Friday 13th

Rumah kost di kawasan elit itu terlihat tidak berbeda dengan rumah lain di blok yang sama. Bertingkat dua, dengan beberapa kamar sewaan berkelas, dan garasi besar yang cukup untuk beberapa mobil. Namun di dalamnya, sedikit agak berbeda. Meskipun tidak banyak yang tahu apa bedanya.

"Selamat pagi..!" seru seorang wanita muda yang sedang menuruni tangga putar dengan terburu-buru.
"Pagi.." jawab tiga orang lainnya yang sedang duduk mengelilingi meja makan.
Dengan masih terburu-buru, wanita muda berambut coklat itu menarik salah satu kursi dan duduk menghadap ke sebuah gelas besar susu coklat dan dua butir telur rebus.

"Kok buru-buru, Vin..?" tanya seorang pria berkemeja hitam yang sejak tadi sudah sibuk dengan sarapan paginya.
"Iya nih, hampir telat." jawab wanita muda yang dipanggil Vin itu sambil mengetuk-ngetuk telur rebusnya dengan sebuah sendok kecil.
Wajahnya yang manis masih tampak dipenuhi ekspresi gugup, khas orang yang sedang terlambat.
"Emangnya ada apa..?" tanya seorang wanita bertubuh tinggi, berpakaian khas wanita karir yang juga sudah sejak tadi duduk di situ.
"Ada kerjaan yang mesti aku selesaikan siang ini, Mbak." jawab Vin sambil mengupas telur rebusnya.
"Emangnya kerjaan apa sih..?" tanya seorang bapak berkaos kuning yang duduk di sudut meja.
"Eng, sebenarnya proyek lama sih, Pak." jawab Vin, "Cuman saya lupa mengerjakannya, eh, tahu-tahu udah deadline.""Ooo, gitu.." jawab yang lainnya menggumam dan meneruskan sarapan, seperti sudah terbiasa dengan tabiat Vin.

Jam dinding berbentuk kepala kambing masih menunjukkan pukul enam pagi.
"Pagi semuanya..!" sapa suara seorang pria dengan nada malas dari atas tangga putar.
Semua yang duduk mengelilingi meja makan mendongak ke arah tangga putar besar di sudut ruang makan itu dan balas menyapanya.
"Kok belum mandi, Boy..?" tanya bapak berkaos kuning yang rupanya adalah pemilik rumah kos itu, "Mabuk lagi, ya..?"
Yang ditanya tidak segera menjawab. Pria itu menuruni tangga pelan-pelan, dari kusutnya rambut, wajah, dan kaos dalam yang dikenakannya, tampak jelas bahwa pria yang dipanggil Boy ini masih belum lama bangun dari tidurnya.

Boy duduk di samping wanita bertubuh tinggi yang berpakaian kerja tadi, dan mengambil segelas air putih tidak dingin di depannya.
"Eh, kok minum punya orang lain sih..?" seru si wanita itu dengan agak jengkel, "Udah bekas aku, tahu..?"
"Hehehe, justru itu..!" ujar si Boy, "Aku malah nyari yang ada bekas lipstiknya Mbak Santi."
"Kok nggak langsung aja sekalian..?" tanya pria berkemeja hitam yang duduk di sisi lain meja makan, "Rugi kalo cuman gelasnya."
"Alaa, bilang aja kalau elo juga pengen..!" jawab Boy sekenanya sambil pergi ke kamar mandi.

Wanita bertubuh tinggi yang dipanggil Mbak Santi itu menyorotkan mata tajamnya pada si pria berkemeja hitam.
"Eh, apa salahku..? Kan dia yang ngomong..!" tanya pria itu dengan wajah tak bersalahnya. Tapi Santi malah tersenyum.
"Wah, aku udah terlanjur ge-er tadi, Leo." ujar Santi diikuti tawa kecil yang terdengar seperti tawa hantu.
Pak Jim, bapak kost itu ikut tersenyum melihat wajah Leo yang kini pucat, kontras dengan kemeja hitamnya.

"Oke, aku pergi dulu, dadaa semuanya..!" seru Vin sambil berdiri dengan terburu-buru dan berlari ke pintu keluar.
Karena terburu-buru, ia tidak menyadari kalau kaos ketatnya tersingkap, mempertontonkan sedikit kehalusan pinggang dan punggungnya.
"Hati-hati di jalan." kata Pak Jim pada anak kostnya itu, tentu sambil matanya memperhatikan ke arah kaos yang tersingkap tadi.
"Iya, hati-hati..! Biar ntar malam tetap fit untuk Pak Jim..!" canda Santi keras-keras, yang disambut tawa terbahak oleh Leo dan wajah cemberut Pak Jim.

"Kok tahu sih..?" bisik Pak Jim setelah Vin keluar dari ruangan.
"Alaa, Pak Jim nggak usah sok deh..!" jawab Leo, "Siapa yang semalam ngintip Vin di kamar mandi..?"
"Enak aja..! Bukan saya itu..!" seru Pak Jim membela diri.
"Iya, Leo. Pak Jim bener kok, dia nggak ngintip Vin." jawab Santi dengan nada penuh pembelaan, "Yang dia intip itu aku..!"
Mengakhiri kalimatnya, Santi berdiri dan berjalan ke arah dispenser, mengambil air minum di gelas baru, karena gelasnya yang tadi sudah dipakai oleh Boy. Pak Jim tampak tersipu, sementara Leo tersenyum nakal mengejeknya.

"Oke, aku pergi duluan yah..!" seru Santi sambil mengeringkan tangan setelah mencuci peralatan makannya di wastafel.
Tubuh tinggi semampai yang tertutup blazer biru muda itu melenggang ke pintu keluar, rok span pendek yang membalut pinggulnya tampak bergoyang-goyang mengikuti gerakan kedua tungkainya yang jenjang terbungkus stocking transparan.
"Ngeliat apa kalian..?" bentak Santi sambil tiba-tiba membalikkan badan.
Pak Jim dan Leo yang sejak tadi memperhatikan tubuh wanita itu jadi salah tingkah dan pura-pura sibuk dengan sarapannya. Dengan tawa lepas, Santi meninggalkan ruangan.

"Lho, udah pada cabut semua nih, bidadari-bidadarinya..?" tanya Boy yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil membawa handuk, segumpal pakaian kotor, dan cangkir plastik kecil berisi sikat gigi.
Meskipun sudah mandi bersih, jalannya tetap saja gontai karena pengaruh alkohol dan obat-obatan yang dipakainya tiap hari.
"Masih ada yang satu lagi kan, Boy..?" jawab Pak Jim sambil membereskan peralatan makannya.
"Iya, nih." sahut Leo, "Karina kok belum bangun yah, udah enam seperempat."
"Wah, pasti kecapean semalam." kata Boy sambil berjalan naik lewat tangga putar.
Pak Jim dan Leo berpandangan sejenak dengan wajah bingung.
"Emangnya semalam dia tidur di kamar elo..?" seru Leo agak keras agar Boy yang berada di lantai dua bisa mendengarnya.
"Iyaa..!" terdengar teriakan Boy dari lantai dua.
Pak Jim dan Leo kembali berpandangan dengan wajah bingung.

"Ah, nggak usah dipikirin deh Boss." ujar Leo, "Mendingan kita omongin rencana buat tanggal 13 nanti."
"Iya, yah. Bener juga." jawab Pak Jim sambil mengisi tembakau di pipanya dan mulai merokok ala Sherlock Holmes.
"Sebenernya gimana rencana utamanya..?" tanya Leo sambil mencuci piringnya di wastafel.
"Gini, tanggal 13 nanti kan Big Boss datang, nah, dia mau nginap di sini." Pak Jim memulai ceritanya.
"Nginap di sini..?" sahut Leo agak kaget, "Wah, kita mesti kasih sambutan dong..?"
"Ya justru itu yang aku pikirin." jawab Pak Jim sambil mengelus-elus rambut ubannya, "Kamu tahu apa yang dia inginkan, toh..?"
"Tahu sih," jawab Leo kembali ke kursinya, "Tapi apa anak-anak sini ada yang bisa..?"
"Itulah." jawab Pak Jim menghembuskan asap pipanya ke atas, "Santi dan Vin udah nggak mungkin, tadinya aku harap Karina bisa, tapi kayaknya Boy udah mengacaukan rencana kita nih."

"Hmm.. belum tentu juga sih." kata Leo sambil menyiapkan tas kerjanya di meja, "Apa Santi dan Vin udah jelas nggak bisa..?"
"Ya udah pasti." jawab Pak Jim sambil mengencangkan ikatan sarungnya, "Si Vin, sejak ketemu dengan segerombolan preman dulu, dia jadi hidup rada bebas sekarang, sementara si Santi.. yah, kamu tahu reputasi dialah.."
"Ooh, si Big Boss itu mintanya yang masih ting-ting, yah..?" tebak Leo.
"Begitulah..," jawab Pak Jim, "Sulit nyarinya kan..? Belum lagi yang secara sukarela mau menyerahkan diri pada dia."
"Apa harus sukarela..?" tanya Leo sambil menutup resleting tas kerjanya.
"Nggak sih, ya cuman nggak tega aja melihat orang terpaksa." jawab Pak Jim dengan nada bijaksana.
"Hmm.." sebersit senyum dingin tampak di wajah Leo, "Aku sih malah lebih suka ngeliat yang kepaksa."
"Mending kita omongin lagi ntar malam deh." jawab Pak Jim, "Ntar kamu telat juga, lho."
Leo segera membawa tas laptop-nya dan meninggalkan ruangan.

