Siang Pejabat Malam Waria - Direktur Bank

Pak Dharma adalah nasabah kami. Aku sangat menghormatinya, karena dia merupakan pengusaha yang ulet. Disamping itu dalam usianya yang lebih dari 50 tahun, dengan sosoknya yang tinggi gede, Pak Dharma bisa merawat body-nya agar tetap segar dan macho. Aku perhatikan bayangan gumpalan dada dan otot lengannya di balik kemejanya sangat menawan. Aku percaya masih banyak cewek atau ibu-ibu yang dengan senang hati menjadi teman tidurnya.

Namun sebagaimana banyak orang tahu, Pak Dharma orangnya kasar. Sikap Pak Dharma Lukito sangat arogan pada saat dikecewakan. Aku pernah menjadi korban kekasarannya.

Ketika permohonan pinjamannya kami tolak karena analisis rasionya menyatakan tidak layak, Pak Dharma datang ke kantor, masuk ke ruang kerjaku dan membanting kursi ke mejaku hingga kacanya pecah berantakan. Mungkin dia terlampau percaya diri. Tubuhnya yang kekar berotot dia jadikan unggulan untuk memecahkan masalahnya. Dia menarik krah kemeja dan dasiku sambil melontarkan caci makinya yang keji..

"Dasar banci, kamu. Direktur banci. Tak mampu mengambil keputusan yang adil. Kamu harus menjilati pantatku, isep kontolku dan minum kencingku dulu, baru bisa jadi direktur yang becus".

Kemudian ditelikungnya kepalaku hingga mukaku tersekap dalam jepitan ketiaknya yang basah. Dan aku harus bernafas dalam aroma keringat ketiakya. Sungguh umpatan yang sangat memalukan aku walaupun dilontarkan pada saat emosinya tak terkontrol. Untunglah dengan cepat petugas Satpam kantor bisa meringkusnya dan mengusir Pak Dharma.

Sesudah semuanya tenang kembali aku merenungi ucapan Pak Dharma. Aku tergetar dengan rentetan caci makinya. Sebagian caci maki itu aku rasakan ada benarnya. Tanpa diketahui keluarga, para kolega serta relasiku aku ini memang banci atau waria dalam arti sebenarnya.

Aku jadi ingat akan acara utamaku sore nanti. Aku menelepon istriku dan bilang bahwa hari ini aku akan pulang larut. Aku bilang ada acara dengan relasi. Ini adalah alasan rutin yang selalu aku sampaikan istriku pada saat aku perlu sedikit santai menghibur diriku. Sore itu aku punya rencana yang sangat kurindukan dan merangsang gairahku.

Sudah hampir satu bulan aku absen dari peranku sebagai Mona, waria atau banci cantik yang mangkal di Jalan Krakatau, Menteng. Aku juga merindukan berkumpul dengan teman-temanku. Merindukan para lelaki hidung belang yang berseliweran dengan mobil atau motornya, yang selalu dahaga untuk dipuaskan syahwat birahinya.

Aku memang memiliki 2 dunia. Di siang hari aku adalah Ir. Atmodjo yang direktur cabang satu bank swasta dan di malam harinya aku mengubah diriku menjadi waria Mona sebagaimana yang aku sebutkan di atas. Telah lebih 2 tahun aku menikmati peran gandaku itu. Walaupun terkadang aku dibuat repot. Tetapi pribadiku mendapatkan kepuasan lahir dan batin dari kedua peranku itu.

Aku punya tas khusus yang selalu aku simpan di kantorku. Tas dengan kunci password dan lemari yang juga hanya bisa dibuka dengan password. Tas itu berisi beberapa lembar baju dan celana atau rok wanita serta perabotan penunjangnya termasuk rambut palsu, BH, kosmetik dan contact lens yang bisa mengubah bola mataku biru atau hijau atau lainnya, sehingga betul-betul aku menjadi orang yang beda. Kini tas itu telah aku keluarkan dari lemari untuk acara sore ini.

Sekitar jam 7 malam aku meninggalkan kantor dan meluncur ke arah Menteng. Di Sarinah aku masuk sebentar untuk parkir. Aku perlu waktu sekitar 10 menit untuk tampil sebagai Mona. Di lapangan parkir Sarinah aku mengganti busana direktur bank-ku dengan busana Mona yang waria atau banci jalan Krakatau. Tak lupa aku juga memakai contact lensku yang berwarna biru. Setelah aku yakin semuanya beres aku keluar dan kembali meluncur ke arah selatan menuju jalan Krakatau. Aku akan menuju tempat parkir langganan. Dengan selembar Rp. 50 ribu untuk Mang Diman si tukang parkir, mobilku akan aman walaupun aku pulang pagi.

