di kulitku layaknya orang sedang mengecat dengan kuas, tapi kali ini kuasnya menggunakan lidah. Geli sekali rasanya, ada rasa sesuatu benar-benar sensasional yang susah dilukiskan oleh seribu kata. Aku hanya dapat ber ah..uh ria saja.

Setelah itu disuruhnya aku telungkup dan kembali aku dikuasnya, hanya kali ini bagian belakang dari tumit hingga bokong yang kiri dilanjutkan dengan yang kanan. Lalu ia naik ke pinggang, punggung lalu ke leher, turun lagi ke bokong. Disuruhnya aku menungging, lalu dijilatnya liang duburku, auwhh..! Hilang rasanya semua panca inderaku, semua berkumpul di liang anusku ini. Dimain-mainkannya lidahnya di sekitar anusku, lalu tangannya membuka bibir anus dan lidahnya masuk ke dalamnya. Aku tidak dapat lagi menceritakan suara apa yang kukeluarkan saat itu.

"Ma.. emm.. aduh Ma.., aku ngga kuat, aduh..!" desahku, tapi ia terus saja melumatnya.
Beberapa saat kemudian dibalikkannya tubuhku dalam posisi semula, telentang. Dilumatnya lagi tubuhku, diawali dari jari-jari tangan lanjut ke ketiak, kembali ke putingku lalu turun ke pusar. Diputar-putar lidahnya di sana dan kemudian sampailah ke inti energi, yaitu penisku.
"Agh..!" aku sedikit menjerit ketika dilumatnya dulu batangan berikut buahnya dan dilanjutkan mengulumnya.

"Agh.. Ma.. Sebentar Ma..!" kutarik ia lebih merapat sehingga rudalnya tepat di mulutku.
"Aduh.. duh.. Mas.. duh. Isep Sayang.., aduh terus Sayang..!" ia mengerang, tentu saja karena kenikmatan.
Jadilah kami menggunakan posisi 69, saling menghisap, saling melumat, tidak ada rasa jijik sedikit pun yang kualami. Emma semakin buas dan dengan lahapnya melumat penisku, begitu juga aku giat memaju-mundurkan kemaluannya di dalam mulutku.

Kira-kira setengah jam kami saling melumat, saling menghisap dan saling menjilat. Akhirnya ia memintaku untuk memasukkannya ke dalam lubang anusnya. Dibasahinya kepala rudalku dengan ludahnya, lalu ia telentang sambil mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Dibimbingnya kemaluanku untuk memasuki liang kenikmatannya.
"Pelan-pelan ya Mas..!" ia meminta.

Kudorong rudalku pelan-pelan, akhirnya dengan susah payah masuklah ke dalam goanya.

Untuk sekedar informasi, ternyata lubang dubur memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki vagina, karena ia lebih sempit dan ototnya lebih terasa, mungkin ada ulir di dalamnya seperti laras senapan, jadi penisku tidak hanya maju mundur tapi juga sedikit berputar, bahkan serasa ada yang memijit, pokoknya uenak tenan.

Kumaju-mundurkan rudalku dengan irama yang perlahan. Mula-mula aku merasa kagok juga, terutama oleh penisnya yang mengeras yang sedikit agak mengganjal di perutku, tapi lama kelamaan terbiasa. Emma meliukkan tubuhnya dan mengangkat kepalanya sehingga bibirnya dapat mencapai puting susuku. Kembali dihisapnya tombol kenikmatan itu, sementara tangannya mencari-cari yang akhirnya singgah di lubang anusku dan dimasukkannya jarinya ke dalam lubang tersebut.

Kembali aku merasakan sensasi yang luar biasa. Untuk sekedar meresponnya, satu tanganku kugenggamkan pada penisnya sambil kukocok pula. Emma melepaska mulutnya dari puncak dadaku dan kulihat mata Emma mendelik-delik, mulutnya monyong-monyong, kadang digigitnya bibir bawahnya, kemudian ia kembali menyedot putingku dan disedotnya semakin kuat.

"Mas.., ah.. auw.. enak Sayang.. augh.. yang dalam Sayang..! Aduh.., aku mau bucat Mas, akh.. akh.. aku.. akh.. prt.., crt.., crett..!"
Rupanya Emma sudah mencapai puncak orgasmenya, air maninya membasahi perut dan tanganku, tapi tetap kuloco rudalnya. Sementara liang anusnya terasa semakin mimilin pada saat ia orgasme, hingga akhirnya aku pun merasa akan mencapai titik kulminasi hubungan seks. Batangku terasa berdenyut, dengkulku bergetar.

"Ma.., aku keluar..! Aku.. augh.. aduhh.. uhh.. ah..!" desahku ketika hampir mengalami puncakku.
Emma semakin buas menghisap dan menggigit putingku, sementara anusku pun dikocoknya pula. Aku serasa berputar tersedot semua melalui kepala penisku. Pecah sudah air maniku di dalam liang duburnya, tapi tetap kubenamkan sementara ia masih menjilati putingku. Kami terjerembab di kasur tanpa sempat mencucinya. Aku tertidur merangkul Emma yang juga kelelahan. Entah berapa lama aku tertidur.