"Pagi Pak Jim." sapa suara seorang wanita dari tangga putar, Pak Jim melihat ke arahnya.
"Pagi, Karina." jawab pria setengah baya itu sambil matanya berusaha mengamati gadis manis yang sedang menuruni tangga putar itu.
Gadis itu berwajah manis dengan senyuman misterius dan cerdas, khas wanita yang lama tinggal di negeri orang. Cara berjalannya pun anggun, namun pagi ini Karina tampak agak aneh berjalannya.
"Karina, kamu kenapa kok jalannya gitu..?" tanya Pak Jim tiba-tiba.
"Eh.. Engg.. Nggak apa-apa kok, Pak." jawab Karina sambil duduk di kursi makan.
Pak Jim hanya diam, namun matanya meneliti tubuh gadis di hadapannya. Dilihatnya leher jenjang gadis itu putih bersih dan halus, namun agak di samping kiri tampak bekas merah, seperti bekas 'cupang', tertutup oleh rambut indahnya yang tergerai sebahu. Pasti ulah si Boy, pikir Pak Jim.

"Semalam kamu tidur sama Boy..?" tanya Pak Jim tanpa basa-basi lagi.
"Iya." jawab Karina sambil meminum secangkir kopi, tanpa basa-basi juga.
"Gimana, gimana, gimana..?" tanya Pak Jim penuh semangat sambil mengeluarkan kertas dan bolpen dari saku kaos kuningnya.
"Ahh, Pak Jim ini pengen tau aja..!" jawab Karina tersenyum, "Mau ditulis di website yah..?"
"Hehehehe.." pria gemuk itu tertawa renyah, "Siapa tahu ceritanya seru."
"Wah, seru sekali pokoknya..!" seru Boy yang ternyata sudah berada di tangga putar, "Dunia seperti milik berdua..!"

Karina tampak tersipu ketika Boy duduk di sampingnya dan mengecup kening gadis manis itu.
"Hmm.." Karina menggumam sambil memandangi langit-langit seolah berpikir-pikir, "Kalau sama Leo rasanya gimana yaa..?"
Wajah Boy tampak memerah, sementara Pak Jimo terkekeh.
"Kalau mo tanya tentang macam-macam rasa, tanya sama si Santi tuh..!" seloroh Pak Jim, "Dia tahu tempat memilih barang bagus, yang belum terkontaminasi obat dan tidak berbau alkohol."
Wajah Boy tampak makin memerah.

********

Malam tiba, garasi rumah besar yang seharian kosong itu kembali terisi oleh beberapa mobil penghuninya. Plat-plat nomor polisi di mobil-mobil itu menunjukkan sikap posesif para pemiliknya.

"Masuk, nggak dikunci..!" seru Santi ketika mendengar ketukan di pintu kamarnya.
Pintu terbuka, dan tampak Leo berdiri di situ.
"Masuk aja." Santi mempersilakan, sambil tetap membersihkan make-up pada wajah tirusnya di depan cermin rias di sudut kamar.
Leo melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Suara nafasnya terdengar agak keras karena situasi di kamar itu hening dan dingin oleh suhu AC. Pria itu memandang berkeliling, mendapati dinding dan langit-langit yang dicat hitam. Di sudut ruangan tampak sekantongpakaian kotor yang siap di-laundry, di sisi lain tampak sebuah meja rias panjang yang juga berfungsi sebagai meja kerja, dengan seperangkat palmtop, laptop, dan telepon seluler dihubung-hubungkan dengan beberapa kabel pendek.

"Mau membuktikan omongan si Boy tadi pagi yah..?" kata Santi sambil tetap memandangi wajahnya sendiri di depan cermin.
Leo tetap diam. Ia menatap tubuh wanita langsing itu dari belakang. Lingerie hitam hampir transparan samar-samar menutupi keindahan tubuh pemakainya. Mata Leo terpaku pada sepasang tungkai jenjang yang telanjang bersilang, begitu halus dan bersih kedua paha itu. Pikiran pria itu segera melayang kesana kemari.

Santi berdiri dan membalikkan badannya menghadap ke Leo, hingga pria itu kini leluasa melihat segalanya, yang hanya terlapisi oleh lingerie hitam agak transparan. Namun sikap dan ekspresi wajah Santi tampak menganggap kondisi itu wajar saja.
"Tumben main ke kamarku." ujar wanita itu sambil tersenyum dan melangkah mendekati Leo yang berdiri terpaku di depan pintu.

Setelah keduanya berhadapan begitu dekat, Santi mencolek dagu Leo, membuat wajah pria itu terangkat agak ke atas hingga matanya bertatapan dengan mata Santi yang agak lebih tinggi.
"Kamu keren pakai kaos hitam begini." puji Santi sekenanya, karena memang Leo tidak punya baju berwarna selain hitam.
Leo tersenyum dingin, matanya menyorot tajam ke arah mata Santi yang juga tidak kalah tajam. Santi malah mendekatkan wajahnya dan makin tajam memandangi mata Leo.
"Udah, nggak usah pakai ini segala..!" ujar Santi sambil memasukkan tangannya ke kantong celana Leo dan mengeluarkan sebuah borgol.
"Ini juga nggak usah dipakai..!" ujar wanita itu lagi sambil merampas cambuk dari tangan kanan Leo dan membuangnya ke lantai.
"Duduk situ..!" Santi menyuruh Leo seperti menyuruh anak kecil, "Mau ngomong apa kamu..?"

"Ada yang pengen aku omongin." ujar Leo setelah duduk di sofa yang terhampar di sudut kamar Santi yang dindingnya dicat hitam itu.
"Kok kayaknya serius amat sih..?" jawab Santi sambil melempar tubuh lencirnya ke atas springbed di samping sofa tempat Leo duduk.
"Ya, emang serius." jawab Leo, "Pak Jim pengen ngomong sama kita."
"Lho, kan uang sewa udah aku bayar di muka untuk setahun..?" kata Santi dengan nada tidak terima.
"Bukan tentang itu." jawab Leo lagi, "Tapi tentang Jumat malam."
Santi menjulurkan lengannya yang panjang ke meja rias meraih Palm IIc-nya yang tergeletak disitu.

"Oh, iya yah, jatuh pas tanggal tiga belas." gumamnya setelah melihat kalender di komputer sakunya itu, "Emang apa bedanya dengan Jumat tanggal 13 yang tahun lalu..?"
"Bedanya adalah.." Leo menghela nafas panjang dan menyandarkan kepala di sandaran sofa, "Big Boss datang."
"Kan emang tiap Jumat tanggal 13 dia selalu datang..?" jawab Santi sambil mengembalikan Palm-nya ke meja rias.
"Iya sih," jawab Leo lagi, "Kali ini dia mampir dan menginap di sini."
Wajah Santi yang biasanya tampak tajam itu kini agak mengekspresikan kekhawatiran dan ketakutan, sesuatu yang jarang terpancar dari wajah tirusnya.

Kamar mandi di lantai bawah agak terlalu besar untuk dijadikan hanya kamar mandi. Itu sebabnya para penghuni rumah itu meletakkan mesin cuci disitu, dan menjadikannya ruang cuci, sekaligus kamar mandi darurat.

"Ehh, Pak Jim genit amat sihh..!" desah Vin ketika bapak kost itu menggelitik pinggangnya.
"Hihihi." Pak Jim terkekeh, "Abis kamu sih, masa nyuci baju aja mesti pakai kemeja ketat gitu."
Vin sedang membungkuk di depan mesin cuci yang berisi baju-bajunya. Tangannya yang masih dipenuhi busa deterjen itu membalas Pak Jim, menggelitik pinggang pria setengah baya itu.
"Eits..!" seru Pak Jim sambil berkelit, namun kaos singletnya tetap terkena busa deterjen, "Yah, jadi basah nih."

"Hihihihi..!" Vin tertawa nakal, "Nggak apa-apa kan, Pak..! Biar keliatan transparan..!"
"Saya balas lho..!" seru Pak Jim sambil mencipratkan air dari mesin cuci ke arah Vin, membuat kemeja putih ketat yang dikenakan gadis itu jadi basah di bagian depannya.
"Iiih..! Dingin dong, Pak..!" seru Vin manja.
"Kalau dingin, peluk saya doong..!" seru Pak Jim sambil tetap menciprat-cipratkan air ke kemeja Vin hingga apa yang di dalamnya kini tampak dari luar.
"Iya deh..!" Vin menubruk pria itu sambil memeluk erat-erat hingga keduanya jatuh berguling-guling di lantai porselin yang dingin. Keduanya basah kuyup dan tertawa-tawa.