Jam 8 malam aku sudah berdiri mejeng bersama teman-teman wariaku di pinggiran jalan Krakatau menanti tamu-tamu para lelaki homo atau gay yang memang suka mendapatkan pelayanan dari para banci atau waria macam aku ini. Mereka selalu bilang bahwa tidur dengan banci tidak akan kena penyakit. Mungkin karena mereka mengentot mulut kami yang dipandang lebih bersih dari memek perempuan.

Nampak di arah kananku ada taksi menepi. Dalam keremangan lampu jalanan turun seseorang yang bersosok tinggi gede dan menghampiri kerumunanku. Aku pikir, penglaris nih. Dia mendekati dan langsung merangkul pinggang dan menggamit aku.

"Apa kabar sayaanng..", aku kaget setengah mati. Bukankah dia ini Pak Dharma. Adakah dia mengenali siapa sesungguhnya aku? Aku hampir yakin dia tak akan mengenali aku. Namun terus terang aku juga tak berani menatapnya. Aku ragu sesaat. Jangan-jangan dia akan mencelakan aku.

Pak Dharma mendekatkan mukanya ke mukaku kemudian dengan gaya sok akrab-nya dia mencium pipi dan kupingku. Aku bergidik saat bibirnya menyentuh kupingku. Namun aku mulai lega, rasanya benar-benar dia tak tahu siapa aku. Soalnya kalau dia tahu, pasti akan bangkit kembali kecewa dan marahnya dan menggunakan kesempatan ini untuk menghajar aku.

"Kita ke hotel saja yok..", dia terus membujuk aku. Aku langsung ingat caci-makinya tadi siang di kantor,
"Dasar banci, kamu. Direktur banci. Tak mampu mengambil keputusan yang adil. Kamu harus menjilati pantatku, isep kontolku dan minum kencingku dulu..,..". Caci makinya itu telah menggetarkan hatiku karena sebagian caci maki itu ada benarnya.

Dan kini lelaki yang usianya telah lebih dari 50 tahun, dengan sosoknya yang tinggi gede dan body-nya tetap segar dan macho itu sedang menggamit dan memeluki aku. Bahkan bibirnya telah menggetarkan sanubariku karena sentuhannya pada pipi dan kupingku. Sepintas hidungku menangkap aroma keringatnya yang terpaksa kuhirup dari basah ketiaknya saat aku dalam telikungannya tadi pagi. Aku rasakan gempal otot dadanya karena pelukannya yang kencang.

Libidoku sebagai seorang waria langsung terusik dan merangsang syahwat birahiku. Dengan kuat aku terobsesi oleh caciannya itu, '.. Menjilati pantatnya, mengisap kontolnya dan meminum kencingnya..'. Khayalanku langsung melambung dalam nikmat syahwat. Aku langsung menganggukkan kepalaku ketika sekali lagi dia membujukku agar mau diajak ke hotel.

Pak Dharma menggamit pinggangku dan kembali memanggil taksi untuk membawa kami ke Hotel Mega di bilangan Cikini Raya. Dalam perjalanan dia ngibul padaku bahwa sebagai orang Medan yang sedang bertugas di Jakarta. Ini malam terakhirnya. Telah 5 hari dia tinggal di hotel ini. Aku tersenyum pada lelaki tua yang dahaga ini. Ngibuull..

Di dalam kamar Hotel Mega yang sejuk aku kembali menjumpai sifatnya yang kasar dan arogan. Dia merasa telah membeli tubuhku. Dia bisa menyuruh apapun padaku. Dia minta aku menjilati seluruh bagian tubuhnya. Permintaan yang diucapkan itu merambati libidoku. Darahku berdenyut dengan cepat.

Dia sodorkan kakinya yang bau. Dan aku harus melumati telapaknya dan jari-jarinya. Dia menikmati jilatan dan kulumanku sambil tangannya menggenggam dan meremasi kontolnya. Kudengar desah dan rintihnya saat dilanda nikmat.

Setelah puas dengan jilatanku pada telapak kakinya dia raih kepalaku untuk menjilati kedua betisnya kemudian paha dan selangkangannya. Sesungguhnyalah aku menikmati secara syahwati perilakunya yang 'sok membeli' diriku itu. Sepanjang menjilat dan melumat-lumat kontolku ngaceng kaku disebabkan nikmat gesekan pada tubuhnya.