Tiba tiba di antara sadar dan tidak, aku merasa ada sesuatu yang hangat-hangat basah di tubuhku. Aku semapat bingun dimana asal rasa itu, ternyata di lubang anusku karena tidurku menyamping dan dengan ekor mataku aku melihat Emma sedang menjilati lubang itu.
"Ma.., buset.., lagi apa kamu..?" kataku.
"Sebentar Sayang ya..!" katanya tanpa menghentikan aksinya.
Lama-lama aku terangsang juga, aku merasa si bungsuku sudah terbangun lagi. Kunikmati saja pekerjaannya. Tiba-tiba ia sudah tidur di sampingku, dan posisi kami saat itu seperti sendok baris, ia mencoba memasukkan rudalnya ke dalam lubangku.

"Ma.. eh.. eh.. jangan Ma..!" pintaku.
"Ngga apa-apa kok Sayang, ngga sakit kok, coba dulu deh..!" katanya.
Aku diam saja, benar saja ada yang menyodok ke dalam anusku, rasanya aneh, sedikit sakit tapi aku ingin tahu juga rasanya, kudiamkan saja. Sampai akhirnya habis semua tenggelam rudal milik Emma ke dalam anusku. Perlahan dimaju-mundurkannya pantatnya yang membuat penisnya pun maju mundur dalam lubangku.

Lama-lama kurasakan lumayan juga rasanya, aneh-aneh enak, gimana gitu. Lidahnya menjilati punggungku, sementara tangan kanannya mengocok si otong milikku dan tangan kirinya memilin-milin puting susuku. Wah.., oke juga nih aku tidak banyak bekerja karena memang posisiku tidak memungkinkan.

"Sh.. shh.. augh.. sh..!" Ema mendesis seperti kepedasan dan sambil terus menjilati punggungku dan tangannya tetap beraksi.
"Cplok.. cplok.." bunyi yang dihasilkan oleh pertemuan biji kemaluannya dan pantatku.
"Ough.. Mas. Mas.., Emma mau keluar lagi, uh.. uh.. ah.. adduhh.. aduh.. uh.. ugh.. auwww..!"
Ada cairan hangat di dalam liang duburku, aku tidak mengerti harus bagaimana, tapi aku pun menikmatinya. Ia diam beberapa saat, disuruhnya aku telentang, kemudian dimasukkannya penisku ke dalam duburnya.

"Alamak..! Ast.. uwsh..!" desahku.
Masuk sudah penisku. Kembali ia menggoyang pinggulnya dengan sedikit histeris, diputar-putarnya putingku sambil tangan satunya mengocok rudalnya sendiri. Matanya terpejam, tiba-tiba kepalanya menengadah ke langit-langit.
Dan, "Ah.. ah.. ah.. mmhh..!" air maninya memancur sampai ke wajahku.
Wah.., Emma sudah dua kali, aku belum, gimana nih..? Emma menungging sambil tetap tidak menghentikan goyangan pinggulnya dan bibirnya dihisapkan pada putingku. Aku bergetar, kurasakan kalau aku akan keluar juga. Benar saja, tidak lama kemudian aku keluar juga. Kurasa banyak sekali air mani yang kukeluarkan di dalam liang anus Emma.

Aku terbangun, kepalaku pening, mataku berat. Eit.., aku teringat aku punya janji pagi ini. Wah.., ini sudah jam berapa, aku kaget bukan main, ternyata sudah jam sepuluh pagi. Wah.., cilaka ini, mana janjinya sama dosen lagi, terus aku mau alasan apa..? Ku cari-cari Emma sudah tidak ada di tempat tidur. Waduh..! Makin pening kepalaku.

"Eh.., udah bangun si Sayang. Gimana, lemes ya..? Aku juga lemees banget..!" kata Emma tiba-tiba.
Emma datang sambil membawa sepiring nasi goreng dan segelas kopi. Lalu kuhirup kopi panas, terasa darahku mengalir lagi. Semua terlihat jelas dan aku sudah tidak ambil pusing lagi tentang janji, habis mau gimana lagi toh sudah terlambat.

Akhirnya aku sarapan terus mandi dan bersantai-santai sambil nonton TV. Aku agak malas pulang, dan ternyata Emma pun tidak membuka salonnya. Akhirnya kami melakukan lanjutan pertandingan kami semalam sampai sorenya aku pamit pulang sambil kurasakan dengkulku mau copot. Entah sudah berapakali kukeluarkan air maniku.

Jadi begitulah kira-kira pengalamanku limabelas tahun yang lalu, yang menghasilkan perilaku seksualku menjadi sedikit agak menyimpang. Sekarang aku sudah menikah dan dikaruniai dua orang putra. Hidup kami sekeluarga cukup bahagia. Dalam urusan seks pun aku tidak merasa punya masalah, biasa-biasa saja.

Tapi yang uniknya aku punya mistress seorang waria yang kutemui di sebuah salon pada saat aku cukur. Kami pun secara rutin berhubungan. Secara tidak langsung kami menjadi pasangan dalam kebutuhan seks. Sementara dengan istri tetap berjalan seperti biasa, dua kali dalam satu minggu, kadang bisa tiga atau empat kali. Tapi ya begitulah.., karena Emma aku jadi tahu sesuatu yang sebelumnya aku sendiri merasa jijik. Aku sama sekali bukan gay, karena aku sama sekali tidak tertarik dengan lelaki seperti apapun dia. Aku hanya tertarik dengan transgender/transexual yang tentunya yang manis dan mulus seperti halnya wanita.

TAMAT