"Eh, pintunya dikunci dulu ya, Pak..!" kata Vin yang tentu saja membuat Pak Jim mengangguk keras-keras.
Vin berdiri untuk mengunci pintu, namun Pak Jim merengkuh pinggangnya dari belakang. Pria setengah baya bertubuh tambun itu mendekap erat Vin dari belakang dan menciumi tengkuk wanita muda itu. Tangannya pun tidak segan-segan meremas-remas pinggang Vin yang kini tertutup kemeja basah.
"Ehh, sebentar doong.. uhh.. kan pintunya mesti saya kunci dulu..!" ujar Vin sambil menggelinjang memberontak.
"Iya deh, sana..!" Pak Jim melepaskannya.

Vin berlari menuju pintu, mengambil anak kunci, menutup pintu, dan mengunci dari luar.
"Naah, sudah saya kunci ya pak..!" seru Vin sambil tertawa-tawa dari luar kamar mandi.
"Eh, curang kamu yah..!" seru Pak Jim dengan nada tidak terima dan menyumpah-nyumpah.
"Buka pintunya..! Ada yang perlu saya omongin nih..! Penting..!" teriak Pak Jim dari dalam kamar mandi.
"Hihihi, tentang apa nih, Pak..?" jawab Vin sambil tertawa-tawa, "Kok kedengarannya serius..? Hahahaha.."
"Aku tidak ingin bercanda..!" jawab Pak Jim.
Suasana mendadak hening. Pintu segera terbuka kembali, dan pria setengah baya itu tersenyum menatap apa yang dilihatnya di depan mata. Pintu tertutup dan kembali terkunci dengan sendirinya di belakang tubuh Vin yang kini tidak tertutupi selembar benang pun.
"Naah, kalau gini kan lebih enak ngomong-ngomongnya." bisik Pak Jim di telinga Vin.

********

Kamar tidur besar berukuran 8 x 4 meter, hitamnya cat pada dinding dan langit-langit, memberikan kesan suram dan gelap pada kamar yang sebenarnya terang-benderang.

"Ooh, gitu toh maunya.." ujar Santi setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Leo.
"Iya, apa kira-kira kamu bisa bantu..?" tanya Leo sambil berdiri dari sofa, mengamati tubuh Santi yang tergeletak di tengah ranjang.
"Hm.. Mungkin bisa.. mungkin juga enggak." jawab Santi menatap mata Leo tajam-tajam.
"Oke, ntar setelah selesai beres-beres turun yah..?" jawab Leo lagi, "Kita mungkin udah ditunggu sama Pak Jim."

Leo lalu melangkahkan kakinya ke pintu, namun langkahnya terhenti ketika bahunya terasa ditarik oleh jari-jari wanita. Pemuda itu membalikkan badan dan mendapati Santi masih setengah terbaring di tengah ranjang yang cukup jauh dari tempatnya berdiri. Mata wanita itu melirik ke arah pintu, anak kunci berputar, dan pintu terkunci.
"Jangan keluar dulu, dong." ujar Santi datar.
Wanita itu bangkit berdiri dan menarik lingerie hitamnya ke atas, dan melemparnya ke lantai, membiarkan Leo bisa melihat apa-apa yang ingin dilihatnya sejak tadi.

Secara refleks, Leo menarik kaosnya sendiri ke atas hingga terlepas, memamerkan otot-otot dadanya yang lumayan terlatih, dan melangkah mendekat. Santi kembali membaringkan tubuhnya di tengah ranjang, kedua tangannya merentang ke samping, kepalanya yang tak berbantal tampakmenengadah ke atas, memejamkan mata seolah menyerahkan segalanya.
"Biasanya tidak semudah ini." bisik Leo dalam hati.
"Kali ini kamu beruntung." ujar Santi menjawab suara hati Leo, "Aku sedang capek dan ingin istirahat."
"Lantas..?" tanya Leo, masih di dalam hati.
"Terserah kamu mau melakukan yang bagaimana." jawab Santi, sambil tetap dalam posisi semula.

Leo membungkuk, mengambil cambuk panjang tergulung rapih yang tadi dilemparkan oleh Santi, ia juga memungut borgol keemasan dari lantai. Diperlihatkannya kedua benda itu pada Santi, seolah meminta persetujuan, namun Santi tetap tidak bergerak.

********

Lantai kamar mandi terasa dingin mengalasi punggung telanjang Vin. Wajah wanita muda itu mengekspresikan rasa nikmat tiada tara, bibirnya yang indah ternganga mendesahkan rintihan-rintihan memelas, kedua matanya setengah terbuka dan bola matanya agak terputar ke atas, menampakkan putihnya saja. Kedua buah dadanya yang kenyal sedang berada dalam kepalan tangan Pak Jim yang meremas-remas gemas. Pinggang gadis itu sedikit terangkat karena lutut-lututnya mengait leher pria setengah baya itu. Tubuh mereka bergoyang-goyang kencang mengikuti tusukan-tusukan cepat batang kejantanan yang kaku pada liang kewanitaan yang lembab basah.

"J-jadi.. kamu sudah tahu r-rencana hari Jumat b-besokggh..?" seru Pak Jim sambil terus menggoyangkan badan menusuk-nusukkan kejantanannya pada tubuh mulus Vin.
Sambil tetap meringis-ringis keenakan, wanita itu menganggukkan kepalanya. Gesekan-gesekan batang kokoh itu terasa begitu nikmatnya hingga mulut wanita itu tak mampu menyuarakan apa-apa selain erangan memelas.
"K-kamu bisa p-pastikann t-t-tidak ada.. p-pengacau kann..?" seru Pak Jim lagi, sambil mempercepat goyangannya dan menjepit dua puting kecil di dada Vin dengan ibu jari dan telunjuknya.
Vin makin liar merintih-rintih keras, gerakan badannya makin tak terkendali, menggeliat-geliat, kepalanya terbuang ke kiri dan kanan. Rambutnya yang basah oleh lantai kamar mandi terlihat begitu seksi menutupi sedikit dahinya.

"B-b-bisa nggakkgh..?" tanya Pak Jim lagi, meyakinkan.
"Uhh.. S-saya b-b-bisaahh.." rintih Vin sambil kedua tangannya memegangi punggung tangan Pak Jim yang meremas-remas buah dadanya yang ranum, "Oughh.. P-P-Pakk.. S-s-sayaa.. aaghhkk.."
Bertepatan dengan rintihan panjang Vin, Pak Jim juga melolong panjang dan menyemprotkan isi kejantanannya ke dalam tubuh Vin, lalu keduanya mengejang sesaat. Dari luar ruangan terdengar suara seperti lolongan anjing yang menyayat kuping.

********

Dinginnya AC di kamar tidur itu tak lagi terasa oleh Santi. Wanita itu sedang terpejam-pejam menikmati perlakuan Leo padanya. Kedua tangan dan kakinya merentang ke sudut-sudut ranjang, terikat rapih oleh cambuk dan borgol milik Leo, membuatnya tak begitu leluasa menggeliatkanbadan ketika rangsangan datang, ia hanya mampu mengerang dan memiringkan leher jenjangnya.

"Uhh.. Leoo.. pleasee..!" rintih Santi dengan kening berkerut dan gigi menggeretak tak sabar.
"Sabar dong, Non.." jawab Leo santai, terdengar menjengkelkan, "Aku masih menikmati ini semua."

Tangan pria itu memegang sebuah gelas sloki kosong, yang digerakkannya menelusuri tubuh telanjang Santi. Dinginnya kaki gelas yang merambati tubuhnya membuat Santi tergelinjang-gelinjang menahan geli, namun kaki dan tangannya yang terikat menghalangi geraknya. Entah sudah berapa kali kaki gelas itu merambati leher jenjangnya, menggelitik paha bagian dalamnya, atau berputar-putar di atas kedua puting susunya yang telah mengejang kaku. Butir-butir keringat dingin mulai menghiasi kulit halus wanita bertubuh tinggi itu. Akhirnya, kaki gelas itu menuruni perutnya yang ramping, merambati rambut-rambut halus di selangkangannya, lalu turun lagi.. turun lagi.. lalu berhenti tepat di atas sebentuk bibir lunak yang melintang di tengah pangkal pahanya.

"Ngg.. don't stop there.. pleasee.." terdengar kembali rintihan memelas dari bibir tipis Santi.
"Hmm.. tadinya sih mau terus turun, tapi aku tertarik dengan dua benda ini." jawab Leo sambil meletakkan gelas sloki itu di ranjang, membasahi jemarinya dengan keringat di pinggang Santi, lalu jemari kekar itu menjentik-jentikkan puting-puting susu Santi, membuat wajah pemiliknya kian memelas.
Kedua alis wanita itu seperti mengumpul di keningnya, matanya terpejam rapat, giginya terkatup meskipun bibirnya ternganga. Kepalanya terbuang ke kiri kanan berusaha mati-matian menahan rangsangan rasa geli yang terasa begitu menyiksa karena tak mampu ditahan itu.