Ketika sampai pada giliran melumat kontolnya dia tahan kepalaku. Dia membalikkan tubuhnya tengkurap. Dengan tangannya memeluki bantal, kepala dengan dadanya tiarap sambil mengangkat pantatnya hingga nungging tinggi. Dia mau aku menciumi pantat dan lubangnya yang kini terbuka di depan wajahku. Aku semakin terbakar oleh nafsuku. Aku dengarkan dia mengerang nikmat saat lidahku mulai menyentuh bibir analnya.

"Yaacchh.. Enak khan..? Ayoo kamu jilati sepuasmu.. Ceboki pantatku dengan lidahmu..", dia meracau dan mengeluarkan kata-kata vulgarnya.

Aku masih asyik menikmati lubang duburnya saat dia bangkit dan menarikku ke atas dan menindih tubuhnya. Dia menerkam bibirku dan melumatnya. Dia menyedoti ludahku sambil memposisikan tubuhnya. Dia ingin aku memasukkan kontolku ke analnya. Pak Dharma ingin aku menyodominya.

Dia melipat kakinya ke atas hingga analnya siap menjemputi kemaluanku. Tangannya meraih kontolku untuk diarahkannya ke lubang anusnya. Pantatnya diangkat-angkat ke atas. Aku membantunya dengan melumasi lubangnya dengan ludahku. Kutekan kontolku ke sana. Kukocok-kocok agar bibir analnya terkuak.

Akhirnya kami berhasil. Bibir dan dinding anusnya mencengkeram ketat kontolku. Aku mulai memopa pelan. Pak Dharma menlenguh hebat. Di angkat-angkatnya pantatnya. Dia ingin aku mulai mempercepat ayunanku. Nampak banget kehausan Pak Dharma untuk dipuasi syahwatnya.

Dan memang kami langsung tenggelam dalam asyiknya berayun. Kontolku memompa pantatnya seperti piston diesel lokomotip yang sering melintasi rel di pinggiran jalan Krakatau. Aku tak lagi mampu menahan nikmat yang melanda. Saraf-saraf pekaku mendorong untuk lebih cepat meraih ejakulasiku. Aku mempercepat ayunanku. Aku berikan isyarat pada Pak Dharma bahwa air maniku mau muncrat. Dengan histeris dia minta..

"Di mulutku, di mulutku. Aku mau minum spermamu. Aku mau telan air manimu", ujarnya sambil ngos-ngosan menahan gejolak nafsunya.

Saat ledakan itu datang, dengan cepat aku mencabut kontolku. Aku merangkaki tubuhnya dan mengacungkan kontolku ke mulutnya. Pak Dharma telah menganga siap menerima puncratan spermaku. Aku berteriak histeris saat merasakan cairan kentalku merambati salurannya. Berliter-liter spermaku tumpah ke mulut Pak Dharma.

Pak Dharma menunjukkan kerakusannya. Dia begitu histeris menjilati dan mengulum kontolku. Dia telan habis spermaku. Jarinya mencoleki yang tercecer di pipinya, daguna dan sebagian lain di jidatnya. Dia kulum dan isep colekan di jarinya untuk ditelannya.

Aku rubuh di sampingnya. Dia yang masih penasaran karena belum mendapatkan ejakulasinya menyosorkan mulutnya. Pak Dharma melumati ketiakku, dadaku. Dia menggigiti puting susuku. Sambil mendengus-dengus dia kini melumati tubuh sensualku sambil menggosok-gosokkan kontolnya ke bagian tubuhku yang lain. Dan ternyata tak lama..

Aku merasakan dia mulai mencakari tubuhku. Pinggulnya terayun-ayun menggosok-gosokkan kontolnya yang semakin membengkak keras dan kaku ke pahaku. Dan ketika dia tak mampu menhannya, seperti yang aku lakukan tadi, dia merangkaki tubuhku, naik ke atas dan menyorongkan ujung kontolnya ke mulutku yang telah siap mengisep-isepnya. Dia entot mulutku dengan cepat,

"Kamu telan yaa.. Kamu minum spermaku yaa.. Kamu makan yaa..", kata-katanya gemetar menahan gejolak dahaganya. Dan.., diawali dengan kedutan kontolnya semburan hangat spermanya langsung membanjir ke mulutku. Dia begitu cepat meraih kepalaku. Tangannya membekap hidung dan mulutku. Aku tergagap gelagapan. Tak ada pilihan kecuali menelan spermanya yang membanjir itu untuk membasahi tenggorokanku.

Kini Pak Dharma yang rubuh. Dia puas. Air maninya telah tumpah ke mulutku dan berhasil memaksa aku menelan seluruhnya.