"Soo beautiful." ujar Leo sambil tersenyum menatap ekspresi 'korban'-nya yang seperti perpaduan dari ekspresi kesakitan dan terangsang berat.
Sesekali kuku tajam Leo menusuk puting-puting kecil itu. Rasa sakit yang sesekali muncul di tengah kenikmatan membuat wajah Santi kian merangsang, nafasnya tersentak-sentak, dan rintihannya tertahan-tahan. Leo menatap dengan nanar, pemandangan inilah yang dinanti-nantikannya sejak dulu.

Leo melepaskan kedua tonjolan kecil yang telah membengkak itu, memberi Santi kesempatan menarik nafas. Dada wanita itu naik turun mengikuti nafasnya yang terengah-engah agak lega ketika Leo menghentikan rangsangan mautnya. Namun wanita itu segera terjingkat-jingkat ketika Leo menyentuh-nyentuh bibir kewanitaannya dengan kaki gelas sloki tadi. Tubuh langsing yang terikat erat itu mengejang-ngejang menahan rangsangan yang semakin meledak-ledak. Wajahnya meringis menahan siksaan itu, jeritan-jeritan keras terdengar terpatah-patah tertahan. Kaki gelas sloki kecil itu bergerak melingkar-lingkar, menggesek, mengait-ngait bibir kewanitaan Santi, membuat tubuh pemiliknya mengejang-ngejang.

Wanita itu tak lagi merasakan kenikmatan, melainkan rasa gatal yang amat geli yang membuatnya ingin segera mengatupkan kedua pahanya, namun ikatan di kakinya terlalu kuat. Perasaan dalam otaknya bercampur aduk, stress, gelisah, sekaligus amat sangat terangsang.

"Ohh.. Leoo.. pleasee.. stopp..!" tanpa henti-hentinya bibir wanita itu menjerit-jerit histeris.
Kadang-kadang giginya menggeretak keras, kadang-kadang matanya seperti memandang tajam dengan dua alisnya terangkat ke atas, kadang-kadang bola matanya berputar ke atas hinggahanya putihnya yang terlihat. Sekujur tubuh tinggi itu kini berkilat-kilat dibasahi keringat yang mengucur deras. Di selangkangan dan pangkal pahanya, bukan hanya keringat yang membasahi, cairan pelumas mengalir seperti membanjir dari liang kewanitaan yang bibirnya telah mengembang berdenyut-denyut oleh gesekan gelas itu.

Sambil tersenyum, Leo mengambil sedikit lelehan cairan kewanitaan Santi dengan jari dan menjilatnya. Lama kelamaan, pria itu mulai terangsang, celana hitamnya tak lagi mampu menyembunyikan tonjolan besar dari baliknya. Jeritan-jeritan Santi semakin tak terkontrol, berbagai sumpah serapah mengalir keluar dari bibir tipisnya di sela-sela erangan menyayat.

Tak ingin memperpanjang waktu, Leo melucuti pakaiannya sendiri. Ia berdiri mengamati tubuh korbannya yang terikat erat dengan kaki dan tangan merentang ke sudut-sudut ranjang. Tubuh indah dan ramping itu terbujur tegang, sesekali mengejang-ngejang seperti sekarat. Wajahyang tadinya begitu cantik kini tampak memperlihatkan ekspresi frustrasi yang amat sangat. Bibirnya komat-kamit menggumamkan sesuatu yang tak jelas terdengar.
"Baik, permainan diakhiri." ujar Leo sambil merentangkan kedua tangannya ke udara.
Borgol dan cambuk yang mengikat tangan dan kaki Santi terlepas.

Diluar dugaan Leo, Santi segera melompat dari ranjang dan menerjang tubuh pria itu hingga jatuh telentang di lantai. Seketika itu juga, wanita yang tampak kesetanan itu duduk di atas pinggul Leo, melesakkan tonggak kejantanan yang kaku itu pada liang berlumpur yang dari tadi menunggu. Lalu dengan cepat dan terburu-buru, tubuh lencir yang dibasahi keringat itu bergerak naik turun sambil menjepit kejantanan Leo dengan otot-otot kewanitaannya. Tidak hanya itu, kedua telapak tangan wanita itu menutupi wajah Leo hingga ia tak dapat melihat apa yang terjadi, hanya merasakan otot kejantanannya seperti sedang diperas-peras olehsesuatu yang lunak, kenyal, namun licin dan hangat. Terdengar juga oleh pria itu rintih dan erangan tertahan yang berangsur terdengar seperti lolongan panjang.

Beberapa menit kemudian, Leo merasakan gerakan-gerakan cepat wanita itu terhenti tiba-tiba. Pada saat yang sama, ia menyemprotkan seluruh isi kejantanannya keluar. Membuatnya lemas sesaat. Ketika ia membuka mata, dadanya terasa perih. Garis-garis luka ringan menggores dadanya, mengalirkan sedikit darah. Ia memandang berkeliling, didapatinya Santi sudah berdiri di dekat pintu kamar dengan mengenakan kaos ketat putih dan celana pendek hitam tersenyum kepadanya.
"Ayo, mungkin kita sudah ditunggu Pak Jim." seru Santi dengan datar, seolah tidak terjadi apa-apa.

Meskipun malam hampir pagi, di ruang makan rumah besar itu lampu masih menyala terang benderang. Seandainya bisa berpikir, mungkin meja makan berbentuk elips itu kebingungan, untuk apa orang-orang mengelilinginya di waktu seperti ini.

"Oke, aku rasa kalian sudah tahu masalahnya." Pak Jimo angkat bicara sambil melangkah berkeliling ruangan, mengitari meja makan tempat di mana Leo, Santi, dan Vin duduk manis.
"Hm.. saya rasa gitu." jawab Leo, "Kita harus segera mencari hadiah untuk Boss itu kan..?""Benar..!" jawab Pak Jim keras, seraya meniupkan asap pipanya ke bawah, "Sebelum matahari terbenam."
"Kita masih punya waktu panjang." ujar Santi tenang, "Masih banyak yang bisa dilakukan."
"Tidak semudah itu..!" tukas Pak Jim, "Apalagi di jaman seperti sekarang ini."

"Engg.. seandainya persembahan itu gagal diberikan, apa akibatnya..?" terdengar suara Vin bertanya.
"Ia akan murka." sahut Leo, "Dunia akan kembali ke masa-masa yang tidak enak.. sangat tidak enak, maksudku."
"Seberapa tidak enak..?" tanya Vin dengan wajah penuh perasaan ingin tahu.
"Jauh lebih tidak enak dari yang kamu pernah bayangkan." ujar Santi lirih sambil matanya menerawang jauh ke langit-langit.

"Apakah kita juga akan dirugikan karena kondisi tidak enak itu..?" tanya Vin memaksa keingintahuannya.
"Sebenarnya tidak." sahut Leo lagi.
"Tapi orang-orang tak bersalah itu yang akan menanggung kemarahan Big Boss." sahut Pak Jim seperti menyambung omongan Leo.

"Hm.. Adakah pengganti persembahan itu..?" tanya Santi analitis, "Maksud saya, mungkin persembahan dalam bentuk selain kesucian dan kehormatan..?"
"Sebenarnya ada sih." jawab Leo ragu sambil menatap ke arah Pak Jim yang juga balik menatap ke arahnya.
"Apa itu..?" tanya Vin tidak sabar.
"Nyawa salah satu dari kita." jawab Pak Jim sambil menunduk lesu.
Suasana kembali hening.

********

Matahari terbit, suasana di rumah besar itu tidak seceria pagi-pagi biasanya. Meja makan dikelilingi empat orang berwajah lesu dan tegang, yang duduk tanpa saling bicara.

"Selamat pagi..!" seru Karina sambil berlari menuruni anak tangga di tangga putar.
Keempat orang yang duduk mengelilingi meja makan itu melirik ke arahnya sambil hanya memperlihatkan sedikit senyum.
"Ngg.. aku salah omong ya..?" ujar Karina merasa bersalah ketika mendapatkan wajah keempat orang yang dikenalnya itu seperti dipenuhi hawa yang aneh.
"Nggak apa-apa kok, Khris." ujar Santi menghibur, "Cuman lagi omong-omong aja."
"Oh, diskusi toh..?" jawab Karina sambil duduk di kursi makan dan mulai mengoleskan selai ke atas rotinya, "Tentang apa..?"
"Ngg, tentang perluasan rumah kost." jawab Vin sekenanya, berusaha menyembunyikan perkara.

Sebagai yang paling junior di antara ketiga rekannya, ia merasa jeri juga dengan apa yang bakal terjadi malam nanti.
"Waah, kebetulan dong..!" seru Karina, yang disambut oleh tatapan bingung orang-orang lainnya, "Nanti malam akan ada beberapa teman kuliah yang menginap di sini mengerjakan tugas, siapa tahu mereka jadi tertarik kost di sini kalau sudah diperluas nantinya."
Serentak wajah-wajah keempat orang lainnya berubah menjadi ceria.

"Jam berapa mereka datang..?" tanya Santi.
"Cowok apa cewek..?" tanya Vin.
"Yang cewek, oke nggak orangnya..?" tanya Leo.
"Kok pada rebutan ngomong sih..?" tanya Karina balik, "Mereka datang ntar sore, dan mereka cewek semua, puas..?"
"Oh gitu, Khris." ujar Pak Jim dengan nada bijak, "Rencananya, kamu dan teman-teman nanti mau tidur di kamar mana..?"
"Oh, di kamar saya aja, Pak." jawab Karina, "Nggak apa-apa kok dempet-dempetan."

"Pak Jim, mungkin ranjang-ranjang yang di gudang bisa dipindahin ke sini buat tidur teman-teman Karina..?" tanya Santi dengan nada bersemangat, namun matanya melirik tajam, memberi isyarat pada teman lain."Oh, ide bagus!" jawab Pak Jim, "Gini saja, teman-temanmu boleh tidur di ruang makan kalau mereka mau, berapa orang sih..?"
"Aduh, nggak usah repot-repot." ujar Karina sopan, "Cuman tiga orang kok, lagian cewek semua lagi. Kan takut tidur sendirian di ruang makan sebesar ini..?"
Mengakhiri kalimatnya itu, Karina berpamitan dan segera berlari keluar meninggalkan rumah karena sudah hampir terlambat.

"Gimana pendapat kalian..?" tanya Pak Jim sepeninggal Karina.
"Bisa diatur." ujar Leo singkat.
Semuanya mengangguk-angguk tanda setuju.

"Hayoo..! Apanya yang bisa diatur..?" terdengar suara Boy tiba-tiba.
"Boy..? Dari mana kamu..?" tanya Vin lugu.
"Aku sedari tadi ada di kamar mandi, dan aku dengar semua yang kalian omongkan." jawab Boy merasa menang, "Kalian berencana ngerjain Karina yaa..?" sambungnya dengan nafas yang beraroma alkohol.
Semuanya hanya diam mendengar perkataan Boy yang agak mengagetkan itu.
"Dan.. perlu kalian ketahui juga," Boy kembali angkat bicara, "Aku duduk di tangga semalaman, mendengar pembicaraan kalian."

"Ooh, Well.." kata Santi setelah semuanya diam sesaat, "Lalu apa pendapat kamu..?"
"Cerita yang menarik untuk dipublish di website..!" jawab Boy menyebalkan, "Gue ngga sabar nunggu komentar teman-teman kalau ini semua diceritakan, Hahahaha! Pasti seru deh!"
"Hihihi, benar tuh!" sahut Vin sambil berdiri mengemasi peralatan makannya dan berjalan ke wastafel, "Pasti seru!"
"Gue juga akan cerita ke teman-teman gue yang polisi aah..!" kata Boy lagi.
Santi, Leo, dan Pak Jim saling berpandangan. Kini di mata Boy, ketiga orang itu tampak begitu konyol dan menggelikan.

"Gimana Boss..?" Boy kembali berkata sambil menatap Pak Jim dengan pandangan tidak fokus, "Apa kira-kira sepuluh juta cukup untuk ongkos diem..?"
"Maumu apa, Boy..?" tanya Pak Jim setengah membentak.
"Alaa, dia kan cuman cari tambahan ongkos untuk beli jamu-jamunya itu." tukas Santi dengan nada santai yang datar.
"Enak aja jamu..!" sahut Boy tidak terima, "Ini barang mahal tauu! Si Karina aja sampai mabuk kepayang dibuatnya..! Hahaha.."

Leo hanya diam, mencibirkan bibir dan menggeleng-geleng menatap ke arah Boy yang masih agak mabuk.
"Mau jadi apa elo ntar, Boy..?" ujar Leo seperti menasehati, "Ngga sayang duit elo..?"
"Lho..! Jangan membelokkan arah pembicaraan..!" jawab Boy lagi, "Kalian akan memelihara adik kesayangan kalian ini kaan..? Hehehe, seperti kata Mbak Santi, kalau tong sampahnya ngga ditutup, baunya akan kemana-mana..! Hihihi.."
"Memangnya kamu tahu apa yang kami omongin..?" tanya Vin sambil mencuci peralatan makannya.
"Hmm.. honestly enggak sih." sahut Boy dengan nada dibuat-buat, "Tapi itu jelas rencana nggak baik kaan..?"

"Kalau aku cerita ke Karina," lanjut Boy lagi, "Pasti teman-temannya nggak akan jadi nginep di sini, hingga boss kalian akan nggak senang, iya kan..?"
"Ah, si Boss itu nggak peduli kok." jawab Pak Jim mencoba menutup-nutupi.
"Oh ya..?" goda Boy, "Berarti kalian nggak harus sediakan perawan-perawan gratisan buat dia dong..?" Boy kembali terkekeh.
"Tapi.. nggak apa-apa deh." kata Boy lagi, "Mungkin gue bisa nonton adegan seru Boss kalian itu dari atas tangga putar. Hahaha, pasti seru kaan..? Eh, si Karina boleh nggak ikutan ngeladenin Boss itu..? Dijamin barangnya oke deh..!"

Santi, Leo, Pak Jim, dan Vin hanya menggelengkan kepala menyaksikan tingkah laku Boy. Remaja itu memang satu-satunya 'orang biasa' yang tinggal di situ selain Karina. Namun apa yang diketahuinya kini sudah terlalu jauh untuk ukuran orang biasa. Mereka tetap diam saja melihat Boy dengan perasaan menangnya kembali naik ke tangga putar, menuju kamarnya di lantai dua, tempat ia menghabiskan waktu dan uang orang tuanya setiap hari.

"Vin, tolong bereskan dia." ujar Pak Jim, yang disambut dengan anggukan setuju Leo dan Santi.
"I'll try my best." ujar Vin mantap.

********

Berbeda dengan kamar-kamar lain di rumah itu, yang umumnya rapih dan bersih, kamar yang satu ini nuansanya lain. Dindingnya dipenuhi gambar-gambar wanita tanpa busana dari halaman tengah majalah impor yang tertempel tak teratur, hampir di semua sudut tampak onggokan pakaian kotor, di sisi lain berserak botol-botol minuman mahal. Di tengah kamar yang cukup luas itu tampak sebuah botol kecil berisi spiritus yang disumpal kain bekas, beberapa kertas timah, dan bungkus koran bekas yang tadinya dipakai untuk membungkus barang-barang konsumsiorang-orang terbuang. Aroma ruangan pun tak kalah jeleknya, dipenuhi dengan bau aneh yang memusingkan kepala. Aroma itu tidak pernah bisa keluar, karena jendela kamar tidak pernah dibuka dan AC ruangan selalu menyala.

"Boy.." suara lembut seorang wanita membangunkan Boy dari tidur rutinnya pada jam sembilan pagi.
"Eh..? Vin..?" Boy terbangun dan mengenali sosok tubuh indah yang berdiri di hadapannya.
Sosok tubuh wanita yang polos tanpa tertutup apa-apa. Lekuk liku tubuh indahnya tampak begitu jelas di mata Boy, kulit yang putih bersih, rambut-rambut halus di bawah perut, dada indah yang berhiaskan tonjolan-tonjolan cantik berwarna kecoklatan. Boy menggosok-gosok matanya, tak pernah khayalannya tampak begitu nyata.

"Boy.." terdengar lagi suara Vin, kali ini seperti lebih merdu dan basah, "Ini nyata, bukan khayalanmu."
Pemuda kurus itu terduduk di ranjangnya, sejenak ia tampak terperangah, namun sorotan matanya yang agak kosong kembali tampak mengejek.
"Ya jelas ini kenyataan." ejek Boy, "Kalau ini khayalan, bukan elo yang berdiri di situ."
Vin tersenyum kecut agak tersinggung. Tubuhnya yang amat indah itu tak sepantasnya mendapat pernyataan seperti itu, namun gadis itu tetap berusaha tenang.

"Lalu siapa..?" tanya Vin, masih dengan suara manja, "Siapa yang kamu suka khayalin..?"
"Hmm.." Boy menggumam sambil menyalakan sebatang rokok, menambah pengap suasana, "Cameron Diaz, Vivian Chow, atau.. paling enggak Mbak Santi deh." lanjutnya dengan nada mengejek.
"Kalau aku..?" tanya Vin, pura-pura memasang wajah kecewa.
"Kalau yang seperti elo mah, di pinggir jalan juga banyak." ejek Boy terus, "Paling-paling cepek ceng (seratus ribu) dapet dah."
Vin nyaris tak dapat menyembunyikan amarahnya, untung poninya cukup panjang untuk menutupi wajah manisnya yang kini mulai bersemu merah menahan jengkel.

"Kalau Karina..?" tanya Vin memancing, "Masa dia lebih oke dari aku..?"
"Hahahaha..!" Boy terbahak sambil mematikan puntung rokok di dinding, menambah kotor, "Dia mah cuman sampingan. Gratisan lagi..! Hihihi, lumayan deh, dapet perawan gratis, seperti Boss elo..!"