"Maafkan aku ya sayaanngg..". Mungkin minta maaf telah membekap mulutku.

Dari caciannya yang dia lontarkan tadi pagi aku telah melakukannya dua hal. Aku telah menjilati pantatnya dan ngisep kontolnya. Bahkan minum seluruh spermanya yang membanjiri mulutku. Kami sama-sama tergolek sambil menarik nafas panjang kami.

Beberapa saat setelah melepaskan lelah, dahaga Pak Dharma belum sepenuhnya tersalurkan. Dia menempelkan bibirnya ke kupingku dan berbisik..

"Aku pengin ngencingi mulutmu sayangg..", sekali lagi dia tunjukkan bahwa aku telah terbeli olehnya. Apapun keinginannya harus aku turuti. Aku hanya diam. Pengin tahu apa yang mau dia lakukan. Mungkin kata-kata dalam caciannya padaku tadi pagi merupakan ungkapan dahaga seksualnya.

Dia memiliki obsesi erotis dimana seseorang dengan penuh nafsunya membuka mulut untuk menerima pancuran kencingnya. Aku membayangkan cairan kuning pekat mancur ke mulutku yang menganga. Aku jadi terangsang. Aku dapat cerita dari teman-temanku sesama waria. Banyak pelanggan mereka yang pengin mengencingi mulut dan tubuhnya atau sebaliknya mereka yang minum kencing para waria.

Aku tak bisa berpikir terlalu panjang. Tanpa tawar menawar Pak Dharma telah turun dari ranjang, berdiri dan mengasongkan kontolnya ke arahku. Dia akan kencing di ranjang ini. Bagaimana nanti petugas hotel? Ah, apapun yang aku lakukan, aku sudah membayarnya.

Dan beberapa saat kemudian.. Ssrr.. Sseerr.. Mancurlah cairan bening kuning pekat dari lubang kontolnya. Aku terpesona. Aromanya seperti Bir Bintang.

Tangan Pak Dharma serta merta menarik rambutku dan menyorongkan pancuran itu ke mulutku. Aku tidak langsung membuka mulutku. Air kencingnya mancur ke wajahku. Aku gelagapan macam anak kecil yang dipaksa mandi ayahnya dengan menyiram mukanya.

"Ayoo.. Minum biar kamu pinterr.. Biar kamu becuss..", tentu apabila aku bukan aku yang Direktur Bank itu, pasti heran akan racau Pak Dharma ini. Namun ketika aku mendengarnya, sempat aku ketakutan, adakah dia tahu siapa sesungguhnya aku? Namun ketakutanku cepat hilang. Semua tingkah laku dan racau Pak Dharma memang merupakan obsesi erotisnya tadi. Mungkin saja itu pelampiasan kekesalan dia pada Ir, Atmodjo. Namun dia memang tak pernah tahu bahwa waria Mona yang kini akhirnya membuka mulut dan minum air kencingnya adalah Ir. Atmodjo sejatinya.

Pak Dharma memuas-muaskan nafsunya dengan menggeluti dan melumat-lumat tubuhku hingga dini hari. Pada jam 3 pagi aku diantarkan kembali ke jalan Krakatau. Dia berikan amplop yang sangat tebal sebagai ungkapan kepuasan akan pelayananku.

Di tengah jalan saat aku meluncur pulang, iseng-iseng kubuka. Pak Dharma memberikan 2 bundelan Rp. 100 ribuan padaku. Pemberian terbesar yang pernah aku terima dari tamuku sejak aku berdiri mejeng sebagai waria Jalan Krakatau.

Besoknya, nggak tahu ada angin apa, sekretarisku bilang bahwa Pak Dharma ingin menghadap aku. Aku tidak menunjukkan keteganganku pada karyawanku. Aku masuk ke kamar toiletku untuk bercermin. Masih adakah bekas-bekas yang tertinggal pada tubuhku karena pergulatan syahwatku bersama Pak Dharma tadi malam?

Dengan diantar Satpam yang terus menungguinya untuk menghindarkan hal-hal yang tak diinginkan, Pak Dharma memasuki ruanganku. Dengan santun dia menyapa aku, mengucapkan salamnya dan meminta maaf akan tingkah lakunya yang kasar padaku kemarin.

Dengan sikap lapang aku sampaikan padanya bahwa aku mafhum. Dan aku menganggap kejadian itu sebagai tak pernah ada. Sebelum pergi aku menyalami tangannya yang kokoh itu. Tangan yang tadi malam meremas-remasi tubuhku. Aku merasakan kontolku kembali ngaceng.

TAMAT