********

Sebuah gedung perkantoran di pusat kota. Tempat di mana orang-orang dengan 'sense-of-urgency' tinggi berlalu lalang sibuk. Di salah satu koridor di lantai sebelas, tampak seorang wanita betubuh tinggi melangkah cepat dengan membawa beberapa lembar berkas kerja.Sesekali ia tersenyum ramah membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya.

Terdengar bunyi melodi dengan nada tinggi dari HP yang terselip di saku blazer wanita itu.
"Halo, Vin. Ada apa..?" jawab Santi yang telah mengenali nomor HP Vin yang tampak di monitor HP-nya.
"Aduuh, lagi repot nih..!" seru Santi lagi, kali ini dengan wajah agak menahan jengkel.
Orang-orang yang lalu lalang berpapasan dengannya tidak ada yang berani menyapa kalau wajahnya sudah seperti itu.
"Oke, aku balik deh, sekitar setengah jam lagi." seru Santi lagi, seraya menutup flip dan mengantongi HP-nya kembali.

"Nova, tolong kamu cancel appointment-ku ntar sore yah..?" seru Santi setibanya di kamar kerja pribadinya.
"Oh..? Memangnya mau kemana, Mbak.. eh, Bu..?" jawab asisten Santi yang juga teman dekatnya itu.
"Urusan biasa lah." jawab Santi acuh tak acuh, sambil memasang bando di kepala, agar poninya tidak menganggu pandangannya.
Dengan kacamata kecil dan bando merah jambu itu, wajahnya tampak makin cantik dan menggemaskan tiap lawan jenis. Namun kali ini wajah menggemaskan itu tampaknya sedang tidak dalam 'mood' untuk bersenang-senang.

"Masa siang-siang gini mau hunting, Bu..?" tanya Nova si asisten, "Ngajak-ngajak doong.."
Santi hanya tersenyum dingin sambil menatap tajam pada Nova, membuat si asisten itu mengerti bahwa atasannya sedang serius.
Sejenak kemudian wanita itu telah meluncur cepat di atas mobilnya.

********

Di sebuah cafe kecil, di sudut sebuah plaza, tempat dimana para yuppies makan siang, dan para pengusaha kelas teri membicarakan proyek-proyek imajiner, juga tempat sejumlah anak pejabat melobi para tukang pukulnya, agak ke sudut, tampak tiga orang pria berpakaian rapih duduk mengelilingi sebuah meja bundar kecil dengan secangkir Espresso di hadapannya masing-masing.

"Nah, jadi gimana proposalnya udah kamu bikin..?" tanya salah seorang pria itu pada temannya.
"Udah, malah udah aku kirimkan." jawab temannya yang mengenakan kemeja hitam dan dasi putih.
Deringan suara ponsel mengganggu keasyikan bicara mereka.
"Halo, Santi..? Ada apa..?" tanya si kemeja hitam menjawab ponselnya, "Aku lagi repot nih."
"Eh.. what..?" katanya lagi, "Oke, oke, oke.. Nggak usah marah-marah, akuakan balik sekarang juga."

Leo mematikan ponsel dan memandang ke arah dua rekan kerjanya itu.
"Kenapa..? Ada panggilan dari bini yah..?" tanya seorang pria yang lainnya.
"Hahaha, Son..!" ujar yang satunya lagi, "Sejak kapan Leo punya bini..?"
"Eh, sorry yah." Leo memotong gurauan kedua temannya, "Kevin, Sonny, aku mesti cabut nih, kita lanjut besok, oke..?"
Tanpa menunggu respon dari kedua temannya, Leo beranjak berdiri dan melangkah cepat meninggalkan cafe.

"Sejak pindah rumah itu, dia jadi aneh ya Son..?" ujar Kevin mengomentari Leo.
"Yah.." Sonny mengangkat bahu, "Bukan dia kalau nggak aneh gitu."

********

Kembali ke rumah kost besar di awal cerita tadi. Saat matahari sudah mulai condong ke barat. Di ruang makan, empat orang gadis muda berpakaian trendy sedang mendiskusikan sesuatu yang tampaknya penting bagi mereka.

"Oh, ini teman-teman kamu, Karina..?" tanya Pak Jim yang baru saja pulang.
"Iya, Pak, kenalkan, Sweety, Tessa, dan Widya." sambut Karina memperkenalkan teman-temannya.
"Wah, cantik-cantik sekali teman kamu." kata pria setengah baya itu sambil berpikiran macam-macam, "Saya jadi merasa terlalu cepat dilahirkan."
Keempat gadis itu tertawa mendengar gurauan si bapak kost.
"Tapi Om dulu pasti keren deh." kata Sweety.
"Iya, sekarang aja juga masih keren lhoo." goda Widya menambahkan.
Keempatnya lalu tertawa-tawa lagi.

Diam-diam, dari tangga putar di sudut ruangan, bapak kost itu mengintai keempat anak itu dengan pandangan menganalisa. Keempatnya sama-sama muda, cantik, ceria, dan enerjik. Tapi yang namanya Tessa itu agak pendiam, dia tidak ikut menggoda aku tadi, pikir Pak Jim.

"Aku pulang..!" terdengar suara Santi ketika wanita itu muncul dari pintu masuk ke ruang makan.
"Eh, Mbak Santi, tumben udah pulang..," kata Karina menyambut kedatangan 'kakak kost'-nya itu, "Kenalin teman-temanku."
Santi berkenalan dengan ketiga teman Karina, matanya meneliti satu persatu wajah ketiga gadis muda itu.
"Mbak jangkung deh." kata Tessa mengomentari tinggi badan Santi, "Dulu pernah jadi model yah..?"
"Model apaan..?" kata Santi sok merendah, "Model iklan obat pelangsing..?" tambahnya seperti membanggakan bentuk tubuhnya.
"Bukan..!" tukas Widya, "Model iklan alat peninggi badan di acara TV media..!"
Mereka tertawa-tawa mendengar gurauan itu.

Di tengah keceriaan itu, mata tajam Santi melirik ke arah teman Karina yang bernama Sweety. Gadis ini tampak hanya tersenyum kecil ketika teman-temannya terbahak. Hmm, gadis lugu berpikiran polos, ini yang kami cari, pikir Santi dalam hatinya. Wanita itu segera meninggalkan ruang makan, bergegas melangkahkan kaki panjangnya ke lantai dua.

"Brakk..!" terdengar pintu ruang makan terbuka dan ditutup dengan keras, tampak Leo baru saja datang.
"Wow..! Kereen..!" bisik Sweety pada Tessa.
"Eh, makasih lho Dik..!" tukas Leo sambil menatap ke arah gadis-gadis itu dengan mata penuh selidik.
"Hihihi, komentar kamu kedengeran..!" seru Tessa sambil mengejek Sweety.
Karina memperkenalkan Leo pada ketiga temannya, lalu dengan sangat sopan meminta Leo naik ke lantai dua agar konsentrasi kerja teman-temannya tidak terganggu oleh penampilan Leo yang seperti itu.

Kamar tidur Santi. Jendela yang menghadap ke arah barat membuat panasnya sinar matahari memaksa AC untuk bekerja lebih keras mendinginkan ruangan. Leo duduk di sofa, Pak Jim meletakkan pantat di tepi ranjang, sementara Santi duduk di atas kursi di depan meja riasnya, menghadap ke tengah ruangan. Ketiganya masih berdebat seru tentang siapa dari ketiga teman Tessa yang memenuhi syarat untuk rencana mereka.

"Kita nggak boleh keliru..!" kata Leo sengit, "Bisa fatal akibatnya..!"
"Tapi gimana coba..?" kata Pak Jim tak kalah sengit, "Kita masing-masing berbeda pendapat."
"Kalau ketiga-tiganya dipakai..?" tanya Santi dengan nada netral.
"Lantas gimana kalau ada salah satu atau dua dari mereka yang tidak memenuhi syarat..?" tukas Leo, "Tetap saja Boss akan marah."
Semuanya terdiam karena tidak ada solusi.

"Eh, omong-omong tadi kenapa kok kamu meminta aku segera pulang..?" tanya Leo pada Santi.
"Ya ampun..!" Santi beranjak berdiri, "Aku lupa..! Vin tadi nelpon aku, katanya dia gagal ngurusin Boy..!"
Ketiganya segera beranjak keluar kamar dan melangkah cepat ke kamar Boy.

********

Ikatan yang kuat di kedua pergelangan tangan dan kaki membuat pria itu tak dapat bergerak. Beberapa torehan panjang di dadanya mulai memancarkan darah segar. Namun semua rasa sakit dan frustrasi itu seperti bermunculan dengan birahi dan kehangatan yang juga membiasipikirannya. Tidak ada erangan, teriakan, ataupun sumpah serapah, karena sebuah sapu tangan disumpalkan ke rongga mulutnya.

Boy merasakan sekali lagi batang kejantanannya seperti dielus-elus benda lunak dan hangat yang lembab. Benda itu bergerak-gerak mengelilingi kepala batang itu, mengolesi, menaburkan rasa hangat dan nikmat. Benda lunak itu lalu turun ke batangnya, meliuk-liuk, melingkar-lingkar, hangat dan membakar. Otot kejantanan itu telah menegang, membuat tonggak itu tampak kokoh dan panjang. Beberapa detik terasa begitu nikmat, sebelum sebuah benda tajam kembali menggores kulit lengannya yang bertato itu. Terdengar jeritan pemuda itu tertahan oleh sapu tangan yang menyumpal mulutnya.

Vin menjulurkan lidahnya. Kali ini tak lagi pada kejantanan Boy yang telentang terikat di hadapannya, melainkan ke kuku-kukunya sendiri, yang panjang dan berlumur sedikit darah. Dengan gerakan yang begitu indah, wanita itu meliukkan tubuh indahnya seolah begitu menikmati tetes demi tetes. Ia merangkak di atas ranjang, mengangkangi tubuh si korban yang terikat tanpa daya. Lidah panjangnya menyapu-nyapu sekujur dada Boy yang kini tergores-gores garis merah. Jilatan yang seharusnya terasa indah dan menyenangkan bagi pria itu, namun goresan menganga itu membuat rasa pedih lebih terasa. Dengan nakal kedua paha Vin yanghalus mulus menghimpit kejantanan Boy, membiarkan batangan itu tergesek-gesek. Syaraf Boy seperti bingung, harus menyampaikan apa pada otaknya. Rasa sakit, ataukah kenikmatan..?

Jemari Vin memaksa kedua mata Boy terbuka. Pemuda itu melihat seraut wajah di hadapannya begitu mengerikan, begitu dominan. Mata indah gadis itu berbingkaikan bulu-bulu mata yang lentik dan panjang, namun juga dikelilingi lingkaran kehitaman. Kulit wajah yang sehari-harinya kuning langsat bersih, kini tampak pucat agak membiru. Belum lagi bibirnya, yang biasanya agak cerewet kekanakan dan berwarna merah jambu itu kini terlihat gelap, hitam, dan sedikit terlumuri noda-noda merah.

"Hmm.. sayang.. make love to me.." desah Vin lirih dengan suara yang begitu menghanyutkan, begitu menghipnotis.
Boy tidak menjawab. Matanya hanya menatap kosong, dipenuhi ketakutan dan kengerian.
"Make love to me..!" teriak Vin lagi dengan nada membentak sambil kuku-kukunya yang kini panjang dan lancip mulai sedikit tertanam pada kulit wajah pria tak berdaya itu.
Dengan wajah ketakutan dan berkeringat dingin, Boy mengangguk pelan.
"Good..!" bisik Vin pada telinga kanan pria itu, yang diikuti dengan jilatan-jilatan mesra.

Sejenak kemudian, di tengah rasa sakit dan ketakutannya, Boy merasakan kejantanannya mulai memasuki rawa berlumpur hangat di selangkangan Vin. Wanita itu perlahan-lahan menurunkan pinggulnya hingga seluruh kejantanan Boy terbenam dalam tubuhnya. Ia duduk di atas tubuh Boy, dengan punggungnya menghadap ke wajah pemuda itu. Boy hanya dapat menyaksikan punggung indah di hadapannya seperti menari meliuk-liuk dengan indahnya. Semakin lama, semakinmenggairahkan. Kejantanannya pun terasa seperti berada dalam remasan-remasan benda hangat dan lembut. Kewanitaan paling ketat dan lekat yang pernah dirasakannya. Pelan-pelan rasa sakit dan ketakutan Boy mulai Sirna, digantikan oleh kenikmatan dan keindahan luar biasa yang serasa memeras-meras kejantanannya. Kehalusan dan kemulusan kulit punggung Vin yang meliuk-liuk di hadapannya memperindah kenikmatan itu.

Sayang sekali, baru beberapa menit saja kejadian indah itu berlangsung, Boy sudah merasakan kejantanannya berdenyut-denyut. Seluruh energinya seperti mengumpul di sana, siap untuk meledak keluar. Dengan susah payah pemuda itu berusaha menahan nafas agar tidak segera mengakhiri permainan itu. Namun berat sekali, keindahan punggung Vin di hadapannya, rasa nikmat pada kejantanannya, benar-benar amat sulit dihindarkan. Segera tubuh kurus itu mengejang kuat, menghamburkan seluruh energinya keluar lewat pancaran-pancaran panas yang tersiram ke dalam liang kewanitaan Vin.

Boy tak dapat berbuat banyak. Begitu cepat ia harus merasakan pedihnya kekecewaan Vin. Hanya sedetik rasanya ia melihat wanita itu membalikkan wajah menatap ke arahnya, dengan wajah yang menyeringai menakutkan, dengan mata yang merah menatap tajam, sebaris gigi yang lebih menyerupai deretan pisau, dan gurat-gurat wajah yang tak lagi dapat dikenalinya sebagai Vin.Kini pun, dengan kaki dan tangannya yang terikat, ia hanya dapat bersikap pasrah, mematung, membiarkan rasa lelah dan ketakutan menguasai dirinya, membiarkan Vin menciumi lehernya.

Tiba-tiba terasa dua tusukan benda kecil pada lehernya, sakit sekali. Ia hanya bisa pasrah, mengharapkan munculnya keajaiban Sang Pencipta, yang selama ini jarang diingatnya. Terasa kakinya mulai dirasuki hawa dingin dan kaku, naik ke lututnya, ke pahanya, di saat seperti inilah, di saat-saat menjelang akhir yang begitu menakutkan, pemuda itu berteriak dalam hati, memohon maaf dan ampun pada kedua orang tuanya, kekasih-kekasihnya, juga Sang Penguasa. Tak terasa air matanya mengalir keluar dari matanya yang mulai meredup, kosong.

********

Vin terhenyak kaget ketika jari-jemari lentik namun kokoh menariknya keras-keras, menjauh dari tubuh korbannya.
"Apa yang kamu lakukan..?" bentak Santi sambil menatap tajam pada Vin yang terhempas ke lantai oleh tarikannya.
Berangsur-angsur wajah mengerikan itu kehilangan gurat-guratnya. Mata yang besar menakutkan berangsur mengecil, bibir yang hitam kebiruan kini memerah, dan kulit yang pucat pasi kini menguning perlahan.
"D-dia.. bikin aku sebel, Mbak..!" ucap Vin terbata-bata.
Santi tidak terlalu menghiraukannya. Wanita itu menatap ke arah ranjang, dimana Leo dan Pak Jim sedang mengamati pemandangan mengerikan di sana.

Betapa tidak, tubuh kurus Boy terikat erat di ranjangnya sendiri, dengan kulit dada dan lengan seperti tercabik-cabik membanjirkan darah yang membasahi sprei, mata terpejam yang mulai membiru di sekitarnya mengalirkan air mata. Wajah yang biasanya tampak menyebalkan itu kini tampak seperti memelas dan memohon ditundanya saat-saat akhir.

"Gawat.." kata Pak Jim setelah meraba leher Boy yang kini berhiaskan dua buah lubang kecil berlumur darah segar.
"Kenapa..?" tanya Leo dengan nada khawatir.
"Kalian memiliki saudara baru." jawab Pak Jim datar, sambil melangkah mundur menjauhi ranjang, "Ia masih hidup."

Semuanya terdiam, suasana di kamar berhiaskan poster-poster gadis telanjang itu terasa hening untuk beberapa saat. Leo, Santi, Pak Jim, dan Vin menatap gurat-gurat luka di dada Boy mulai menipis, menipis, kemudian menghilang. Bunyi petir yang menggelegar di langit yangmendadak menderaskan hujan membuat ketiganya tersadar dari lamunannya.

"Dia datang!" Pekik Pak Jim.

********

Ruang makan utama, yang biasanya terang benderang, ceria dan menjadi tempat berkumpul para penghuni rumah saat bertukar canda di meja makan, kini seperti berubah total. Hening, sepi, dan begitu mencekam. Suara canda tawa dari teman-teman Karina yang baru saja terdengar ramai, kini tak lagi terdengar. Mereka tak lagi bersuara. Keempatnya berdiri tanpa busana, mematung dengan pandangan kosong. Berbaris berderet di tengah ruangan. Seperti tak sadarkan diri, meski mata terbuka dan tubuh berdiri tegak. Seseorang, atau sesuatu, tampak berdiri mondar mandir mengamati gadis-gadis itu. Sesuatu yang tidak jelas bentuknya, sesuatu yang besar, namun terlihat kabur. Mengerikan, namun juga terasa berkharisma. Gelap, namun sekaligus sejuk. Dingin, namun memancarkan hawa lembut yang merayu.

"Ah, servis yang mengecewakan..!" terdengar suara pria yang bernada rendah, bijak, namun menusuk telinga.
Pak Jim, Santi, Leo, dan Vin yang tergopoh-gopoh menuruni tangga putar kini duduk bersimpuh di lantai dengan kepala menunduk, pasrah dan siap menerima apa yang harus terjadi.

Pelan-pelan, sesuatu yang tampak tidak jelas tadi mulai menampakkan bentuknya. Agak lama kemudian, tampaklah wujud tamu yang dinanti-nanti kedatangannya itu. Seorang pria muda tanpa busana, berkulit kemerahan, berambut panjang berwajah tampan, dengan hidung mancung dan alis mata tebal serta sorot mata yang tajam dan dingin. Tubuhnya berkesan atletis dan berotot keras, namun juga anggun dan elegan dari sikapnya berdiri. Ketampanan dan kharisma yang dipancarkannya membuat tak satu wanita pun tidak melirik keindahan tubuh telanjangnya, dan tak satu pria pun yang tidak segan oleh tatapannya.

"Ratusan tahun, anakku." pria muda itu bicara pada Pak Jim, "Kamu selalu menyerahkan yang terbaik buatku. Tapi kali ini..?"
Pria itu berhenti sejenak dan mengacungkan telunjuknya pada keempat gadis yang kini berdiri mematung tanpa busana dengan tatapan mata kosong, "Mereka semua begitu busuk ternoda oleh pria-pria sebelum waktunya.., apakah sulit menemukan yang bersih dan suci pada masa sekarang ini..?"
Pak Jim tetap terdiam dan menunduk.
"Setelah sekian lama aku membiarkanmu hidup untuk mencari pengikut." kata pria muda itu melanjutkan pidatonya, "Tapi mana..? Hanya tiga orang inikah pengikut setiamu..? Bagaimana bisa kita menguasai dunia dengan pasukan bau kencur seperti ini..? Mana orang-orang berpengaruh yang kamu janjikan untuk bekerja sama dengan kita..? Hah..?"
Semuanya tetap saja terdiam.

Pria itu lalu melangkahkan kakinya mendekati Pak Jim, Leo, Santi, dan Vin yang tetap bersimpuh gemetaran.
"Hm.. Tapi kedua wanita ini.." pria itu menggumam, "Rupanya kamu memilih mereka untuk kesenanganmu sendiri. Sayang sekali barang-barang bermutu tinggi seperti ini harus kamu pergunakan sendiri."
"Dan kamu..!" bentak pria tampan itu pada Leo yang bersimpuh paling ujung, "Kamu mengaku diri pendosa, tapi apa arti sebuah dosa bagi kamu..?" Tatapan pria itu membuat dahi Leo berkeringat dingin, "Hanya sebuah permainan..? Atau hanya bagian dari sebuah kesenangan..? Memalukan..!"

"Malam ini.." pria itu berkata lagi sambil membelakangi keempat penyembahnya, "Aku harus memanggil temanku, si pencabut nyawa, untuk memilih salah satu di antara kalian..! Yang paling tak pantas menjadi anakku, agar menjadi peringatan bagi yang lain."
"Death..!" pria itu berteriak dengan suara menggelegar keras.

Sebentuk kepulan asap hitam, tiba-tiba bergulung-gulung muncul menyelimuti Santi. Tubuh lencir wanita itu seperti tenggelam di balik gulungan asap hitam pekat. Pria tampan yang dari tadi tampak angkuh itu seperti terkejut menyaksikan asap yang menyelimuti tubuh wanita itu menipis, menampakkan sesosok tubuh tinggi langsing, yang terselimuti oleh jubah hitam pekat. Sepasang tangan yang indah dan mulus tampak menggenggam sebilah kapak besar. Wajah Santi tampak tersenyum di balik tudung jubah besar yang dikenakannya.

"Kamu memanggil aku, Evil..?" kata sesuatu yang tadinya dikenal sebagai Santi itu.
"K-kamu..!" pria tampan yang dipanggil Evil itu tergagap, "Untuk apa kamu ikut campur ini semua..?"
"Ya, ini aku." jawab 'Santi' lagi dengan nada tenang, "Aku berada di sini untuk memenuhi permintaanmu."
"B-baik..!" jawab Evil masih agak tergagap, "Bawa nyawa mahluk-mahluk tak berguna itu bersamamu!"
"Tidak..!" jawab 'Santi', "Aku hanya memilih salah satu dari pengikutmu, sesuai perjanjian..!"
"Tapi mereka tidak berguna bagiku..!" bentak Evil menuding-nuding Pak Jim, Leo, dan Vin.

"Kalau aku mengambil mereka semua," jawab Death dalam bentuk Santi itu dengan nada ceria, "Kamu akan memilih wakil yang lain lagi." lanjutnya sambil tersenyum dingin, "Tapi kalau aku memilih salah satu, mereka akan tetap menjalankan tugas suci mereka..!"
"T-tugas suci..?" Leo tiba-tiba nyeletuk tidak mengerti. Pak Jim dan Vin ikut berpandangan bingung.
"Yap..!" jawab Death lagi, "Tugas suci untuk melindungi dunia dari ancaman Evil. Bukankah kalian telah susah payah menyediakan mangsa bagi Evil agar ia tak mampu menguasai dunia..?"
"Percayalah," kata Death lagi, "Seiring dengan berjalannya waktu, tidak akan ada satu pun manusia wanita yang memenuhi syaratnya. Pada waktu itulah Evil berencana menguasai dunia, menariknya kembali ke dalam kegelapan."
"Tapi kamu tetap harus memilih salah satu dari mereka..!" bentak Evil tidak sabar.
"Tentu, aku akan mengambil salah satu pengikutmu..!" jawab Death.

Mengakhiri kalimatnya, 'Santi' merentangkan tangannya ke atas, dan tiba-tiba sosok tubuh Boy sudah berada di tengah ruangan. Luka-luka di tubuhnya sudah bersih tak berbekas. Masih tampak ekspresinya memelas, memohon ampunan, dan menatap tanpa harapan pada si pencabut nyawa.
"Ia telah menyia-nyiakan hidupnya, dan tidak akan banyak berguna bagi orang lain." kata Death sambil merentangkan jari-jari tangan kanannya, tempat sebilah sabit panjang tiba-tiba berada, "Dunia tidak akan keberatan jika aku mengambilnya malam ini."
Dengan tak terduga, sabit panjang itu terayun. Bahkan Boy sendiri tak sempat mengeluarkan kata-kata ataupun teriakan dari kerongkongannya yang segera terputus oleh sabetan itu.

********

Matahari terbit, memancarkan sinarnya menerangi rumah kost besar di sudut sebuah kompleks elit. Tidak banyak yang tahu apa bedanya rumah itu dengan rumah-rumah lain yang bentuknya sama dalam kompleks itu.

Si manis Karina masih tidur pulas menikmati Sabtu pagi. Leo, Pak Jim, dan Vin mengelilingi meja makan. Masih ada keharuan, rasa bangga, rasa lega, sekaligus rasa tanggung jawab pada hati mereka masing-masing.

"Hmm.. Sepi rasanya." kata Leo sambil mennghirup kopi paginya, "Tidak ada Boy, tidak ada Santi."
"Yah.." Vin menghela nafas panjang, "Aku senang kita masih hidup, Thanks to Death. Sulit membayangkan kalau dia itu Santi."
"Iya, aku juga mikir begitu," tukas Pak Jim, "Kalau selama ini aku tahu dia siapa, dan apa tujuannya di sini, aku nggak akan sekuatir ini.."
"Begitulah.." Vin menjawab, "Selama ini aku suka sebel dengan sikapnya yang sok dewasa dan suka ngerjain aku."
"Lucky me.." Leo mencoba bercanda, "Aku sudah pernah bercinta dengan si pencabut nyawa..!"
"Hahaha, tapi ati-ati kalau milih teman kencan..!" jawab Pak Jim, "Bisa-bisa kamu yang dipilihnya semalam..!"
"Hahaha..!" Leo balas tertawa, "Tapi jangan munafik ah..! Pak Jim juga pengen kencan sama dia kan..? Nyatanya ngintip dia mandi..!"
"Eh, jangan keras-keras lho..!" canda Karina, "Bisa-bisa dia mendengar kita dari atas sana..!"Semuanya tertawa-tawa dan melanjutkan sarapan di hari libur Sabtu pagi itu.

"Gedubrak..!" terdengar pintu masuk terbanting, semua menatap ke arah pintu malang itu."Vin, kenapa kamu nelpon aku di kantor..? Kan masih jam kerja.." kata Santi yang baru masuk itu dengan bawel.
"Eemm.., kenapa semua kok ngeliatin aku seperti itu..?"
Mereka yang sedang sarapan tak bisa berkata-kata melihat kehadiran Santi yang ternyata bukan di saat yang seharusnya dan terlambat hampir satu hari.

Rupanya Santi yang tadi malam merupakan perwujudan dari Death yang asli, sedangkan Santi yang di hadapan mereka adalah Santi yang sesungguhnya. Santi kemudian bergabung sarapan dengan mereka sambil mendengarkan penjelasan dari yang lainnya mengenai hal yang terjadi sebenarnya di hari Jumat tanggal 13 malam. Dan kehidupan mereka berlanjut kembali, tetapi dengan perbaikan hasil, seperti yang diinginkan oleh Evil terhadap pengikutnya yang selalu bertambah di setiap hari Jumat tanggal 13.

TAMAT